Memilih Capres dan Kabinetnya

Sabtu, 06 April 2019 - 07:09 WIB
Memilih Capres dan Kabinetnya
Memilih Capres dan Kabinetnya
A A A
Yunani Abiyoso

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI)

RELI kampanye calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) Indonesia beberapa bulan ini tambah menarik, karena dipe­nuhi dengan janji-janji para kan­didat. Namun demikian, hal paling penting dari setiap janji adalah realisasinya.

Realitas selama ini menun­juk­kan, janji saat kampanye pe­milihan presi­den (pilpres) merupakan janji yang paling sulit ditepati. Bisa jadi bukan karena keengganan atau khianat, tapi mungkin karena terbatasnya kapabilitas yang mendukung janji-janji terse­but terlaksana.

Berbagai topik dan materi disampaikan oleh para capres dan cawapres. Dari adu visi ter­kait hukum, hak asasi manusia, energi, pangan, sumber daya alam, hingga isu lingkungan. Debat terakhir oleh para cawa­pres dinilai yang paling me­narik karena saling melontar­kan janji, dimulai dari kartu-kartu sakti hingga peng­hapus­an ujian nasional.

Begitu ba­nyaknya hal yang harus diurus menunjukkan organisasi pe­me­rintahan memiliki rentang kendali serta kewenangan pe­me­rintahan yang begitu besar. Presiden harus memahami bahwa kemampuannya ter­batas dan oleh karena itu perlu dibantu oleh wakil presiden dan para menteri.

Kekuasaan Eksekutif

Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, Presiden Republik Indonesia merupa­kan pemegang kekuasaan pe­merintahan (kekuasaan ekse­kutif) yang sangat luas rentang kendalinya. Kekuasaan terkait legislasi contohnya, selain bisa membantu DPR dalam meran­cang undang-undang, juga berwenang memberlakukan peraturan pemerintah atau­pun peraturan pelaksana lain­nya terkait bidang atau urusan pemerintahan.

Kekuasaan stra­tegis lainnya yaitu hu­bungan luar negeri, presiden juga harus cermat ketika meng­ambil kebijakan strategis ter­kait isu kawasan, kelautan, udara, perbatasan, serta kerja sama internasional yang ber­dam­pak pada keamanan dan kesejahteraan nasional.

Konstitusi telah mendesain bahwa presiden tidak sendiri­an, karena dibantu oleh se­orang wakil presiden yang secara konstitusional dipilih secara bersamaan dalam pe­milih­an umum. Selain itu, pre­siden juga dibantu oleh para menteri yang merupakan orang-orang yang dipilihnya untuk memim­pin pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan.

Selain faktor kepemim­pin­an dan manajerial seorang presi­den, realisasi visi dan janji kam­panye juga bergantung pada kemampuan implemen­tasi oleh para menteri. Kapa­bilitas seorang menteri, baik sebagai pelaksana maupun pemimpin di kementerian ha­ruslah sangat mumpuni, ka­rena para menteri inilah yang akan dituntut untuk menerjemahkan visi presiden ke dalam rencana kerja, pro­gram, dan kegiatan serta anggaran kementerian.

Maka tidak berlebihan rasa­nya jika pemilih meng­harap­kan calon presiden mem­beri­kan ancangan para calon men­terinya yang akan ikut me­real­isasikan visi kampanye. Rakyat pemilih sedari awal seharusnya sudah bisa mendapatkan infor­masi bagaimana visi kandidat presiden akan dilaksanakan.

Kabinet Bayangan

Secara konsep, peng­umum­an nama-nama calon menteri di kabinet sebelum pemilihan umum disebut kabinet bayang­an, yang lazim dipraktikkan di negara dengan sistem peme­rintahan parlementer. Kabinet bayangan ini biasanya diben­tuk oleh oposisi pemerintah di parlemen untuk "menguliti" kebijakan yang dilaksanakan para menteri di kabinet.

Dalam situasi kampanye, kabinet bayangan ini pulalah yang di­tawarkan kepada masya­rakat tentang pemerintahan yang akan datang apabila oposisi ter­pilih sebagai pemenang pe­milih­an umum.

Sebelum memimpin ka­binet pada 1997, Tony Blair, per­dana menteri populer di Inggris, merupakan pemimpin oposisi sekaligus pemimpin kabinet bayangan di parlemen sejak 1994. Ketika kabinet Blair tumbang pada 2006, dirinya di­gantikan oleh David Cameron, yang merupakan pimpinan kabinet bayangan dua tahun sebelumnya.

Praktik kabinet bayangan memang ini kurang lazim di negara dengan sistem peme­rin­tahan presidensial, sebagai­mana Indonesia juga menerap­k­an sistem presidensial ber­da­sar­kan UUD 1945 setelah amen­demen. Namun, ada beberapa preseden yang dapat dijadikan rujukan, misalnya di beberapa kali pemilihan presiden di Amerika Serikat.

Ketika Donald Trump meng­ikuti konvensi calon pre­s­iden di Partai Republik pada 2016, dirinya mengumumkan beberapa nama calon menteri yang akan disampaikan kepada Senat nantinya jika terpilih menjadi presiden.

Memang tidak semua jabatan menteri, hanya beberapa pos menteri stra­tegis seperti menteri ke­uangan, men­teri luar ne­geri, dan menteri kese­hat­an. Sebe­lumnya pada 1980-an, pasang­an bakal capres dan cawapres Ronald Reagen dan Gerard Ford juga mengumumkan calon nama menteri keuangan dan menteri luar negeri.

Praktik serupa juga terjadi di Ukraina belakangan ini yang akan melaksanakan pemilu pre­siden pada 31 Maret men­da­tang. Salah satu kandidat presiden, Volodymyr Zelen­skiy, selalu menyatakan pentingnya para kandidat mengusulkan kabinet mendatang. Bahkan, dirinya meminta para pen­du­kungnya untuk memberikan masukan terhadap usulan nama-nama menteri yang diri­nya tawarkan.

Memilih Capres dan Kabinetnya Kelak

Jika mencermati kekuasa­an eksekutif menurut UUD 1945 dengan kondisi kekinian, pe­milihan presiden sejatinya bu­kan sekadar memilih pre­siden dan wakilnya, melainkan juga memilih sekelompok orang yang akan mengelola organi­sasi besar yang disebut peme­rintah untuk kurun waktu lima tahun. Se­ke­lompok orang ini yang akan merealisasi­kan janji kam­panye terha­dap rakyat, atau malah mung­kin yang akan meng­khianati janji tersebut.

Berkaca dari praktik-praktik di negara lain, sebe­tul­nya para kandidat presiden bisa saja mulai mengam­pa­nyekan pula para calon menterinya di kabinet kelak, se­tidaknya calon men­teri yang akan men­duduki pos strategis seperti ke­uangan, hukum, da­lam ne­geri, dan luar negeri.

Praktik ini memang kurang lazim, terlebih di Indo­nesia, tapi bukan pula hal yang tabu apalagi terlarang. Bisa jadi dari sisi po­litik menjadi suatu k­e­untung­an, apabila nama ca­lon menteri yang di­kampanye­kan terma­suk yang me­m­iliki rekam jejak baik, apalagi populer.

Pada masa kampanye saat ini­, rakyat pemilih yang pa­ling diuntungkan jika men­dapat­kan informasi yang le­bih ba­nyak dan transparan dari para calon kandidat; tidak hanya mengenai visi kandidat, tapi juga bagai­mana visi dan janji kampanye akan dilaksanakan. Dengan begitu, rakyat pemilih dapat semakin rasional dalam me­milih untuk keberlanjutan pembangunan atau memilih untuk perubahan.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0884 seconds (0.1#10.140)