Isra Mikraj, Iman, dan Rasio

Jum'at, 05 April 2019 - 07:30 WIB
Isra Mikraj, Iman, dan...
Isra Mikraj, Iman, dan Rasio
A A A
Faisal Ismail

Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

ISRA adalah perjalanan malam Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina, kemudian Nabi melakukan mikraj (naik) ke langit ketujuh dan terus menuju ke Sidratul Muntaha menghadap Allah. Peristiwa sangat bersejarah ini direkam dalam Alquran: "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya untuk Kami perlihatkan tanda-tanda kekuasaan Kami kepadanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS Al-Isra’: 1).

Isra mikraj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-8 kerasulan Muhammad. Sebelumnya, Nabi mengalami amul huzni (tahun dukacita) karena wafatnya Abu Thalib (paman Nabi) dan Khadijah (istri tercinta Nabi) yang terjadi dalam waktu berdekatan. Abu Thalib dan Khadijah merupakan pembela dan pelindung utama gerakan dakwah dan misi Nabi Muhammad.

Pada kesempatan mikraj menghadap Allah itulah Nabi Muhammad langsung menerima perintah salat wajib dari Allah. Pengalaman isra mikraj sangat memberikan kekuatan batin kepada Nabi Muhammad dalam melaksanakan misi kerasulannya. Ketika Nabi menceritakan pengalamannya tentang isra mikraj ini, para elite Quarisy menggiladustakan Nabi. Mereka sama sekali tidak percaya kepada Nabi yang menceritakan pengalamannya tentang isra mikraj itu. Kaum Quraisy menuduh Nabi sebagai pembohong besar dan otaknya tidak waras. Tapi tidak demikian halnya dengan Abu Bakar. Ketika ditanya tentang peristiwa isra mikraj itu, Abu Bakar sangat membenarkannya. Karena itu, Abu Bakar mendapat gelar Ashshiddiq (yang sangat membenarkan).
Dua Pembela Nabi Wafat
Abu Thalib dan Khadijah selalu membela, melindungi, dan membentengi Nabi Muhammad dari segala cercaan, cemoohan, hinaan, gangguan, persekusi, dan teror kaum musyrikin Quraisy. Kedua paman Nabi Muhammad, Abu Lahab dan Abu Jahal, dan kaum Quraisy tidak hanya menolak agama "baru" yang dibawa Nabi, bahkan mereka selalu memusuhi, meneror, dan hendak membunuh Nabi. Dengan mendapat dukungan dan perlindungan dari Abu Thalib dan Khadijah, Nabi Muhammad merasa sangat aman dan termotivasi untuk terus berdakwah menyiarkan agama Islam. Pascakematian Abu Thalib dan Khadijah, Nabi Muhammad merasa sangat kehilangan dua tokoh pendukung dan pelindungnya yang sangat gigih dan konsisten. Kedua tokoh pelindung itu sangat membantu dan sangat berjasa kepada Nabi dalam melakukan gerakan dakwah Islam di Mekkah.
Pascakematian Abu Thalib dan Khadijah, kaum kafir Quraisy semakin berani mencemooh, menghina, mengganggu, dan mengancam Nabi Muhammad. Di antara peristiwa menyakitkan yang dialami Nabi adalah perlakuan brutal kabilah Tsaqif yang mengusir Nabi dari Thaif. Nabi dihina, diolok-olok, dilempari batu, dan diusir oleh kabilah Tsaqif dari Thaif. Nabi pun kembali ke Mekkah dan memohon kepada Allah agar kabilah Tsaqif diberi petunjuk dan ampunan Allah. Dalam kondisi mengalami amul huzni dan teror brutal dari kaum Quraisy itulah, Nabi Muhammad diperintahkan Allah menjalani isra mikraj.
Pengalaman isra mikraj besar sekali arti dan pengaruhnya bagi penguatan mental-spiritual Nabi Muhammad. Beliau benar-benar memperoleh pencerahan dan kekuatan batin, mengalami revitalisasi mental-spiritual, dan mendapatkan semangat juang baru yang semakin teruji dan tertempa dalam melaksanakan gerakan dakwahnya. Sejak itulah Nabi Muhammad melihat prospek baru yang lebih cerah, lebih kondusif, dan lebih konstruktif dalam gerakan dakwahnya. Dengan visinya yang tajam dan menerawang jauh ke depan, Nabi mulai mengarahkan atensi, semangat, dan minatnya untuk menyiarkan Islam di Madinah. Sebagai rasul, Muhammad adalah seorang pendakwah ulung, mampu membaca situasi dan konteks sejarah, dan pembawa misi keagamaan yang sangat visioner.

Bukti Kemahakuasaan Allah

Tujuan Allah memerintahkan Nabi Muhammad melaksanakan isra mikraj, selain memperlihatkan tanda-tanda kemahabesaran dan kemahakuasaan-Nya, adalah untuk lebih menempa kekuatan iman dan batin Nabi Muhammad agar tetap tangguh melaksanakan misi kerasulannya. Apakah Nabi menjalani isra mikraj itu dengan jiwa (ruh) dan raganya atau hanya dengan ruhnya saja? Kalau kita membaca secara cermat Alquran Surah Al-Isra’ ayat 1, dalam ayat itu jelas terungkap bahwa Allah mengisramikrajkan Nabi dengan ruh dan raganya. Allah menggunakan ungkapan "subhanalladzi asra bi ‘abdihi " (Maha Suci Allah yang mengisrakan hamba-Nya). Tidak bisa tidak, yang disebut "hamba" adalah seseorang yang secara utuh terdiri atas ruh dan raga. Allah tidak menggunakan terminologi "subhanalladzi asra bi ruhihi " (Maha Suci Allah yang mengisrakan ruhnya). Jadi Nabi Muhammad menjalani isra mikraj dengan ruh dan raganya.
Isra mikraj adalah peristiwa sangat luar biasa (miracle ) yang hanya bisa diterima dan dipercayai dengan iman sejati. Peristiwa isra mikraj tidak bisa dijangkau oleh rasio atau dicerna oleh logika manusia yang relatif. Peristiwa isra mikraj sudah termasuk wilayah kemahakuasaan Allah yang tidak bisa dilogikakan oleh rasio manusia yang terbatas dan nisbi. Perjalanan antara Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina dengan menggunakan kendaraan biasa pada masa itu harus ditempuh berminggu-minggu. Namun, Nabi Muhammad melakukannya hanya dalam waktu satu malam dan dilanjutkan lagi dengan menjalani mikraj ke Sidratul Muntaha menghadap Allah. Nabi menjalani isra mikraj hanya dalam satu malam dan kembali lagi ke Mekkah pada malam itu juga.
Bagaimanakah Nabi Muhammad menyesuaikan kondisi badaniahnya dengan temperatur di ruang angkasa ketika beliau menjalani isra mikraj? Kalau kita percaya bahwa isra mikraj itu adalah "bukti" kemahakuasaan Allah, hal itu sama sekali tidak mustahil. Allah-lah yang mengatur kondisi fisikal dan mental Nabi dan menyesuaikannya dengan temperatur ruang angkasa ketika beliau menjalani isra mikraj itu. Para ahli ruang angkasa saja dengan menggunakan peralatan teknologi bisa mengatur dan menyesuaikan kondisi fisik para astronot dengan temperatur ruang angkasa ketika pesawat mereka melakukan misi ke angkasa luar. Dengan kemahakuasaan-Nya, Allah sangat mudah menyesuaikan kondisi mental-fisik Nabi Muhammad ketika beliau menjalani isra mikraj.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9057 seconds (0.1#10.140)