Cara Berpikir Prabowo Soal Sistem Keamanan Nasional Dinilai Keliru
A
A
A
JAKARTA - Polemik terkait pernyataan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto yang meragukan kekuatan TNI terus bergulir. Satu per satu purnawirawan TNI angkat suara merespons pandangan minor dari capres yang jabatannya dicopot oleh Dewan Kehormatan Perwira TNI itu.
Purnawirawan TNI yang juga mantan Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin menilai ada kesalahan fatal dari cara berpikir Prabowo terkait sistem keamanan nasional. Menurut pria yang terakhir berpangkat Mayor Jenderal itu, Prabowo tidak paham bahwa sistem keamanan Indonesia tidak boleh melenceng dari amanat konstitusi.
Konstitusi menggariskan bahwa keamanan Indonesia memiliki sistem defensif aktif. Sebaliknya, logika di kepala Prabowo dinilainya justru menganut sistem ofensif.
"Ada kesan yang disampaikan oleh Pak Prabowo bahwa sistem pertahanan kita mengarah kepada sistem pertahanan ofensif aktif. Padahal sesungguhnya strategi pertahanan kita adalah defensif aktif sesuai dengan Undang-Undang Pertahanan dan UUD 1945," ungkap TB Hasanuddin.
Menurutnya, sistem defensif aktif yang digariskan undang-undang memiliki semangat untuk menjaga keutuhan dan teritorial Indonesia dengan mengandalkan sistem pengawasan yang menggunakan teknologi canggih. Sebaliknya, pertahanan Indonesia bukan mengacu pada semangat untuk agresif dan ekspansif.
TB Hasanuddin melanjutkan pengetahuan Prabowo soal sistem keamanan jauh di bawah Jokowi. Padahal Prabowo punya latar belakang militer, sedangkan Jokowi pemimpin dari sipil.
Jokowi yang berlatar sipil dinilai lebih mampu dan cakap dalam memahami konteks pertahanan Indonesia yang sesuai dengan amanat konstitusi. Pandangan Jokowi soal pertahanan, kata Hasanudddin, sudah sesuai dengan undang-undang dalam sistem defensif aktif.
Sistem itu menggariskan bahwa setiap jengkal wilayah NKRI harus bisa dikontrol dengan sistem senjata modern antara lain melakukan pengawasan dengan radar. "Radar harus menjadi CCTV-nya NKRI. Radar kemudian dihubungkan dengan satuan-satuan pemukul yang bergerak setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan besarnya ancaman," jelasnya.
Pria yang juga pernah mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Jawa Barat ini pun menilai, pernyataan Jokowi sudah sesuai dengan tracknya bahwa setiap pengadaan alutsista wajib melibatkan industri strategis dalam negeri. Jokowi dinilainya juga punya gagasan yang brilian dengan menekankan pembelian alutsista juga bagian dari alih teknologi secara berjenjang sampai dengan mampu membuat alutsista secara mandiri.
Masih kata dia, anggaran alutsista yang dikucurkan pemerintahan Presiden Jokowi sudah cukup memadai bahkan terus mengalami kenaikan. "Bayangkan saja tahun 2001 anggaran alutsista hanya Rp25 triliun, namun sekarang naik empat kali lipat lebih menjadi Rp107 triliun," kata Ketua DPD PDIP Jawa Barat ini.
Saat ini, kata Hasanuddin, Indonesia menempati urutan ke 15 dalam jajaran peringkat militer terkuat sedunia setelah Amerika Serikat, Rusia, China, India, dan Perancis, yang menempati urutan pertama hingga kelima.
"Ini merupakan salah satu bukti TNI kita disegani oleh negara lain di dunia," tuturnya.
Hasanuddin menambahkan di tingkat regional, TNI merupakan satuan militer terbesar di Asia Tenggara. TNI mengungguli angkatan bersenjata Vietnam dan Thailand di urutan ke-2 dan ke-3. Prestasi ini disebabkan bonus demografi yang membuat TNI surplus banyak pasukan, baik tentara aktif maupun tentara cadangan yang mencapai lebih dari 800 ribu personel.
"Tentara kita ungggul di Asia Tenggara, bahkan dalam beberapa kompetisi, TNI selalu mampu meraih prestasi," kata dia.
Hasanuddin juga sepakat dengan Capres 01 yang menyebut tantangan di masa depan adalah perang teknologi sehingga pembangunan alutsista menjadi sangat penting. Ditambahkan dia, pemerintahan Jokowi lebih memilih membangun sistem alutsista daripada membeli dari negara lain.
Purnawirawan TNI yang juga mantan Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin menilai ada kesalahan fatal dari cara berpikir Prabowo terkait sistem keamanan nasional. Menurut pria yang terakhir berpangkat Mayor Jenderal itu, Prabowo tidak paham bahwa sistem keamanan Indonesia tidak boleh melenceng dari amanat konstitusi.
Konstitusi menggariskan bahwa keamanan Indonesia memiliki sistem defensif aktif. Sebaliknya, logika di kepala Prabowo dinilainya justru menganut sistem ofensif.
"Ada kesan yang disampaikan oleh Pak Prabowo bahwa sistem pertahanan kita mengarah kepada sistem pertahanan ofensif aktif. Padahal sesungguhnya strategi pertahanan kita adalah defensif aktif sesuai dengan Undang-Undang Pertahanan dan UUD 1945," ungkap TB Hasanuddin.
Menurutnya, sistem defensif aktif yang digariskan undang-undang memiliki semangat untuk menjaga keutuhan dan teritorial Indonesia dengan mengandalkan sistem pengawasan yang menggunakan teknologi canggih. Sebaliknya, pertahanan Indonesia bukan mengacu pada semangat untuk agresif dan ekspansif.
TB Hasanuddin melanjutkan pengetahuan Prabowo soal sistem keamanan jauh di bawah Jokowi. Padahal Prabowo punya latar belakang militer, sedangkan Jokowi pemimpin dari sipil.
Jokowi yang berlatar sipil dinilai lebih mampu dan cakap dalam memahami konteks pertahanan Indonesia yang sesuai dengan amanat konstitusi. Pandangan Jokowi soal pertahanan, kata Hasanudddin, sudah sesuai dengan undang-undang dalam sistem defensif aktif.
Sistem itu menggariskan bahwa setiap jengkal wilayah NKRI harus bisa dikontrol dengan sistem senjata modern antara lain melakukan pengawasan dengan radar. "Radar harus menjadi CCTV-nya NKRI. Radar kemudian dihubungkan dengan satuan-satuan pemukul yang bergerak setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan besarnya ancaman," jelasnya.
Pria yang juga pernah mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Jawa Barat ini pun menilai, pernyataan Jokowi sudah sesuai dengan tracknya bahwa setiap pengadaan alutsista wajib melibatkan industri strategis dalam negeri. Jokowi dinilainya juga punya gagasan yang brilian dengan menekankan pembelian alutsista juga bagian dari alih teknologi secara berjenjang sampai dengan mampu membuat alutsista secara mandiri.
Masih kata dia, anggaran alutsista yang dikucurkan pemerintahan Presiden Jokowi sudah cukup memadai bahkan terus mengalami kenaikan. "Bayangkan saja tahun 2001 anggaran alutsista hanya Rp25 triliun, namun sekarang naik empat kali lipat lebih menjadi Rp107 triliun," kata Ketua DPD PDIP Jawa Barat ini.
Saat ini, kata Hasanuddin, Indonesia menempati urutan ke 15 dalam jajaran peringkat militer terkuat sedunia setelah Amerika Serikat, Rusia, China, India, dan Perancis, yang menempati urutan pertama hingga kelima.
"Ini merupakan salah satu bukti TNI kita disegani oleh negara lain di dunia," tuturnya.
Hasanuddin menambahkan di tingkat regional, TNI merupakan satuan militer terbesar di Asia Tenggara. TNI mengungguli angkatan bersenjata Vietnam dan Thailand di urutan ke-2 dan ke-3. Prestasi ini disebabkan bonus demografi yang membuat TNI surplus banyak pasukan, baik tentara aktif maupun tentara cadangan yang mencapai lebih dari 800 ribu personel.
"Tentara kita ungggul di Asia Tenggara, bahkan dalam beberapa kompetisi, TNI selalu mampu meraih prestasi," kata dia.
Hasanuddin juga sepakat dengan Capres 01 yang menyebut tantangan di masa depan adalah perang teknologi sehingga pembangunan alutsista menjadi sangat penting. Ditambahkan dia, pemerintahan Jokowi lebih memilih membangun sistem alutsista daripada membeli dari negara lain.
(kri)