Partai Politik, Politisi, dan Jeratan Korupsi

Selasa, 02 April 2019 - 08:05 WIB
Partai Politik, Politisi,...
Partai Politik, Politisi, dan Jeratan Korupsi
A A A
BAWONO KUMORO
Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan The Habibie Center/Co-Founder Indo Riset Konsultan

PENANGKAPAN Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa pekan lalu menambah panjang daftar ketua umum partai politik (parpol) yang terjerat tindak pidana korupsi. Romahurmuziy yang akrab disapa Romy itu bersama-sama sejumlah pihak lain diduga menerima suap untuk memengaruhi hasil seleksi jabatan pimpinan tinggi di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag).

Hingga saat ini tercatat lima mantan ketua umum parpol menjadi pasien KPK. Jauh sebelum Romy, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan periode 2007-2014 Suryadharma Ali juga pernah terjerat kasus tindak pidana korupsi. Ia terbukti telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai menteri agama selama pelaksanaan ibadah haji 2010-2013.

Jauh sebelum itu, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lutfhi Hasan Ishaaq juga tersandung kasus pengurusan kuota impor daging sapi pada 2013. Selain menjabat sebagai presiden PKS, ia ketika itu juga tercatat sebagai anggota Komisi I DPR RI. Lutfhi Hasan Ishaaq terbukti menerima suap Rp1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman.

Anas Urbaningrum, ketua umum Partai Demokrat hasil kongres 2010, juga tercatat sebagai ketua umum parpol yang menjadi pesakitan KPK. Anas Urbaningrum terbukti bermain proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat pada 2013. Ia terbukti menerima gratifikasi berupa Toyota Harrier dari rekanan pembangunan P3SON tersebut.

Kemudian, salah satu kasus tindak korupsi paling fenomenal menimpa ketua umum parpol adalah perkara Ketua Umum Partai Golkar periode 2016-2017 Setya Novanto. Mantan ketua DPR RI tersebut terjerat kasus pengadaan KTP elektronik.

Belum reda kasus korupsi jual beli jabatan dilakukan oleh mantan Ketua Umum PPP Romy, Kamis (28/3) lalu politikus Partai Golkar sekaligus anggota Komisi VI DPR RI Bowo Sidik Pangarso terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Uang tunai lebih dari Rp8 miliar disita oleh KPK. Uang tersebut diduga terkait perkara dugaan suap pelaksanaan kerja sama antara PT Pupuk Indonesia Logistik dengan PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK). Pihak KPK menduga kuat Bowo Sidik mengumpulkan uang tersebut untuk dana logistik "serangan fajar" sebagai calon anggota DPR RI periode 2019-2024.

Harus diakui bahwa ikhtiar untuk menghadirkan pemerintahan bersih di Indonesia masih dihadapkan berbagai tantangan tidak mudah. Selain kasus-kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ketua umum parpol sebagaimana disebutkan di atas, di level pemerintahan daerah juga tidak kalah panjang daftar kepala daerah terjerat kasus hukum serupa. Sebagai catatan pada 2018 saja tercapai 20 kepala daerah terjaring OTT KPK.

Tidak dapat dimungkiri, kontestasi elektoral (pilkada dan pemilu) seringkali diwarnai berbagai macam persoalan hukum terutama tindak pidana korupsi. Sejumlah kasus tengah ditangani KPK memiliki keterkaitan dengan kontestasi elektoral. Secara umum celah potensi korupsi politik di pemilu legislatif maupun pemilu presiden tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di pilkada. Memenangi kontestasi elektoral langsung bukan hal mudah. Visi-misi baik dan rekam jejak bagus serta program memukau tidak cukup menjadi modal memenangi kontestasi politik.

Hal ini mempertemukan dua kepentingan. Kebutuhan pendanaan bagi kandidat untuk pemenangan kontestasi elektoral dan ketersediaan modal dari pihak pemodal (swasta) menggantungkan kelangsungan usaha mereka pada anggaran negara.

Apalagi, Pasal 327 dan 331 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menaikkan batas maksimum sumbangan perorangan dan badan usaha bagi kandidat presiden/wakil presiden/anggota DPRD/anggota DPRD. Batas maksimum sumbangan perorangan dari Rp1 miliar naik menjadi Rp2,5 miliar. Batas maksimum sumbangan badan usaha naik dari Rp5 miliar menjadi Rp25 miliar. Kenaikan batas maksimum sumbangan berpotensi semakin mempermudah pihak pemodal masuk mendanai dan mengikat kandidat bersangkutan.

Lima Tahap
Paling tidak terdapat lima tahapan akan dilalui oleh setiap kandidat (calon legislatif atau calon kepala daerah) di mana memerlukan pendanaan cukup besar. Pertama, membuat dan memasang alat peraga kampanye. Untuk menarik perhatian parpol untuk dicalonkan sebagai calon kepala daerah, seorang kandidat tentu harus melakukan sosialisasi secara terbuka. Untuk itu, memasang alat peraga kampanye menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan. Pun setelah resmi menjadi calon seorang kandidat tetap membutuhkan hal itu agar dikenal oleh para calon pemilih.

Kedua, tiket pencalonan dari parpol. Undang-Undang Pilkada mengharuskan calon kepala daerah yang diusung oleh parpol memiliki dukungan minimal 20% dari jumlah kursi parpol di DPRD provinsi/kabupaten/ kota di daerah bersangkutan. Tak pelak hal ini menjadi celah potensi bagi terjadi transaksi mahar politik antara kandidat dan parpol.

Ketiga, biaya kampanye. Pada 2018 - 2019 menjadi periode paling mahal dalam kontestasi elektoral di Indonesia. Pada 15 Februari-13 Juli 2018 masa kampanye pilkada di 171 daerah. Kemudian sepanjang 23 September 2018 -12 April 2019 dilanjutkan dengan masa kampanye pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Betapa besar kebutuhan bagi parpol dan kandidat untuk menjalani berbagai gelaran kontestasi elektoral tersebut.

Keempat, pendanaan saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Dana honor bagi pengadaan saksi rata-rata Rp200.000 per saksi di setiap TPS. Sebagai contoh di pemilu 17 April mendatang di Provinsi Jawa Barat saja jumlah tempat TPS mencapai 138.050. Jadi, untuk Provinsi Jawa Barat saja masing-masing pasangan calon presiden/wakil presiden, calon anggota DPD RI, dan partai politik membutuhkan paling tidak Rp27 miliar bagi pengadaan saksi.

Kelima, pengawalan sengketa di Mahkamah Konstitusi. Tidak semua kandidat mengeluarkan dana bagi proses ini. Namun, jika seorang kandidat terlibat sengketa hasil penghitungan suara, maka harus siap secara pendanaan seperti untuk pemberkasan dan pengacara.

Lima Pos
Kemudian, bagaimana pendanaan politik itu dapat diperoleh (secara ilegal)? Paling tidak, hemat penulis, terdapat lima pos anggaran dan kebijakan rawan dikorupsi bagi pemenuhan dana berlaga di pemilu atau pilkada.

Pertama, pemberian izin usaha. Para kepala daerah seringkali memperdagangkan wewenang yang dimiliki untuk memperjualbelikan izin usaha. Kedua, hibah dan bantuan sosial. Dana bantuan sosial menjadi klasifikasi belanja daerah sangat rawan digunakan untuk menggalang dukungan dari sebuah kelompok. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 memberikan wewenang besar kepada kepala daerah dalam memutuskan pemberian hibah dan bantuan sosial.

Ketiga, dana desa. Pencairan dana desa melalui keuangan daerah juga rawan dipolitisasi dan disalahgunakan bagi kepentingan pendanaan politik. Apalagi, di tahun ini bertepatan tahun pelaksanaan pemilu, jumlah dana desa yang digulirkan pemerintah mengalami kenaikan signifikan.

Berdasarkan keterangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, anggaran dana desa selama lima tahun atau sejak 2015 hingga 2019 mencapai Rp257 triliun. Total anggaran dana desa selama lima tahun tidak pernah mengalami penurunan setiap tahun. Dari Rp20,67 triliun pada 2015 meningkat menjadi Rp46,98 triliun pada 2016. Lalu, sebesar Rp 60 triliun pada 2017 dan 2018 sebesar Rp60 triliun. Kemudian pada 2019 sebesar Rp70 triliun.

Keempat, jual beli jabatan strategis di lingkungan pemerintah daerah maupun kementerian. Praktik jual beli jabatan strategis tersebut tidak jarang terjadi berdekatan pelaksanaan pilkada atau pemilu sebagaimana dilakukan Ketua Umum PPP Romahurmuziy.

Kelima, pengadaan barang jasa. Pengadaan barang dan jasa telah dilakukan secara terbuka dengan aturan main jelas. Akan tetapi, korupsi pengadaan barang dan jasa masih saja terjadi. Hal ini harus menjadi catatan dan mendapatkan perhatian aparat penegak hukum, terutama KPK.

Bukan Single Determinant Factor
Harus diakui demokrasi di Indonesia masih dinodai oleh tindak pidana korupsi. Persoalan keuangan parpol dan dana kampanye menjadi salah satu faktor pendorong elite politik (kepala daerah atau anggota legislatif) melakukan korupsi. Masalah itu berpotensi untuk kembali terulang pada masa-masa mendatang.

Undang-undang pilkada dan undang-undang pemilu belum mampu menjawab persoalan integritas pilkada. Pengaturan dan mekanisme sanksi di dua regulasi tersebut belum berubah secara signifikan. Kerangka hukum bagi pelaksanaan pilkada dan pemilu selama ini belum mampu memberikan jaminan memadai bagi kehadiran sebuah pemilu demokratis dan melindungi kemurnian hak pilih warga.

Dengan demikian, kurang tepat menuding sistem pemilihan langsung sebagai biang keladi bagi perilaku korup para elite politik. Keberadaan pemilihan langsung memang berkontribusi bagi kemunculan perilaku korup tersebut, tetapi bukan single determinant factor.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5680 seconds (0.1#10.140)