Kampanye Bermartabat
A
A
A
Lasarus JehamatDosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
FASE krusial politik telah dimulai sejak 24 Maret 2019. Disebut krusial karena inilah tahap ketika kampanye terbuka dilakukan. Sifat keterbukaan kampanye tentu tidak menafikan bahaya dari kampanye tertutup. Hanya saja, karena terbuka, semua emosi tertuju pada satu titik, yakni kemenangan calon yang didukung. Karena terbuka pula, maka semua kekuatan dikerahkan untuk mencapai tujuan itu.
Karena itulah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mewanti-wanti semua pihak untuk menjunjung tinggi kampanye damai dan bermartabat (Sindonews.com, 25/03). Esensi kampanye bermartabat ialah penggunaan kampanye untuk pemaparan visi dan misi. Di sana eksploitasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sedapat mungkin dihindari.
Alasan Bawaslu dan aparat keamanan tentu didasarkan pada pengalaman lapangan. Bahwa selama ini kampanye sering dipenuhi isu dan gosip. Kampanye disesaki berita bohong, hoaks, serta beragam isu miring dan negatif. Serangan demi serangan dilakukan oleh masing-masing kubu untuk kepentingan kelompoknya.
Di sana kampanye terlihat seperti kotak sampah; ruang di mana semua hal boleh dimasukkan. Payahnya, banyak elemen menganggap wajar realitas buruk tersebut. Itulah alasan mengapa banyak pengamat menyebut politik Indonesia masih dalam zona infantil; sebuah model praktik politik beraroma kekanak-kanakan.
Merujuk esensinya, demokrasi merupakan sebuah pesta. Karena pesta, maka kampanye adalah perwujudan perayaan itu. Esensi perayaan adalah kebahagiaan dan sukacita. Dengan demikian, di sana tidak terdapat masalah dan luput dari persoalan. Idealnya begitu. Di lapangan, dalam praktiknya, kampanye politik ternyata jauh dari unsur perdamaian. Dalam pandangan beberapa orang, kontestasi politik adalah perang; perang untuk merebut kekuasaan. Karena perang, maka semua kekuatan harus dipakai dan sedapat mungkin diberdayai menurut kemauan hati dan kehendak perut.
Pertanyaannya adalah mengapa kampanye bermartabat jauh dari politik nasional? Gugatan seperti ini harus diangkat dan layak didiskusikan sebab kontestasi politik adalah ruang di mana entitas politik mencari dan ingin menemukan pemimpin yang benar-benar kompeten.
Mencari dan menemukan pemimpin tidak harus dengan cucuran keringat serta berlinangan air mata, kalau seandainya semua pihak memiliki pemahaman sama tentang politik secara khusus dan politik dalam pemahamannya secara umum. Demokrasi adalah alat untuk membumikan semangat politik kesejahteraan. Karena itu, kampanye sejatinya tidak menunjukkan tanda-tanda destruktif. Kampanye mesti dipraktikkan sebagai medan perayaan besar bersama semua elemen bangsa.
Moralitas Politik
Dalam Truth, Politics, Morality: Pragmatism and Deliberation, Misak (2000), menyebutkan ketika kebenaran tidak hanya dipahami secara konseptual. Kebenaran tidak hanya bermain di level ide. Kebenaran harus dibuktikan. Kebenaran menjadi sebuah objektivitas jika kebenaran itu dipraktikkan di level empirik. Politik berhubungan dengan kegiatan persuasif secara rasional. Dalam praktiknya, politik merupakan sebuah upaya memengaruhi pihak lain.
Menurut Misak, politisi harus menempatkan kebenaran, politik, dan moralitas dalam relasi yang jujur dan seimbang. Jika itu dilakukan dengan baik dan benar, cita-cita pembebasan sebagai semangat dasar pencerahan akan terwujud dan mudah dilihat. Masalahnya, demikian Misak, politik modern jatuh dalam kubangan pragmatisme.
Oleh beberapa pihak, politik tidak lagi dipahami hanya sebagai alat, tetapi tujuan akhir politik itu sendiri. Akibatnya, cita-cita kesejahteraan bersama menjadi semakin jauh panggang dari api. Cita-cita kesejahteraan bersama menjadi sulit diwujudkan. Hal ini disebabkan politik dipenuhi beban pragmatisme yang terlampau kuat.
Kampanye bermartabat harus dipraktikkan secara nyata di lapangan. Kebenaran, politik, dan moralitas, mesti berjalan beriringan di sana. Tujuannya agar semua pihak dapat menjaga marwah martabat kampanye. Menjaga martabat kampanye tentu tidak bisa dilakukan dengan cara lain. Di situ, kampanye damai harus disebut.
Merujuk Misak, kampanye damai adalah fungsi dari bekerjanya kebenaran, kewajiban, dan moralitas politik. Kampanye damai adalah saat di mana elite politik menjelaskan sebuah kebenaran objektif akan semua masalah. Di sana subjektivitas sebisa mungkin dihindari agar tidak terjebak dalam kesalahan penilaian.
Empat Strategi
Menurut Huntington (1991), ada empat skenario untuk mengubah model demokrasi politik tanpa nilai itu. Empat skenario itu bisa dipraktikkan dalam proses kampanye. Keempat skenario tersebut adalah transformasi (tranformation), pergantian (replacement), aksi bersama (transplacement), dan intervensi (intervension).
Transformasi mengandaikan adanya perubahan, baik dari aspek sistem politik, aktor politik, lembaga politik, dan elemen politik lain. Transformasi harus dilakukan dari dalam dan luar kekuasaan. Bahwa ada harapan transformasi harus dimulai dari dalam sulit dibantah.
Meskipun demikian, upaya transformasi harus pula dilakukan dari luar kekuatan negara itu. Syaratnya adalah kemauan negara mengubah dirinya sendiri oleh kekuatan luar. Kekuatan luar yang dimaksud adalah kekuatan masyarakat sipil berbasis nilai-nilai lokal ke-Indonesiaan.
Hal kedua adalah soal pergantian rezim secara teratur. Hemat saya, kontestasi politik (pilkada) merupakan salah satu cara dari upaya pergantian itu. Membaca realitas politik beberapa bulan terakhir, harapan akan munculnya kekuatan baru dalam perkembangan politik dan demokrasi masih harus dilihat. Praktik kampanye jauh dari bermartabat.
Karena itu, aksi bersama layak dilakukan dalam meminimalisasi model dan corak kampanye negatif yang tidak bermartabat itu. Wawasan yang disampaikan Bawaslu, hemat saya bisa dijadikan contoh. Masyarakat umum tentu membantu dalam hal mengontrol diri untuk tidak melakukan kampanye negatif. Intervensi menjadi langkah terakhir dalam proses menjaga marwah kampanye bermartabat. Penerapan aturan dengan tidak tebang pilih mesti dilakukan jika terjadi pelanggaran kampanye di lapangan.
Pada skhirnya, jangan merusak semangat perayaan hanya karena kekuasaan dan jabatan politik. Kekuasaan dan jabatan politik itu temporer sifatnya. Jangan sampai sesuatu yang bersifat sementara mengalahkan kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa.
FASE krusial politik telah dimulai sejak 24 Maret 2019. Disebut krusial karena inilah tahap ketika kampanye terbuka dilakukan. Sifat keterbukaan kampanye tentu tidak menafikan bahaya dari kampanye tertutup. Hanya saja, karena terbuka, semua emosi tertuju pada satu titik, yakni kemenangan calon yang didukung. Karena terbuka pula, maka semua kekuatan dikerahkan untuk mencapai tujuan itu.
Karena itulah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mewanti-wanti semua pihak untuk menjunjung tinggi kampanye damai dan bermartabat (Sindonews.com, 25/03). Esensi kampanye bermartabat ialah penggunaan kampanye untuk pemaparan visi dan misi. Di sana eksploitasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sedapat mungkin dihindari.
Alasan Bawaslu dan aparat keamanan tentu didasarkan pada pengalaman lapangan. Bahwa selama ini kampanye sering dipenuhi isu dan gosip. Kampanye disesaki berita bohong, hoaks, serta beragam isu miring dan negatif. Serangan demi serangan dilakukan oleh masing-masing kubu untuk kepentingan kelompoknya.
Di sana kampanye terlihat seperti kotak sampah; ruang di mana semua hal boleh dimasukkan. Payahnya, banyak elemen menganggap wajar realitas buruk tersebut. Itulah alasan mengapa banyak pengamat menyebut politik Indonesia masih dalam zona infantil; sebuah model praktik politik beraroma kekanak-kanakan.
Merujuk esensinya, demokrasi merupakan sebuah pesta. Karena pesta, maka kampanye adalah perwujudan perayaan itu. Esensi perayaan adalah kebahagiaan dan sukacita. Dengan demikian, di sana tidak terdapat masalah dan luput dari persoalan. Idealnya begitu. Di lapangan, dalam praktiknya, kampanye politik ternyata jauh dari unsur perdamaian. Dalam pandangan beberapa orang, kontestasi politik adalah perang; perang untuk merebut kekuasaan. Karena perang, maka semua kekuatan harus dipakai dan sedapat mungkin diberdayai menurut kemauan hati dan kehendak perut.
Pertanyaannya adalah mengapa kampanye bermartabat jauh dari politik nasional? Gugatan seperti ini harus diangkat dan layak didiskusikan sebab kontestasi politik adalah ruang di mana entitas politik mencari dan ingin menemukan pemimpin yang benar-benar kompeten.
Mencari dan menemukan pemimpin tidak harus dengan cucuran keringat serta berlinangan air mata, kalau seandainya semua pihak memiliki pemahaman sama tentang politik secara khusus dan politik dalam pemahamannya secara umum. Demokrasi adalah alat untuk membumikan semangat politik kesejahteraan. Karena itu, kampanye sejatinya tidak menunjukkan tanda-tanda destruktif. Kampanye mesti dipraktikkan sebagai medan perayaan besar bersama semua elemen bangsa.
Moralitas Politik
Dalam Truth, Politics, Morality: Pragmatism and Deliberation, Misak (2000), menyebutkan ketika kebenaran tidak hanya dipahami secara konseptual. Kebenaran tidak hanya bermain di level ide. Kebenaran harus dibuktikan. Kebenaran menjadi sebuah objektivitas jika kebenaran itu dipraktikkan di level empirik. Politik berhubungan dengan kegiatan persuasif secara rasional. Dalam praktiknya, politik merupakan sebuah upaya memengaruhi pihak lain.
Menurut Misak, politisi harus menempatkan kebenaran, politik, dan moralitas dalam relasi yang jujur dan seimbang. Jika itu dilakukan dengan baik dan benar, cita-cita pembebasan sebagai semangat dasar pencerahan akan terwujud dan mudah dilihat. Masalahnya, demikian Misak, politik modern jatuh dalam kubangan pragmatisme.
Oleh beberapa pihak, politik tidak lagi dipahami hanya sebagai alat, tetapi tujuan akhir politik itu sendiri. Akibatnya, cita-cita kesejahteraan bersama menjadi semakin jauh panggang dari api. Cita-cita kesejahteraan bersama menjadi sulit diwujudkan. Hal ini disebabkan politik dipenuhi beban pragmatisme yang terlampau kuat.
Kampanye bermartabat harus dipraktikkan secara nyata di lapangan. Kebenaran, politik, dan moralitas, mesti berjalan beriringan di sana. Tujuannya agar semua pihak dapat menjaga marwah martabat kampanye. Menjaga martabat kampanye tentu tidak bisa dilakukan dengan cara lain. Di situ, kampanye damai harus disebut.
Merujuk Misak, kampanye damai adalah fungsi dari bekerjanya kebenaran, kewajiban, dan moralitas politik. Kampanye damai adalah saat di mana elite politik menjelaskan sebuah kebenaran objektif akan semua masalah. Di sana subjektivitas sebisa mungkin dihindari agar tidak terjebak dalam kesalahan penilaian.
Empat Strategi
Menurut Huntington (1991), ada empat skenario untuk mengubah model demokrasi politik tanpa nilai itu. Empat skenario itu bisa dipraktikkan dalam proses kampanye. Keempat skenario tersebut adalah transformasi (tranformation), pergantian (replacement), aksi bersama (transplacement), dan intervensi (intervension).
Transformasi mengandaikan adanya perubahan, baik dari aspek sistem politik, aktor politik, lembaga politik, dan elemen politik lain. Transformasi harus dilakukan dari dalam dan luar kekuasaan. Bahwa ada harapan transformasi harus dimulai dari dalam sulit dibantah.
Meskipun demikian, upaya transformasi harus pula dilakukan dari luar kekuatan negara itu. Syaratnya adalah kemauan negara mengubah dirinya sendiri oleh kekuatan luar. Kekuatan luar yang dimaksud adalah kekuatan masyarakat sipil berbasis nilai-nilai lokal ke-Indonesiaan.
Hal kedua adalah soal pergantian rezim secara teratur. Hemat saya, kontestasi politik (pilkada) merupakan salah satu cara dari upaya pergantian itu. Membaca realitas politik beberapa bulan terakhir, harapan akan munculnya kekuatan baru dalam perkembangan politik dan demokrasi masih harus dilihat. Praktik kampanye jauh dari bermartabat.
Karena itu, aksi bersama layak dilakukan dalam meminimalisasi model dan corak kampanye negatif yang tidak bermartabat itu. Wawasan yang disampaikan Bawaslu, hemat saya bisa dijadikan contoh. Masyarakat umum tentu membantu dalam hal mengontrol diri untuk tidak melakukan kampanye negatif. Intervensi menjadi langkah terakhir dalam proses menjaga marwah kampanye bermartabat. Penerapan aturan dengan tidak tebang pilih mesti dilakukan jika terjadi pelanggaran kampanye di lapangan.
Pada skhirnya, jangan merusak semangat perayaan hanya karena kekuasaan dan jabatan politik. Kekuasaan dan jabatan politik itu temporer sifatnya. Jangan sampai sesuatu yang bersifat sementara mengalahkan kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa.
(mhd)