Pencegahan dan Penindakan Hoaks dalam Sistem Hukum Pidana
A
A
A
Sepanjang 2016 Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya telah memblokir 850.000 akun berkonten hoaks, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, penghinaan atau hasutan yang menimbulkan kebencian terhadap pemerintah.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), ketentuan Pasal 155 dan Pasal 156 KUHP telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Isi pasal tersebut pada intinya perbuatan memusuhi pemerintah. Selebihnya, Pasal 154 a,156 a sampai dengan Pasal 161 KUHP masih berlaku, tetapi tidak efektif dari sudut efek jera mengingat dampak yang bersifat massal dan meluas.
Menjelang kegiatan Pemilu 2019 diketahui banyak aktivitas di media sosial dan daring yang tendensius dan provokatif, bahkan cenderung mendiskreditkan pemerintah hanya atas dasar kebencian atau hanya ingin melawan kebijakan pemerintah tanpa argumentasi yang didukung oleh fakta dan data yang sahih. Perbuatan yang dikenal dengan sebutan hoaks juga telah mengajak rakyat untuk mengganti presiden selagi memegang tampuk pemerintahan. Ini dapat digolongkan sebagai persiapan atau percobaan untuk melakukan makar (Pasal 107 KUHP jo Pasal 55 KUHP) dan atau pemberontakan (Pasal 108 KUHP jo Pasal 53 KUHP).
Alasan yang sering dilontarkan adalah kebebasan berpendapat di muka umum yang termasuk hak asasi. Padahal, hak asasi telah ditafsirkan keliru, yaitu kebebasan tanpa batas yang melanggar norma-norma kesusilaan, agama, keamanan, ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis. Yang dimaksud kebebasan berpendapat di muka umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan atau tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebebasan menyampaikan pendapat tersebut juga harus dilandaskan pada prinsip-prinsip yang bersifat limitatif yaitu: a. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban; b. asas musyawarah dan mufakat; c. asas kepastian hukum dan keadilan; d. asas profesionalitas; dan e. asas manfaat.
Norma dan prinsip-prinsip tersebut telah sejalan dan konsisten dengan ketentuan Pasal 28 J Perubahan UUD 1945yang antara lain secara eksplisit menegaskan bahwa, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan mengenai HAM (Bab XA UUD 45) merupakan perubahan setelah Era Reformasi 1998 yang antiotoritarian dan lebih memihak pada prinsip negara demokrasi, bukan, demo-crazy . Namun, fakta menunjukkan bahwa perbuatan hoaks dalam ranah politik juga disponsori oleh mereka yang prodemokrasi yang bertanggung jawab dan turut menyetujui dan mengesahkan perubahan UUD 45 itu sendiri di mana telah disepakati batas-batas toleransi kebebasan berpendapat berikut peraturan perundang-undangannya.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pelopor kebangkitan demokrasi sejak awal Reformasi 1998 tidak menghormati lagi perubahan Konstitusi UUD 1945 dan bahkan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk UU 9/1998, KUHP, dan UU ITE. Berdasarkan fakta tersebut semakin yakin bahwa peraturan perundang-undangan yang memuat ancaman sanksi pidana yang berlaku saat ini sudah tidak efektif untuk melindungi kepentingan masyarakat luas termasuk mempertahankan dan menegakkan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban.
Hoaks Politik
Serangan hoaks melalui siber sebenarnya tidak hanya di Indonesia, tapi di berbagai belahan dunia. Ini terbukti menjadi ancaman serius terhadap pemerintahan suatu negara sebagaimana telah terjadi dalam proses pemilu di AS pada 2017 di mana terdapat dugaan dan telah diperoleh bukti kuat akan keterlibatan agen asing sehingga menjadi penentu dan memengaruhi keterpilihan presiden di negara itu.
Pemerintah Singapura juga mengalami serangan siber ketika oknum oposisi menyudutkan PM Lee Hsieu Leong dengan konten bermuatan hoaks. Hal itu telah digunakan sebagai sarana hukum pidana efektif untuk mengejar pelakunya dan telah dipenjara.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa konten hoaks telah dijadikan sarana untuk tujuan politik sehingga merupakan ancaman, bukan saja terhadap proses pemilu yang tidak demokratis, melainkan telah mendelegitimasi kepercayaan publik yang telah tetap setia pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika terus dibiarkan, dikhawatirkan masa depan bangsa ini dalam ketiadaan, tanpa visi dan arah tujuan yang jelas dalam upaya membangun bangsa yang kuat terhadap ancaman dari dalam maupun dari asing. Kegiatan seperti itu tentu telah menimbulkan rasa takut, waswas tidak sekadar rasa prihatin. Ia telah memasuki ruang kehidupan kerukunan beragama masyarakat luas.
Perubahan Hukum
Hukum pidana memastikan bahwa setiap undang-undang harus memenuhi asas lex certa , tidak multitafsir agar dapat dijaga tujuan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Namun, sejarah hukum pidana melalui yurisprudensi telah memberikan pandangan baru mengenai penafsiran ekstentif (ekstensif) di samping penafsiran konvensional (historis, gramatikal, sistematis, dan teleologis). Putusan HR (Belanda,1919) mengenai penafsiran atas pengertian pencurian-lazim terhadap benda berwujud, telah diperluas, termasuk benda tidak berwujud in casu pencurian aliran listrik. Putusan HR (Belanda, 1919) yang sama mengenai pengertian asas melawan hukum formil ditafsirkan dan digantikan dengan penerapan asas melawan hukum materil dalam kasus air susu (milk-arrest ) dan peternakan sapi (vee arrest ).
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai praperadilan juga semula sebatas ketentuan Pasal 77 KUHAP, namun telah diperluas mencakup penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan, dan sebelumnya didahului putusan praperadilan dalam kasus BG, HP, dan SN.
Yurisprudensi Belanda dan Indonesia tersebut harus dimaknai bahwa hukum tidak lagi diartikan secara kaku (rigid ), tetapi harus sejalan dengan perkembangan masyarakat dan tingkat ancaman kebahayaan yang merupakan ancaman terhadap kehidupan masyarakat luas. Bahkan perkembangan hukum sejak Deklarasi Universal HAM telah mengubah pandangan mengenai hak dan kebebasan manusia sebagai subjek bermartabat misalnya bukan lagi objek dari sistem peradilan pidana.
Hak dan kebebasan tersebut tetap dibatasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J UUD 45. Deklarasi ASEAN di Bangkok tentang HAM menegaskan bahwa bagi bangsa-bangsa ASEAN, konsep HAM yang diakui adalah bersifat partikularistik, bukan bersifat universal. Dalam konteks hukum, deklarasi tersebut tidak menutup celah perubahan sepanjang tetap taat pada asas-asas hukum dan pengecualian yang telah diakui dalam baik undang-undang maupun dalam yurisprudensi. Perkembangan pandangan tentang hukum tersebut untuk dapat mengantisipasi dan menjangkau perbuatan-perbuatan yang semula tidak dipidana menjadi dapat dipidana.
Perubahan proses pembentukan hukum sedemikian bukanlah sesuatu yang luar biasa dan ganjil, melainkan merupakan hal yang lazim terjadi. Mochtar Kusumaatmadja telah memelopori perubahan hukum yang bersifat antisipatif dan akomodatif terhadap perkembangan masyarakat. Roscou Pound, ahli hukum AS, telah menyatakan bahwa kebiasaan ahli hukum hanya melihat hukum dari dalam keliru, ia seharusnya juga melihat hukum dari luar (hukum), yaitu kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.
Terorisme Nonfisik
Dalam konteks tataran teoritik hukum, kegiatan hoaks sebagaimana telah diuraikan di atas pada awal tulisan ini mencerminkan bahwa ruang toleransi terhadap perbuatan hoaks terutama hoaks politik yang mengganggu pemilu yang demokratis telah berakhir. Jika hoaks politik telah sedemikian rupa, maka pemikiran bahwa hoaks yang senyatanya membahayakan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara apalagi bertujuan makar dan atau pemberontakan dapat digolongkan ke dalam tindakan terorisme yang bersifat nonfisik-psychological-terror
Penulis sebagai ketua tim penyusun UU Terorisme Tahun 2003 dalam situasi teror fisik seperti bom Bali, bom Thamrin berbeda dengan keadaan saat ini, sehingga UU aquo telah tidak dapat mengakomodasi perkembangan terkini terkait kegiatan teror nonfisik yang tidak ada pengaturannya di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk tujuan tersebut diperlukan standar dan norma serta ancaman sanksi yang dipandang efektif untuk mencegah perbuatan terorisme secara nonfisik melalui teknologi siber. Dalam kaitan ini diketahui bahwa sarana teknologi siber yang semakin canggih untuk tindakan teror tidak dapat di-counter melalui hukum pembuktian. Sulit untuk menemukan siapa pembuatnya dan di mana perbuatan dilakukan, dan dalam konteks sistem hukum pidana Indonesia memiliki hambatan untuk dapat memenuhi syarat lex locus delicti dalam surat dakwaan (Pasal 143 ayat 2 b UU Nomor 8 Tahun 1981).
Konvensi Internasional tentang Kejahatan Siber (Praha) telah sepakat bahwa syarat lex locus delicti terhadap kejahatan siber dikesampingkan. Dalam konteks masa depan Indonesia, diperlukan langkah hukum yang efektif dan efisien terhadap tindakan teror yang bersifat nonfisik.
Solusi alternatif yang diperlukan yaitu, pertama , revisi terhadap UU ITE secara khusus untuk memperkuat UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Umum. Kedua , revisi UU No 15 Tahun 2003 yang telah diubah menjadi UU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ketiga , revisi ketentuan-ketentuan atas BAB I KUHP tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara, dan atau BAB V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), ketentuan Pasal 155 dan Pasal 156 KUHP telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Isi pasal tersebut pada intinya perbuatan memusuhi pemerintah. Selebihnya, Pasal 154 a,156 a sampai dengan Pasal 161 KUHP masih berlaku, tetapi tidak efektif dari sudut efek jera mengingat dampak yang bersifat massal dan meluas.
Menjelang kegiatan Pemilu 2019 diketahui banyak aktivitas di media sosial dan daring yang tendensius dan provokatif, bahkan cenderung mendiskreditkan pemerintah hanya atas dasar kebencian atau hanya ingin melawan kebijakan pemerintah tanpa argumentasi yang didukung oleh fakta dan data yang sahih. Perbuatan yang dikenal dengan sebutan hoaks juga telah mengajak rakyat untuk mengganti presiden selagi memegang tampuk pemerintahan. Ini dapat digolongkan sebagai persiapan atau percobaan untuk melakukan makar (Pasal 107 KUHP jo Pasal 55 KUHP) dan atau pemberontakan (Pasal 108 KUHP jo Pasal 53 KUHP).
Alasan yang sering dilontarkan adalah kebebasan berpendapat di muka umum yang termasuk hak asasi. Padahal, hak asasi telah ditafsirkan keliru, yaitu kebebasan tanpa batas yang melanggar norma-norma kesusilaan, agama, keamanan, ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis. Yang dimaksud kebebasan berpendapat di muka umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan atau tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebebasan menyampaikan pendapat tersebut juga harus dilandaskan pada prinsip-prinsip yang bersifat limitatif yaitu: a. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban; b. asas musyawarah dan mufakat; c. asas kepastian hukum dan keadilan; d. asas profesionalitas; dan e. asas manfaat.
Norma dan prinsip-prinsip tersebut telah sejalan dan konsisten dengan ketentuan Pasal 28 J Perubahan UUD 1945yang antara lain secara eksplisit menegaskan bahwa, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan mengenai HAM (Bab XA UUD 45) merupakan perubahan setelah Era Reformasi 1998 yang antiotoritarian dan lebih memihak pada prinsip negara demokrasi, bukan, demo-crazy . Namun, fakta menunjukkan bahwa perbuatan hoaks dalam ranah politik juga disponsori oleh mereka yang prodemokrasi yang bertanggung jawab dan turut menyetujui dan mengesahkan perubahan UUD 45 itu sendiri di mana telah disepakati batas-batas toleransi kebebasan berpendapat berikut peraturan perundang-undangannya.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pelopor kebangkitan demokrasi sejak awal Reformasi 1998 tidak menghormati lagi perubahan Konstitusi UUD 1945 dan bahkan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk UU 9/1998, KUHP, dan UU ITE. Berdasarkan fakta tersebut semakin yakin bahwa peraturan perundang-undangan yang memuat ancaman sanksi pidana yang berlaku saat ini sudah tidak efektif untuk melindungi kepentingan masyarakat luas termasuk mempertahankan dan menegakkan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban.
Hoaks Politik
Serangan hoaks melalui siber sebenarnya tidak hanya di Indonesia, tapi di berbagai belahan dunia. Ini terbukti menjadi ancaman serius terhadap pemerintahan suatu negara sebagaimana telah terjadi dalam proses pemilu di AS pada 2017 di mana terdapat dugaan dan telah diperoleh bukti kuat akan keterlibatan agen asing sehingga menjadi penentu dan memengaruhi keterpilihan presiden di negara itu.
Pemerintah Singapura juga mengalami serangan siber ketika oknum oposisi menyudutkan PM Lee Hsieu Leong dengan konten bermuatan hoaks. Hal itu telah digunakan sebagai sarana hukum pidana efektif untuk mengejar pelakunya dan telah dipenjara.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa konten hoaks telah dijadikan sarana untuk tujuan politik sehingga merupakan ancaman, bukan saja terhadap proses pemilu yang tidak demokratis, melainkan telah mendelegitimasi kepercayaan publik yang telah tetap setia pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika terus dibiarkan, dikhawatirkan masa depan bangsa ini dalam ketiadaan, tanpa visi dan arah tujuan yang jelas dalam upaya membangun bangsa yang kuat terhadap ancaman dari dalam maupun dari asing. Kegiatan seperti itu tentu telah menimbulkan rasa takut, waswas tidak sekadar rasa prihatin. Ia telah memasuki ruang kehidupan kerukunan beragama masyarakat luas.
Perubahan Hukum
Hukum pidana memastikan bahwa setiap undang-undang harus memenuhi asas lex certa , tidak multitafsir agar dapat dijaga tujuan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Namun, sejarah hukum pidana melalui yurisprudensi telah memberikan pandangan baru mengenai penafsiran ekstentif (ekstensif) di samping penafsiran konvensional (historis, gramatikal, sistematis, dan teleologis). Putusan HR (Belanda,1919) mengenai penafsiran atas pengertian pencurian-lazim terhadap benda berwujud, telah diperluas, termasuk benda tidak berwujud in casu pencurian aliran listrik. Putusan HR (Belanda, 1919) yang sama mengenai pengertian asas melawan hukum formil ditafsirkan dan digantikan dengan penerapan asas melawan hukum materil dalam kasus air susu (milk-arrest ) dan peternakan sapi (vee arrest ).
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai praperadilan juga semula sebatas ketentuan Pasal 77 KUHAP, namun telah diperluas mencakup penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan, dan sebelumnya didahului putusan praperadilan dalam kasus BG, HP, dan SN.
Yurisprudensi Belanda dan Indonesia tersebut harus dimaknai bahwa hukum tidak lagi diartikan secara kaku (rigid ), tetapi harus sejalan dengan perkembangan masyarakat dan tingkat ancaman kebahayaan yang merupakan ancaman terhadap kehidupan masyarakat luas. Bahkan perkembangan hukum sejak Deklarasi Universal HAM telah mengubah pandangan mengenai hak dan kebebasan manusia sebagai subjek bermartabat misalnya bukan lagi objek dari sistem peradilan pidana.
Hak dan kebebasan tersebut tetap dibatasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J UUD 45. Deklarasi ASEAN di Bangkok tentang HAM menegaskan bahwa bagi bangsa-bangsa ASEAN, konsep HAM yang diakui adalah bersifat partikularistik, bukan bersifat universal. Dalam konteks hukum, deklarasi tersebut tidak menutup celah perubahan sepanjang tetap taat pada asas-asas hukum dan pengecualian yang telah diakui dalam baik undang-undang maupun dalam yurisprudensi. Perkembangan pandangan tentang hukum tersebut untuk dapat mengantisipasi dan menjangkau perbuatan-perbuatan yang semula tidak dipidana menjadi dapat dipidana.
Perubahan proses pembentukan hukum sedemikian bukanlah sesuatu yang luar biasa dan ganjil, melainkan merupakan hal yang lazim terjadi. Mochtar Kusumaatmadja telah memelopori perubahan hukum yang bersifat antisipatif dan akomodatif terhadap perkembangan masyarakat. Roscou Pound, ahli hukum AS, telah menyatakan bahwa kebiasaan ahli hukum hanya melihat hukum dari dalam keliru, ia seharusnya juga melihat hukum dari luar (hukum), yaitu kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.
Terorisme Nonfisik
Dalam konteks tataran teoritik hukum, kegiatan hoaks sebagaimana telah diuraikan di atas pada awal tulisan ini mencerminkan bahwa ruang toleransi terhadap perbuatan hoaks terutama hoaks politik yang mengganggu pemilu yang demokratis telah berakhir. Jika hoaks politik telah sedemikian rupa, maka pemikiran bahwa hoaks yang senyatanya membahayakan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara apalagi bertujuan makar dan atau pemberontakan dapat digolongkan ke dalam tindakan terorisme yang bersifat nonfisik-psychological-terror
Penulis sebagai ketua tim penyusun UU Terorisme Tahun 2003 dalam situasi teror fisik seperti bom Bali, bom Thamrin berbeda dengan keadaan saat ini, sehingga UU aquo telah tidak dapat mengakomodasi perkembangan terkini terkait kegiatan teror nonfisik yang tidak ada pengaturannya di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk tujuan tersebut diperlukan standar dan norma serta ancaman sanksi yang dipandang efektif untuk mencegah perbuatan terorisme secara nonfisik melalui teknologi siber. Dalam kaitan ini diketahui bahwa sarana teknologi siber yang semakin canggih untuk tindakan teror tidak dapat di-counter melalui hukum pembuktian. Sulit untuk menemukan siapa pembuatnya dan di mana perbuatan dilakukan, dan dalam konteks sistem hukum pidana Indonesia memiliki hambatan untuk dapat memenuhi syarat lex locus delicti dalam surat dakwaan (Pasal 143 ayat 2 b UU Nomor 8 Tahun 1981).
Konvensi Internasional tentang Kejahatan Siber (Praha) telah sepakat bahwa syarat lex locus delicti terhadap kejahatan siber dikesampingkan. Dalam konteks masa depan Indonesia, diperlukan langkah hukum yang efektif dan efisien terhadap tindakan teror yang bersifat nonfisik.
Solusi alternatif yang diperlukan yaitu, pertama , revisi terhadap UU ITE secara khusus untuk memperkuat UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Umum. Kedua , revisi UU No 15 Tahun 2003 yang telah diubah menjadi UU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ketiga , revisi ketentuan-ketentuan atas BAB I KUHP tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara, dan atau BAB V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum.
(nag)