NU:'How Long Can You Go'?
A
A
A
Nahdlatul Ulama (NU) berusia 93 tahun menurut kalender Miladiah dan 96 tahun menurut kalender Hijriah. NU lahir pada 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. NU adalah organisasi sosial keagamaan meski pernah menjadi organisasi politik. Secara umum ada tiga jenis organisasi di dunia: organisasi politik, organisasi ekonomi, dan organisasi sosial.
Organisasi politik yang paling kuat adalah negara atau daulah, di bawah itu ada partai politik. Organisasi ekonomi menjelma dalam bentuk korporasi. Organisasi sosial mewujud dalam berbagai bentuk salah satunya ormas keagamaan.
Banyak organisasi, baik organisasi politik, ekonomi, maupun sosial yang timbul tenggelam. Daulah Umayyah yang beribu kota Damaskus berusia kurang dari seabad hanya bertahan 89 tahun (661-750 M). Dinasti Abbasiyah yang beribu kota di Baghdad berkuasa 508 tahun (750-1258), kemudian tumbang diserbu bangsa Mongol pada 1258.
Di dunia modern sebuah imperium adidaya di Eropa Timur bernama Uni Soviet runtuh di usia 69 tahun (1922–1991), pecah menjadi 15 negara. Di Eropa Tenggara ada imperium di semenanjung Balkan, namanya Yugoslavia, usianya hanya 85 tahun (1918-2003), pecah menjadi tujuh negara kecil. Di Indonesia ada organisasi politik di bawah negara, namanya PKI, berdiri pada 1914, bubar pada 1966 di usia 52 tahun. Ada juga Masyumi, federasi organisasi Islam terbesar, jadi partai, berdiri pada 1943, bubar pada 1960 di usia yang sangat pendek, hanya 17 tahun.
Organisasi pelopor pergerakan Islam adalah Syarekat Dagang Islam, berdiri pada 1905, terus berganti-ganti nama menjadi SI, PSI, PSII, dan balik nama menjadi Syarekat Islam. Sekarang kiprahnya merosot tajam. DI/NII didirikan oleh bekas sekjen PSII bernama SM Kartosoewirjo pada 1949 di Tasikmalaya, hanya bertahan 13 tahun. Anak turunnya menjelma dalam bentuk Komando Jihad (1971-1981), JI (1993-2000), JAT (2008), JAD (2014), dan JAS (2014).
Banyak organisasi ekonomi yang usianya ratusan tahun dan tetap bertahan sampai sekarang seperti Shell dan Caltex, pecahan dari Standard Oil yang didirikan pada 1870. Ada pula yang kemudian tumbang seperti Lehman Brothers, bank terbesar di Amerika yang gulung tikar pada 2008 di usia 158 tahun (1850-2008).
Kodak, produsen kamera dan fotograf, tutup usia pada 2009 di usia 117 tahun (1888 - 2009); MGM tutup pada 2005 di usia 81 tahun (1924-2005); Marvel diakuisisi Walt Disney pada 2009. Blackberry, generasi smartphone pertama, punya era jaya yang sangat pendek (awal 2000-an), sekarang tergilas oleh Apple dan Android. Nokia, raksasa ponsel era 90-an, kini sekarat oleh gempuran iPhone dan Samsung.
Organisasi sosial juga tumbuh dan berkembang. Ada yang berjangkar dari kekuatan sipil, ada yang hidup dari isu, ada yang tumbuh musiman, ada yang bergantung dari donor dan sponsor. Jumlah ormas sosial keagamaan menurut Kementerian Agama ada 2.653, yang besar dan berskala nasional berjumlah 33. Ada yang hidupnya kembang kempis, eksis hanya pas muktamar atau kongres. Yang terbesar dan termasuk tertua tentu saja NU (1926) dan Muhammadiyah (1912).
NU adalah satu-satunya organisasi yang jumlah anggotanya paling misterius di dunia. Dalam AD/ART NU Pasal 5, anggota NU hanya berhenti karena dua hal: minta berhenti atau diberhentikan. Meninggal dunia bukan faktor pemutus keanggotaan. Karena itu, anggota NU yang meninggal tetap disapa dengan doa dan tawasul melalui kegiatan tahlil. Survei SMRC pada 2016 menyatakan, jumlah umat Islam Indonesia 219 juta, yang amaliahnya NU separuhnya, 108 juta. Menurut survei Alvara (2016), umat Islam Indonesia yang tahlilan 83%, yang mauludan 90%, yang qunut 71%.
Faktor Survive
Apa yang membuat organisasi bisa bertahan? Jika itu organisasi ekonomi, kuncinya sederhana: produknya menjual. Di era Revolusi Industri 4.0, pasar menuntut produk yang lebih murah (cheaper), lebih mutu (better), lebih cepat (faster), lebih inovatif (newer), dan lebih pintar (smarter). Perusahaan yang gagal mengelola bisnisnya dengan menghasilkan produk dengan lima kualifikasi itu tinggal tunggu lonceng kematian. Pilihannya tidak banyak: mendisrupsi atau terdisrupsi. Petahana bisnis yang malas (the lazy incumbent) kini telah banyak gulung tikar di sejumlah sektor.
Jika itu organisasi politik, kuncinya efektivitas mencapai tujuan. Kalau bentuknya negara, dia efektif menjalankan pemerintahan yang mampu mendekatkan tujuan dan cita-cita bernegara. Negara yang gagal mengelola konflik tidak akan efektif. Negara yang tidak mampu memenuhi hajat hidup rakyatnya akan dilanda krisis. Ujungnya menjadi negara gagal dan bubar. Kalau bentuknya partai politik, kuncinya trust. Partai yang tidak dipercaya konstituen, tidak akan dipilih. Seterusnya tidak mendapat sejumlah kursi yang memenuhi syarat ambang batas. Ujungnya bubar.
Bagaimana dengan organisasi sosial? Amitai Etzioni dalam A Comparative Analysis of Complex Organizations (1975) membandingkan tiga jenis organisasi berdasarkan kepatuhannya. Organisasi yang kekuasaannya berasal dari sumber daya paksa, seperti negara, menghasilkan kepatuhan alienatif. Instrumennya fisik, sifat keterlibatannya koersif. Organisasi yang kekuasaannya berasal dari sumber daya remuneratif, seperti perusahaan, menghasilkan kepatuhan kalkulatif. Instrumennya material, sifat keterlibatannya utilitarian.
Organisasi yang kekuasaannya berasal dari nilai dan norma, seperti ormas keagamaan, menghasilkan kepatuhan normatif. Instrumennya simbol, sifat keterlibatannya moral. Dari kaca Etzioni, ormas keagamaan seperti NU akan bertahan sejauh tetap berjangkar pada kepemimpinan moral dan spiritual (qiyâdah rohâniyah). Kelangsungan dan legitimasinya tergantung kepada kekuatan ideologi dan moralitas.
Siklus Organisasi
Ibnu Khaldun, sosiolog dan sejarawan kenamaan dari Afrika, menyebut usia organisasi rata-rata 120 tahun. Dalam karyanya yang monumental, Muqaddimah, ia membagi tumbuh kembangnya organisasi dalam tiga fase. Fase pertama adalah 40 tahun pertama generasi pendiri. Di fase ini, solidaritas dan militansi anggotanya, yang disebut dengan ‘ashabiyyah, sangat tinggi dan kuat. Semangat dan keswadayaannya luar biasa.
Fase kedua adalah 40 tahun kedua generasi penikmat. Sudah ada hasil yang dinikmati. ‘Ashabiyah mengendur seiring menguatnya pragmatisme. Fase ketiga adalah 40 tahun terakhir generasi cuek. Elemen organisasi tenggelam dalam hedonisme. Militansi dan solidaritas pudar. Orang acuh tak acuh terhadap kolektivitas. Individualisme merajalela. Fase ini adalah senjakala organisasi, saat-saat menjelang keruntuhan.
Jika kita gunakan teori siklus Ibnu Khaldun, NU saat ini memasuki fase ketiga. Tentu teori Ibnu Khaldun tidak bisa ditelan mentah-mentah. Apakah NU memasuki era senjakala di mana ashabiyah ke-NU-an punah dan Nahdliyin tenggelam dalam individualisme, hedonisme, dan pragmatisme? Gejalanya tidak persis dengan teori Ibnu Khaldun. Di tingkat generasi muda, betul ada kampanye masif untuk meninggalkan mazhab dengan jargon kembali kepada Alquran dan Hadis. “Tidak perlu NU atau ormas Islam lainnya, yang penting Islam. Islam itu satu,” kata mereka.
Kampanye jenis ini mungkin efektif di kalangan yang sejak awal tidak terafiliasi dengan ormas keagamaan. Mungkin ada juga orang NU yang terpapar dengan jargon ukhuwah Islâmiyah ala kelompok al-Muwahhidin pengikut Ibn Taimiyah, tetapi jumlahnya tidak banyak. Yang terjadi sekarang justru revivalisme ashabiyah ke-NU-an melalui gerakan kaderisasi.
Pimpinan NU menyadari perlunya meng-NU-kan orang NU dan men-jam’iyyah-kan jamaah NU melalui kaderisasi formal. Berbagai jenjang kaderisasi digelar, baik langsung melalui struktur NU dan Banomnya di berbagai tingkat maupun oleh para kader penggerak NU di bawah. Hasilnya cukup lumayan. NU punya banyak kader militan yang siap “tempur” membela NU dan NKRI dari berbagai rongrongan.
Kaderisasi adalah proyek besar berjangka panjang. Melalui kaderisasi, orang NU tahu bahwa ber-NU itu bukan sekadar beramaliah NU (tahlil, qunut, wirid, dan sebagainya), tetapi ber-fikrah NU, ber-harakah NU, dan ber-ghirah NU. Fikrah NU itu bukan hanya fikrah diniyah, tetapi juga fikrah siyâsiyah yang mengakui NKRI sah dan final. Ber-harakah NU artinya tidak terpengaruh dengan jargon-jargon gerakan Islam transnasional. NU bergerak dalam koridor dan wawasan Islam–kebangsaan.
Melalui kaderisasi, ashabiyah (militansi dan solidaritas) ke-NU-an dipupuk dan diremajakan kembali. Selagi ashabiyah kuat, dalam teori Ibnu Khaldun, organisasi tidak akan lapuk dan layu. Melihat upaya yang dilakukan oleh organisasi ini, teori siklus Ibnu Khaldun tentang batas usia organisasi sepanjang 120 tahun tidak berlaku. NU akan bertahan sepanjang hayat, sepanjang Tanah Air berpijak, insya Allah.
Organisasi politik yang paling kuat adalah negara atau daulah, di bawah itu ada partai politik. Organisasi ekonomi menjelma dalam bentuk korporasi. Organisasi sosial mewujud dalam berbagai bentuk salah satunya ormas keagamaan.
Banyak organisasi, baik organisasi politik, ekonomi, maupun sosial yang timbul tenggelam. Daulah Umayyah yang beribu kota Damaskus berusia kurang dari seabad hanya bertahan 89 tahun (661-750 M). Dinasti Abbasiyah yang beribu kota di Baghdad berkuasa 508 tahun (750-1258), kemudian tumbang diserbu bangsa Mongol pada 1258.
Di dunia modern sebuah imperium adidaya di Eropa Timur bernama Uni Soviet runtuh di usia 69 tahun (1922–1991), pecah menjadi 15 negara. Di Eropa Tenggara ada imperium di semenanjung Balkan, namanya Yugoslavia, usianya hanya 85 tahun (1918-2003), pecah menjadi tujuh negara kecil. Di Indonesia ada organisasi politik di bawah negara, namanya PKI, berdiri pada 1914, bubar pada 1966 di usia 52 tahun. Ada juga Masyumi, federasi organisasi Islam terbesar, jadi partai, berdiri pada 1943, bubar pada 1960 di usia yang sangat pendek, hanya 17 tahun.
Organisasi pelopor pergerakan Islam adalah Syarekat Dagang Islam, berdiri pada 1905, terus berganti-ganti nama menjadi SI, PSI, PSII, dan balik nama menjadi Syarekat Islam. Sekarang kiprahnya merosot tajam. DI/NII didirikan oleh bekas sekjen PSII bernama SM Kartosoewirjo pada 1949 di Tasikmalaya, hanya bertahan 13 tahun. Anak turunnya menjelma dalam bentuk Komando Jihad (1971-1981), JI (1993-2000), JAT (2008), JAD (2014), dan JAS (2014).
Banyak organisasi ekonomi yang usianya ratusan tahun dan tetap bertahan sampai sekarang seperti Shell dan Caltex, pecahan dari Standard Oil yang didirikan pada 1870. Ada pula yang kemudian tumbang seperti Lehman Brothers, bank terbesar di Amerika yang gulung tikar pada 2008 di usia 158 tahun (1850-2008).
Kodak, produsen kamera dan fotograf, tutup usia pada 2009 di usia 117 tahun (1888 - 2009); MGM tutup pada 2005 di usia 81 tahun (1924-2005); Marvel diakuisisi Walt Disney pada 2009. Blackberry, generasi smartphone pertama, punya era jaya yang sangat pendek (awal 2000-an), sekarang tergilas oleh Apple dan Android. Nokia, raksasa ponsel era 90-an, kini sekarat oleh gempuran iPhone dan Samsung.
Organisasi sosial juga tumbuh dan berkembang. Ada yang berjangkar dari kekuatan sipil, ada yang hidup dari isu, ada yang tumbuh musiman, ada yang bergantung dari donor dan sponsor. Jumlah ormas sosial keagamaan menurut Kementerian Agama ada 2.653, yang besar dan berskala nasional berjumlah 33. Ada yang hidupnya kembang kempis, eksis hanya pas muktamar atau kongres. Yang terbesar dan termasuk tertua tentu saja NU (1926) dan Muhammadiyah (1912).
NU adalah satu-satunya organisasi yang jumlah anggotanya paling misterius di dunia. Dalam AD/ART NU Pasal 5, anggota NU hanya berhenti karena dua hal: minta berhenti atau diberhentikan. Meninggal dunia bukan faktor pemutus keanggotaan. Karena itu, anggota NU yang meninggal tetap disapa dengan doa dan tawasul melalui kegiatan tahlil. Survei SMRC pada 2016 menyatakan, jumlah umat Islam Indonesia 219 juta, yang amaliahnya NU separuhnya, 108 juta. Menurut survei Alvara (2016), umat Islam Indonesia yang tahlilan 83%, yang mauludan 90%, yang qunut 71%.
Faktor Survive
Apa yang membuat organisasi bisa bertahan? Jika itu organisasi ekonomi, kuncinya sederhana: produknya menjual. Di era Revolusi Industri 4.0, pasar menuntut produk yang lebih murah (cheaper), lebih mutu (better), lebih cepat (faster), lebih inovatif (newer), dan lebih pintar (smarter). Perusahaan yang gagal mengelola bisnisnya dengan menghasilkan produk dengan lima kualifikasi itu tinggal tunggu lonceng kematian. Pilihannya tidak banyak: mendisrupsi atau terdisrupsi. Petahana bisnis yang malas (the lazy incumbent) kini telah banyak gulung tikar di sejumlah sektor.
Jika itu organisasi politik, kuncinya efektivitas mencapai tujuan. Kalau bentuknya negara, dia efektif menjalankan pemerintahan yang mampu mendekatkan tujuan dan cita-cita bernegara. Negara yang gagal mengelola konflik tidak akan efektif. Negara yang tidak mampu memenuhi hajat hidup rakyatnya akan dilanda krisis. Ujungnya menjadi negara gagal dan bubar. Kalau bentuknya partai politik, kuncinya trust. Partai yang tidak dipercaya konstituen, tidak akan dipilih. Seterusnya tidak mendapat sejumlah kursi yang memenuhi syarat ambang batas. Ujungnya bubar.
Bagaimana dengan organisasi sosial? Amitai Etzioni dalam A Comparative Analysis of Complex Organizations (1975) membandingkan tiga jenis organisasi berdasarkan kepatuhannya. Organisasi yang kekuasaannya berasal dari sumber daya paksa, seperti negara, menghasilkan kepatuhan alienatif. Instrumennya fisik, sifat keterlibatannya koersif. Organisasi yang kekuasaannya berasal dari sumber daya remuneratif, seperti perusahaan, menghasilkan kepatuhan kalkulatif. Instrumennya material, sifat keterlibatannya utilitarian.
Organisasi yang kekuasaannya berasal dari nilai dan norma, seperti ormas keagamaan, menghasilkan kepatuhan normatif. Instrumennya simbol, sifat keterlibatannya moral. Dari kaca Etzioni, ormas keagamaan seperti NU akan bertahan sejauh tetap berjangkar pada kepemimpinan moral dan spiritual (qiyâdah rohâniyah). Kelangsungan dan legitimasinya tergantung kepada kekuatan ideologi dan moralitas.
Siklus Organisasi
Ibnu Khaldun, sosiolog dan sejarawan kenamaan dari Afrika, menyebut usia organisasi rata-rata 120 tahun. Dalam karyanya yang monumental, Muqaddimah, ia membagi tumbuh kembangnya organisasi dalam tiga fase. Fase pertama adalah 40 tahun pertama generasi pendiri. Di fase ini, solidaritas dan militansi anggotanya, yang disebut dengan ‘ashabiyyah, sangat tinggi dan kuat. Semangat dan keswadayaannya luar biasa.
Fase kedua adalah 40 tahun kedua generasi penikmat. Sudah ada hasil yang dinikmati. ‘Ashabiyah mengendur seiring menguatnya pragmatisme. Fase ketiga adalah 40 tahun terakhir generasi cuek. Elemen organisasi tenggelam dalam hedonisme. Militansi dan solidaritas pudar. Orang acuh tak acuh terhadap kolektivitas. Individualisme merajalela. Fase ini adalah senjakala organisasi, saat-saat menjelang keruntuhan.
Jika kita gunakan teori siklus Ibnu Khaldun, NU saat ini memasuki fase ketiga. Tentu teori Ibnu Khaldun tidak bisa ditelan mentah-mentah. Apakah NU memasuki era senjakala di mana ashabiyah ke-NU-an punah dan Nahdliyin tenggelam dalam individualisme, hedonisme, dan pragmatisme? Gejalanya tidak persis dengan teori Ibnu Khaldun. Di tingkat generasi muda, betul ada kampanye masif untuk meninggalkan mazhab dengan jargon kembali kepada Alquran dan Hadis. “Tidak perlu NU atau ormas Islam lainnya, yang penting Islam. Islam itu satu,” kata mereka.
Kampanye jenis ini mungkin efektif di kalangan yang sejak awal tidak terafiliasi dengan ormas keagamaan. Mungkin ada juga orang NU yang terpapar dengan jargon ukhuwah Islâmiyah ala kelompok al-Muwahhidin pengikut Ibn Taimiyah, tetapi jumlahnya tidak banyak. Yang terjadi sekarang justru revivalisme ashabiyah ke-NU-an melalui gerakan kaderisasi.
Pimpinan NU menyadari perlunya meng-NU-kan orang NU dan men-jam’iyyah-kan jamaah NU melalui kaderisasi formal. Berbagai jenjang kaderisasi digelar, baik langsung melalui struktur NU dan Banomnya di berbagai tingkat maupun oleh para kader penggerak NU di bawah. Hasilnya cukup lumayan. NU punya banyak kader militan yang siap “tempur” membela NU dan NKRI dari berbagai rongrongan.
Kaderisasi adalah proyek besar berjangka panjang. Melalui kaderisasi, orang NU tahu bahwa ber-NU itu bukan sekadar beramaliah NU (tahlil, qunut, wirid, dan sebagainya), tetapi ber-fikrah NU, ber-harakah NU, dan ber-ghirah NU. Fikrah NU itu bukan hanya fikrah diniyah, tetapi juga fikrah siyâsiyah yang mengakui NKRI sah dan final. Ber-harakah NU artinya tidak terpengaruh dengan jargon-jargon gerakan Islam transnasional. NU bergerak dalam koridor dan wawasan Islam–kebangsaan.
Melalui kaderisasi, ashabiyah (militansi dan solidaritas) ke-NU-an dipupuk dan diremajakan kembali. Selagi ashabiyah kuat, dalam teori Ibnu Khaldun, organisasi tidak akan lapuk dan layu. Melihat upaya yang dilakukan oleh organisasi ini, teori siklus Ibnu Khaldun tentang batas usia organisasi sepanjang 120 tahun tidak berlaku. NU akan bertahan sepanjang hayat, sepanjang Tanah Air berpijak, insya Allah.
(nag)