Ada Apa dengan Menag?
A
A
A
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
MEMBERIKAN judul artikel ini, “Ada Apa dengan Menag?”, menggambarkan pertanyaan di benak masyarakat atas temuan uang tunai ratusan juta rupiah di ruangan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 18 Maret 2019. Penggeledahan dan penyitaan di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) dan ruang kerja menag merupakan tindak lanjut dari operasi tangkap tangan (OTT) Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga anggota DPR RI Komisi XI Romahurmuziy (Romy) pada Jumat, 15 Maret 2019.
Adapun perkara yang menjerat Romy adalah terkait gratifikasi pengisian jabatan di Kemenag yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan tugas Romy baik sebagai ketua umum partai maupun anggota DPR RI Komisi XI yang membidangi bank dan lembaga keuangan. Dapat dipahami pernyataan KPK yang menyatakan bahwa Romy tidak bekerja sendirian karena apa yang dilakukannya dapat didefinisikan trading influence.
Mengapa trading influence? Karena, Romy adalah ketua umum partai (kini telah mengundurkan diri) dan Kemenag yang memiliki wewenang atas pengisian jabatan di menag dipimpin oleh menteri yang juga merupakan kader PPP. Irisan lain yang menguatkan terjadinya trading influence adalah disitanya uang tunai dalam jumlah tidak wajar di ruangan menag.
Paul Stampler (2000) menjelaskan bahwa trading influence merupakan bentuk praktik korupsi yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengaruh politik kuat pada pengambil keputusan. Gambaran relasi ini persis tergambar pada relasi Romy dan Menteri Agama yang merupakan kadernya. Peristiwa ini sesungguhnya merupakan “tamparan keras” untuk PPP mengingat dua menteri agama terakhir sama-sama dari partai ini dan keduanya sama-sama terlibat dalam kasus korupsi (Suryadharma Ali telah divonis Pengadilan Tipikor dan kini Lukman Hakim Saifuddin sedang diperiksa oleh KPK dalam perkara tindak pidana korupsi).
Peristiwa ini secara politik tentu akan sangat merugikan PPP mengingat akan sangat berdampak pada efek elektoral PPP pada pemilu legislatif yang kurang dari sebulan lagi. Tidak cukup banyak waktu untuk recovery. Kerugian lainnya adalah situasi ini tentu akan menjadi catatan bagi presiden terpilih nanti untuk berpikir ulang jika hendak menempatkan kader PPP dalam posisi menteri agama.
Perbaikan Kelembagaan
Memang ironis Kemenag yang seharusnya bertugas untuk membangun akhlak bangsa justru menjadi kementerian dengan tingkat korupsi yang termasuk tinggi. Kasus di Kemenag pascabergulirnya reformasi setidaknya telah “menghasilkan” enam kasus korupsi yang melibatkan tiga menteri agama. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Kemenag sesungguhnya perlu mendapatkan prioritas terkait penanganan praktik korupsi yang menjangkiti lembaga itu.
Fakta bahwa banyak oknum pejabat di kementerian ini yang integritasnya masih compang-camping perlu mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya dari Presiden RI mengingat penting dan strategisnya peran kementerian tersebut guna pembangunan mental dan akhlak manusia Indonesia, termasuk menyelenggarakan ibadah haji dan ihwal yang terkait fungsi-fungsi keagamaan lainnya.
Pemerintah perlu secara serius menata ulang Kemenag secara kelembagaan dan menaruh “orang-orang berintegritas” untuk menempati jabatan di lembaga tersebut. Dengan melihat fakta bahwa pada kasus-kasus korupsi yang terjadi di Kemenag melibatkan tiga orang menteri agama, pejabat setingkat dirjen, sekjen, dan banyak pejabat teras Kemenag yang semestinya memberi contoh akhlak yang baik justru menunjukkan moral yang tidak baik pada masyarakat luas. Kini Kemenag memang benar-benar perlu orang-orang bersih.
Guna menata ulang pejabat di Kementerian Agama, pemerintah perlu melibatkan KPK guna membuat assessmentintegritas pada pengisian jabatan, utamanya jabatan-jabatan strategis. Kemenag juga perlu dipimpin oleh figur yang kuat dan berintegritas, idealnya menteri agama harus dijabat oleh sosok yang “sudah selesai dengan dirinya sendiri”.
Dengan demikian, menteri agama tidak akan melakukan perbuatan koruptif dan terlibat trading influence yang justru mengeksploitasi institusi itu sendiri untuk memenuhi kepentingan pribadi (yang ilegal). Kementerian Agama perlu sosok yang kuat untuk mengembalikan fungsi lembaga pada pelayanan masyarakat, bukan justru sebaliknya, mengeksploitasi fungsi yang ada pada Kementerian Agama.
Menteri Agama
Dengan berkaca pada kasus-kasus yang menimpa Kementerian Agama, khususnya mengacu pada kasus terakhir, yakni percaloan politik (trading influence), siapa pun presiden yang terpilih pada Pemilu 2019 dapat secara serius mempertimbangkan menteri agama nonpartai politik yang memiliki rekam jejak dan integritas yang memadai untuk memimpin Kementerian Agama serta menata ulang lembaga tersebut dengan personel-personel berintegritas.
Di banyak negara, bahkan di negara-negara muslim, banyak menteri agama diisi tokoh agama muslim nonparpol, pertimbangannya adalah fungsi agama harus bebas dari politik praktis dan dinamika partai politik. Ke depan opsi ini dapat dipertimbangkan sebagai cara perbaikan Kementerian Agama sehingga dapat terbebas dari percaloan politik (trading influence) sebagaimana terakhir terjadi pada kasus Romy.
Catatan lainnya atas kejadian dua menteri agama secara berturut dan dalam periode berurutan (2009 – 2019) dan berasal dari partai yang bersama terlibat dalam persoalan korupsi, maka bisa menjadi pembelajaran bahwa rotasi dalam Kementerian Agama perlu dilakukan, termasuk dalam menghindari terjadinya percaloan politik (trading influence) yang justru menggerogoti Kementerian Agama itu sendiri.
Memang ironis di negara agamais seperti Indonesia justru banyak menteri agama yang bermasalah terkait integritasnya (Said Agil dan Suryadharma Ali telah menerima vonis tindak pidana korupsi, dan kini Lukman Hakim Saifuddin sedang diperiksa terkait perkara pengisian jabatan Kemenag yang dilakukan Romy). Pompey (1994) menyatakan bahwa rotasi atau reshufflesecara berkala atau tidak menempatkan menteri-menteri di kementerian yang sama selama beberapa periode atau berurutan dijabat oleh menteri dari kader partai yang sama akan menghindarkan terjadinya percaloan politik (trading influence).
Kini memang perkara hasil pengembangan OTT Romy sedang berjalan dan ditangani oleh KPK dan terlalu dini untuk menyimpulkan peran masing-masing pihak secara pasti. Namun, yang jelas bahwa Kementerian Agama perlu segera dibenahi khususnya terkait aspek moral dan integritas para personelnya sehingga kementerian ini bebas dari oknum yang mengeksploitasinya untuk kepentingan duniawi yang ilegal. Dengan dilakukannya pembenahan yang paripurna, Kementerian Agama dapat menjalankan fungsi melayani masyarakat secara optimal.
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
MEMBERIKAN judul artikel ini, “Ada Apa dengan Menag?”, menggambarkan pertanyaan di benak masyarakat atas temuan uang tunai ratusan juta rupiah di ruangan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 18 Maret 2019. Penggeledahan dan penyitaan di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) dan ruang kerja menag merupakan tindak lanjut dari operasi tangkap tangan (OTT) Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga anggota DPR RI Komisi XI Romahurmuziy (Romy) pada Jumat, 15 Maret 2019.
Adapun perkara yang menjerat Romy adalah terkait gratifikasi pengisian jabatan di Kemenag yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan tugas Romy baik sebagai ketua umum partai maupun anggota DPR RI Komisi XI yang membidangi bank dan lembaga keuangan. Dapat dipahami pernyataan KPK yang menyatakan bahwa Romy tidak bekerja sendirian karena apa yang dilakukannya dapat didefinisikan trading influence.
Mengapa trading influence? Karena, Romy adalah ketua umum partai (kini telah mengundurkan diri) dan Kemenag yang memiliki wewenang atas pengisian jabatan di menag dipimpin oleh menteri yang juga merupakan kader PPP. Irisan lain yang menguatkan terjadinya trading influence adalah disitanya uang tunai dalam jumlah tidak wajar di ruangan menag.
Paul Stampler (2000) menjelaskan bahwa trading influence merupakan bentuk praktik korupsi yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengaruh politik kuat pada pengambil keputusan. Gambaran relasi ini persis tergambar pada relasi Romy dan Menteri Agama yang merupakan kadernya. Peristiwa ini sesungguhnya merupakan “tamparan keras” untuk PPP mengingat dua menteri agama terakhir sama-sama dari partai ini dan keduanya sama-sama terlibat dalam kasus korupsi (Suryadharma Ali telah divonis Pengadilan Tipikor dan kini Lukman Hakim Saifuddin sedang diperiksa oleh KPK dalam perkara tindak pidana korupsi).
Peristiwa ini secara politik tentu akan sangat merugikan PPP mengingat akan sangat berdampak pada efek elektoral PPP pada pemilu legislatif yang kurang dari sebulan lagi. Tidak cukup banyak waktu untuk recovery. Kerugian lainnya adalah situasi ini tentu akan menjadi catatan bagi presiden terpilih nanti untuk berpikir ulang jika hendak menempatkan kader PPP dalam posisi menteri agama.
Perbaikan Kelembagaan
Memang ironis Kemenag yang seharusnya bertugas untuk membangun akhlak bangsa justru menjadi kementerian dengan tingkat korupsi yang termasuk tinggi. Kasus di Kemenag pascabergulirnya reformasi setidaknya telah “menghasilkan” enam kasus korupsi yang melibatkan tiga menteri agama. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Kemenag sesungguhnya perlu mendapatkan prioritas terkait penanganan praktik korupsi yang menjangkiti lembaga itu.
Fakta bahwa banyak oknum pejabat di kementerian ini yang integritasnya masih compang-camping perlu mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya dari Presiden RI mengingat penting dan strategisnya peran kementerian tersebut guna pembangunan mental dan akhlak manusia Indonesia, termasuk menyelenggarakan ibadah haji dan ihwal yang terkait fungsi-fungsi keagamaan lainnya.
Pemerintah perlu secara serius menata ulang Kemenag secara kelembagaan dan menaruh “orang-orang berintegritas” untuk menempati jabatan di lembaga tersebut. Dengan melihat fakta bahwa pada kasus-kasus korupsi yang terjadi di Kemenag melibatkan tiga orang menteri agama, pejabat setingkat dirjen, sekjen, dan banyak pejabat teras Kemenag yang semestinya memberi contoh akhlak yang baik justru menunjukkan moral yang tidak baik pada masyarakat luas. Kini Kemenag memang benar-benar perlu orang-orang bersih.
Guna menata ulang pejabat di Kementerian Agama, pemerintah perlu melibatkan KPK guna membuat assessmentintegritas pada pengisian jabatan, utamanya jabatan-jabatan strategis. Kemenag juga perlu dipimpin oleh figur yang kuat dan berintegritas, idealnya menteri agama harus dijabat oleh sosok yang “sudah selesai dengan dirinya sendiri”.
Dengan demikian, menteri agama tidak akan melakukan perbuatan koruptif dan terlibat trading influence yang justru mengeksploitasi institusi itu sendiri untuk memenuhi kepentingan pribadi (yang ilegal). Kementerian Agama perlu sosok yang kuat untuk mengembalikan fungsi lembaga pada pelayanan masyarakat, bukan justru sebaliknya, mengeksploitasi fungsi yang ada pada Kementerian Agama.
Menteri Agama
Dengan berkaca pada kasus-kasus yang menimpa Kementerian Agama, khususnya mengacu pada kasus terakhir, yakni percaloan politik (trading influence), siapa pun presiden yang terpilih pada Pemilu 2019 dapat secara serius mempertimbangkan menteri agama nonpartai politik yang memiliki rekam jejak dan integritas yang memadai untuk memimpin Kementerian Agama serta menata ulang lembaga tersebut dengan personel-personel berintegritas.
Di banyak negara, bahkan di negara-negara muslim, banyak menteri agama diisi tokoh agama muslim nonparpol, pertimbangannya adalah fungsi agama harus bebas dari politik praktis dan dinamika partai politik. Ke depan opsi ini dapat dipertimbangkan sebagai cara perbaikan Kementerian Agama sehingga dapat terbebas dari percaloan politik (trading influence) sebagaimana terakhir terjadi pada kasus Romy.
Catatan lainnya atas kejadian dua menteri agama secara berturut dan dalam periode berurutan (2009 – 2019) dan berasal dari partai yang bersama terlibat dalam persoalan korupsi, maka bisa menjadi pembelajaran bahwa rotasi dalam Kementerian Agama perlu dilakukan, termasuk dalam menghindari terjadinya percaloan politik (trading influence) yang justru menggerogoti Kementerian Agama itu sendiri.
Memang ironis di negara agamais seperti Indonesia justru banyak menteri agama yang bermasalah terkait integritasnya (Said Agil dan Suryadharma Ali telah menerima vonis tindak pidana korupsi, dan kini Lukman Hakim Saifuddin sedang diperiksa terkait perkara pengisian jabatan Kemenag yang dilakukan Romy). Pompey (1994) menyatakan bahwa rotasi atau reshufflesecara berkala atau tidak menempatkan menteri-menteri di kementerian yang sama selama beberapa periode atau berurutan dijabat oleh menteri dari kader partai yang sama akan menghindarkan terjadinya percaloan politik (trading influence).
Kini memang perkara hasil pengembangan OTT Romy sedang berjalan dan ditangani oleh KPK dan terlalu dini untuk menyimpulkan peran masing-masing pihak secara pasti. Namun, yang jelas bahwa Kementerian Agama perlu segera dibenahi khususnya terkait aspek moral dan integritas para personelnya sehingga kementerian ini bebas dari oknum yang mengeksploitasinya untuk kepentingan duniawi yang ilegal. Dengan dilakukannya pembenahan yang paripurna, Kementerian Agama dapat menjalankan fungsi melayani masyarakat secara optimal.
(wib)