White Supremacy dan Terorisme

Rabu, 20 Maret 2019 - 07:52 WIB
White Supremacy dan Terorisme
White Supremacy dan Terorisme
A A A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

POLISI segera menangkap Brenton Tarrant beberapa jam setelah ia melancarkan pembunuhan berdarah dingin yang mencederai puluhan orang dan menyebabkan meninggalnya 50 orang di Selandia Baru. Aksi Brenton tidak berhenti di sana walaupun ia sudah ditangkap.

Ia menimbulkan kemarahan masyarakat luas lagi ketika membuat simbol OK terbalik yang dikenal sebagai gerakan white supremacy di hadapan pengadilan. Beberapa analis mengatakan bahwa mungkin saja Brenton Tarrant melakukan simbol itu untuk menjebak kita dalam wacana bangkitnya gerakan white supremacy, tetapi tidak tertutup kemungkinan ia memang melakukannya untuk tujuan ideologi tersebut.

Terorisme tidak terkait agama apa pun. Ini adalah hal prinsip yang harus kita tekankan dan yakini. Terorisme mengambil sebagian dari nilai-nilai, ayat-ayat, atau penggalan kalimat dalam ajaran agama tertentu dan menginterpretasikannya kembali untuk kepentingan teror mereka.

Mereka mencabut konteks yang melekat dalam ajaran agama dan memberikan konteks baru untuk membenarkan terorisme yang mereka lakukan. Oleh sebab itu, sulit untuk tidak membicarakan dan mengaitkan meningkatnya doktrin rasialisme dan xenophobia yang menyebabkan pembunuhan di Christchurch New Zealand dengan kekerasan berbasis agama yang terjadi di negara-negara lain.

Banyak politisi di dunia saat ini yang memanfaatkan meningkatnya sentimen rasialisme dan menjadinya kendaraan politik untuk memenangkan kekuasaan. Presiden Jair Bolsonaro di Brasil, PM Netanyahu di Israel, Presiden Donald Trump di AS, atau Perdana Menteri Narendra Modi di India, dan beberapa pemimpin negara di Eropa adalah contoh beberapa pemimpin negara yang membiarkan sentimen rasisme dan xenophobia menguat untuk kemudian memetik keuntungan politik dari perkembangan tersebut.

Setiap negara, termasuk di Indonesia, berpotensi menjadi lahan berkembangnya paham rasisme dan xenophobia. Apa yang membedakan antara rasisme dan xenophobia di negara-negara itu dengan gerakan white supremacy yang kini mendapat simpati dari banyak orang kulit putih di beberapa negara adalah skala perluasannya. Gerakan white supremacy tidak lagi menjadi sebuah gerakan yang bersifat lokal, tetapi berkembang menuju sebuah sistem yang mendunia.

Ideologi kekerasan yang sudah mendunia akan semakin sulit ditangani. Karena umumnya akan semakin canggih dalam soal pendanaan, perekrutan yang lebih massal. Dan, juga akan semakin banyak menyasar target-target yang selama ini menjadi pemicu kebenciannya.

Pengaruh ideologi white supremacy saat ini masih dalam skala kecil di mana Brenton Tarrant adalah seorang warga Australia yang melakukan kejahatannya di New Zealand dan terinspirasi dari Anders Behring Breivik di Norwegia dan ideolog anti-imigran Renaud Camus di Prancis.

Brenton Tarrant sudah pasti akan menerima hukuman, tetapi ironisnya aksi tersebut justru akan menjadi panggung di mana ideologi white supremacy akan menjadi bahan pembicaraan bagi para pendukung white supremacy.

Walau tidak langsung mendukung aksi Tarrant, publik yang simpati dapat menyatakan pendapatnya sebagai bagian dari demokrasi liberal untuk menyatakan bebas menyatakan pendapatnya. Hal ini terjadi dalam kasus Anders Behring Breivik di Norwegia yang telah membunuh 77 remaja yang berhaluan kiri-tengah pada 2015.

Ia semakin populer dan mendapat ratusan “surat cinta”. Ada banyak orang dan tokoh seperti Breivik yang mendapat banyak simpati dan pendukung. Mereka tidak melakukan kekerasan langsung secara fisik, tetapi membiarkan dan bahkan membenarkan mengapa kekerasan terhadap minoritas boleh dilakukan.

Meski demikian, di satu sisi kita dapat prihatin dan khawatir bahwa gerakan ini akan mendunia dan sistematis. Tetapi, di sisi lain saya juga agak optimistis bahwa gerakan white supremacy ini tidak menjadi Al-Qaeda atau ISIS baru.

Ideologi white supremacy mungkin akan menguatkan kelompok-kelompok sayap kanan di dalam negeri masing-masing negara terutama di negara-negara Barat. Mereka bisa menjelma menjadi kelompok terorisme dalam negeri seperti yang terjadi pada 1980-an hingga 1990-an.

Sasaran ideologi terorisme dalam negeri pada masa itu lebih banyak mengincar kantor-kantor pemerintahan dan kelompok-kelompok liberal yang mengedepankan hak-hak sipil dan hak asasi manusia. Kelompok-kelompok itu yang dianggap menyebabkan kelompok kulit putih termarginalisasi dan tidak berkembang.

Artinya, sasaran dari gerakan terorisme dalam negeri saat ini telah bergeser. Terorisme dalam negeri saat ini mungkin lebih menyasar para imigran dan kelompok-kelompok minoritas lain yang dianggap sebagai ancaman bagi supremasi kulit putih. Kelompok minoritas itu mencakup masyarakat muslim, keturunan Latin, keturunan Asia, dan bahkan kaum Yahudi.

Terorisme dalam negeri ini mungkin saling berjejaring dari satu negara ke negara lain, tetapi mereka mungkin sulit untuk menjelma menjadi satu kekuatan yang terkonsentrasi seperti Al-Qaeda atau ISIS.

Salah satu penyebabnya karena tidak ada dukungan internasional bagi gerakan terorisme dalam negeri untuk berkembang menjadi organisasi yang terpusat. Hal ini berbeda dengan kelompok Al-Qaeda atau ISIS yang berkembang secara sistematis.

Kelompok-kelompok itu dalam sejarah perkembangannya mendapat bantuan dari negara-negara Barat. Kelompok Al-Qaeda adalah transformasi dari kelompok Mujahidin yang berperang melawan Uni Soviet di Afghanistan sejak 1979-1989.

CIA dan Pakistan’s Inter Services Intelligence membantu kelompok itu melalui Operation Cylone (BBC, 2004). Demikian pula dengan ISIS. Barat memberikan bantuan senjata, intelijen, peralatan militer diberikan kepada ratusan kelompok-kelompok pemberontak, baik moderat maupun yang radikal untuk melawan pemerintahan Suriah.

Bantuan tersebut sulit dikontrol, tetapi sebagian besar jatuh ke tangan ISIS. Ratusan ribu orang yang tertarik dengan propaganda ISIS dan datang dari seluruh dunia untuk ikut bertempur. Minimnya dukungan internasional bukan berarti tidak memiliki implikasi keluar.

Serangan-serangan terhadap minoritas terutama masyarakat muslim di negara yang mayoritas kulit putih akan memicu kelompok-kelompok di negara lain yang juga memiliki ideologi rasisme dan xenophobia dan bersimpati dengan ideologi seperti ISIS dan Al-Qaeda untuk bergerak melakukan pembalasan. Apabila hal ini terus-menerus berlangsung, maka satu pembalasan akan dibalas dengan pembalasan lain yang pada akhirnya akan menciptakan lingkaran setan terorisme.

Untuk mencegah lingkaran setan terorisme itu kembali lagi khususnya di Indonesia, maka dibutuhkan kerja sama yang baik di antara masyarakat sipil untuk saling menyadarkan pentingnya toleransi dan penyelesaian masalah melalui cara damai dan bukan dengan senjata dan kekerasan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5141 seconds (0.1#10.140)