Ketika Banjir Menjadi Parade Tahunan
A
A
A
Sarkawi B Husain
Pengajar Sejarah Lingkungan Departemen Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
PADA 7 Maret lalu sebanyak 17 kabupaten di Jawa Timur dilanda banjir dengan intensitas yang cukup tinggi. Belum usai penanganan seluruh wilayah terdampak banjir tersebut, kini kita dikejutkan dengan banjir bandang yang melanda Sentani, Jayapura, Papua.
Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban yang meninggal dalam bencana ini sebanyak 73 orang dan lainnya luka-luka. Hingga saat ini evakuasi, pencarian, dan penyelamatan korban terus diintensifkan untuk mencari korban. Tim SAR gabungan masih melakukan evakuasi dan belum semua daerah terdampak dijangkau karena tertutup pohon, batu, lumpur, dan material banjir bandang.
Bencana banjir yang sangat dahsyat ini mengingatkan kita bencana alam yang sama di beberapa daerah yang terjadi tahun lalu. Banjir menyebabkan beberapa wilayah longsor, masyarakat meninggal dunia, luka-luka, mengungsi, dan merusak rumah dan infrastruktur. Banjir seolah menjadi parade tahunan yang kita tidak berdaya untuk mengatasinya.
Dari berbagai fenomena banjir yang terjadi selama ini, beberapa hal dapat disimpulkan. Pertama, banjir merupakan bencana yang paling banyak terjadi dan paling banyak menimbulkan kerugian. Data yang dirilis oleh BNPB pada akhir 2018 misalnya, dari 2.572 bencana yang terjadi di Indonesia, sebagian besar adalah bencana banjir. Bencana ini juga merusak puluhan hingga ratusan fasilitas ibadah, kesehatan, dan pendidikan.
Kedua, dalam banyak kasus, banjir terjadi tidak hanya karena ketidakmampuan sistem drainase dalam menerima limpahan air hujan, tetapi juga berasal dari banjir kiriman. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya banjir di kawasan barat Surabaya berasal dari luapan Kali Lamong yang berhulu di Kabupaten Lamongan dan Mojokerto yang berawal dari Pegunungan Kendeng.
Adapun hilirnya berada di perbatasan antara Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik dan bermuara di Selat Madura. Daerah aliran sungai ini memiliki luas 720 km2 dengan panjang alur sungai 103 km. Hal yang sama terjadi di Jakarta yang tiap tahun mendapat kiriman banjir dari Bogor.
Ketiga , wilayah banjir tidak lagi hanya didominasi oleh wilayah perdesaan dan pinggiran, tetapi juga merambah wilayah perkotaan seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Lampung, dan banyak kota lain. Untuk dua kota pertama, banjir sudah menjadi langganan dan bahkan sudah menjadi parade tahunan, khususnya jika musim hujan tiba.
Sementara itu, kota-kota pesisir seperti Surabaya, Gresik, Tuban, dan Lamongan juga tidak dapat menghindar dari salah satu bencana hidrometereologi yang paling banyak merugikan ini. Di Tuban empat kecamatan dan 12 desa tenggelam akibat luapan Sungai Bengawan Solo.
Banjir Perkotaan
Menyikapi semakin seringnya kota-kota dilanda banjir, pada 20 Januari 2014 beberapa ilmuwan bertemu dalam sebuah lokakarya penanganan banjir di kota-kota di Asia yang sedang mengalami transisi dengan cepat. Lokakarya ini diselenggarakan di Singapura oleh Jurnal Pacific Affairs dan Asia Research Institute, National University of Singapore.
Dalam pengantar lokakarya disebutkan bahwa transisi perkotaan yang cepat di Asia telah mengakibatkan lebih dari 1,5 miliar orang pada awal abad ke-21 berada di perkotaan dan menyumbang lebih dari setengah dari penduduk perkotaan dunia.
Masyarakat perkotaan Asia ditandai oleh orientasi pesisir yang kuat sehingga semakin rentan dilanda bencana lingkungan seperti banjir, badai, dan tsunami. Di antara bencana lingkungan itu, banjir perkotaan berdampak langsung pada kehidupan dan mata pencaharian penduduk di Asia.
Dalam beberapa literatur disebutkan, pada Juli 2005 banjir di Mumbai, India menewaskan lebih dari 450 orang dan sekitar 150.000 orang terperangkap di kantor, jalan, bandar udara, dan stasiun kereta api. Pada Oktober 2011, banjir yang melanda Bangkok, Thailand menewaskan lebih dari 200 orang. Pada 2013, Jakarta juga dilanda banjir dengan luas wilayah tergenang mencapai 400 km2, 20 meninggal, 33.500 orang mengungsi, dan kerugian ditaksir mencapai Rp20 triliun.
Sayang sekali, kita selalu gagal belajar dari sejarah. Banjir yang banyak terjadi akhir-akhir ini memiliki pola yang tidak jauh berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Akan tetapi, intensitasnya semakin tinggi dan siklusnya semakin pendek.
Sebagian besar penyebab banjir karena alih fungsi lahan yang masif sejak lima puluh tahun terakhir. Pertambahan penduduk yang tidak terkendali dan perkembangan kota yang cepat dengan tidak disertai dengan perencanaan yang baik menyebabkan banjir dari tahun ke tahun berubah menjadi hantu yang menakutkan banyak penduduk.
Berbagai upaya pengendalian bukannya tidak dilakukan, tetapi banyak dari upaya itu bersifat parsial dan tidak terkoneksi dengan masalah lingkungan lainnya. Akibatnya, banyak upaya menjadi sia-sia. Karena itu, lokakarya penanganan banjir di National University of Singapore yang menggarisbawahi bahwa banjir harus dilihat sebagai peristiwa yang saling terkoneksi dengan persoalan lainnya penting diperhatikan.
Dengan kata lain, penanganan banjir seharusnya tidak hanya dilakukan melalui upaya seperti normalisasi sungai, tetapi juga harus memperbaiki seluruh spektrum pelayanan masyarakat seperti pengolahan dan pengelolaan sampah, ruang terbuka, perumahan, transportasi, dan kontrol terhadap penggunaan lahan.
Pengajar Sejarah Lingkungan Departemen Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
PADA 7 Maret lalu sebanyak 17 kabupaten di Jawa Timur dilanda banjir dengan intensitas yang cukup tinggi. Belum usai penanganan seluruh wilayah terdampak banjir tersebut, kini kita dikejutkan dengan banjir bandang yang melanda Sentani, Jayapura, Papua.
Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban yang meninggal dalam bencana ini sebanyak 73 orang dan lainnya luka-luka. Hingga saat ini evakuasi, pencarian, dan penyelamatan korban terus diintensifkan untuk mencari korban. Tim SAR gabungan masih melakukan evakuasi dan belum semua daerah terdampak dijangkau karena tertutup pohon, batu, lumpur, dan material banjir bandang.
Bencana banjir yang sangat dahsyat ini mengingatkan kita bencana alam yang sama di beberapa daerah yang terjadi tahun lalu. Banjir menyebabkan beberapa wilayah longsor, masyarakat meninggal dunia, luka-luka, mengungsi, dan merusak rumah dan infrastruktur. Banjir seolah menjadi parade tahunan yang kita tidak berdaya untuk mengatasinya.
Dari berbagai fenomena banjir yang terjadi selama ini, beberapa hal dapat disimpulkan. Pertama, banjir merupakan bencana yang paling banyak terjadi dan paling banyak menimbulkan kerugian. Data yang dirilis oleh BNPB pada akhir 2018 misalnya, dari 2.572 bencana yang terjadi di Indonesia, sebagian besar adalah bencana banjir. Bencana ini juga merusak puluhan hingga ratusan fasilitas ibadah, kesehatan, dan pendidikan.
Kedua, dalam banyak kasus, banjir terjadi tidak hanya karena ketidakmampuan sistem drainase dalam menerima limpahan air hujan, tetapi juga berasal dari banjir kiriman. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya banjir di kawasan barat Surabaya berasal dari luapan Kali Lamong yang berhulu di Kabupaten Lamongan dan Mojokerto yang berawal dari Pegunungan Kendeng.
Adapun hilirnya berada di perbatasan antara Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik dan bermuara di Selat Madura. Daerah aliran sungai ini memiliki luas 720 km2 dengan panjang alur sungai 103 km. Hal yang sama terjadi di Jakarta yang tiap tahun mendapat kiriman banjir dari Bogor.
Ketiga , wilayah banjir tidak lagi hanya didominasi oleh wilayah perdesaan dan pinggiran, tetapi juga merambah wilayah perkotaan seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Lampung, dan banyak kota lain. Untuk dua kota pertama, banjir sudah menjadi langganan dan bahkan sudah menjadi parade tahunan, khususnya jika musim hujan tiba.
Sementara itu, kota-kota pesisir seperti Surabaya, Gresik, Tuban, dan Lamongan juga tidak dapat menghindar dari salah satu bencana hidrometereologi yang paling banyak merugikan ini. Di Tuban empat kecamatan dan 12 desa tenggelam akibat luapan Sungai Bengawan Solo.
Banjir Perkotaan
Menyikapi semakin seringnya kota-kota dilanda banjir, pada 20 Januari 2014 beberapa ilmuwan bertemu dalam sebuah lokakarya penanganan banjir di kota-kota di Asia yang sedang mengalami transisi dengan cepat. Lokakarya ini diselenggarakan di Singapura oleh Jurnal Pacific Affairs dan Asia Research Institute, National University of Singapore.
Dalam pengantar lokakarya disebutkan bahwa transisi perkotaan yang cepat di Asia telah mengakibatkan lebih dari 1,5 miliar orang pada awal abad ke-21 berada di perkotaan dan menyumbang lebih dari setengah dari penduduk perkotaan dunia.
Masyarakat perkotaan Asia ditandai oleh orientasi pesisir yang kuat sehingga semakin rentan dilanda bencana lingkungan seperti banjir, badai, dan tsunami. Di antara bencana lingkungan itu, banjir perkotaan berdampak langsung pada kehidupan dan mata pencaharian penduduk di Asia.
Dalam beberapa literatur disebutkan, pada Juli 2005 banjir di Mumbai, India menewaskan lebih dari 450 orang dan sekitar 150.000 orang terperangkap di kantor, jalan, bandar udara, dan stasiun kereta api. Pada Oktober 2011, banjir yang melanda Bangkok, Thailand menewaskan lebih dari 200 orang. Pada 2013, Jakarta juga dilanda banjir dengan luas wilayah tergenang mencapai 400 km2, 20 meninggal, 33.500 orang mengungsi, dan kerugian ditaksir mencapai Rp20 triliun.
Sayang sekali, kita selalu gagal belajar dari sejarah. Banjir yang banyak terjadi akhir-akhir ini memiliki pola yang tidak jauh berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Akan tetapi, intensitasnya semakin tinggi dan siklusnya semakin pendek.
Sebagian besar penyebab banjir karena alih fungsi lahan yang masif sejak lima puluh tahun terakhir. Pertambahan penduduk yang tidak terkendali dan perkembangan kota yang cepat dengan tidak disertai dengan perencanaan yang baik menyebabkan banjir dari tahun ke tahun berubah menjadi hantu yang menakutkan banyak penduduk.
Berbagai upaya pengendalian bukannya tidak dilakukan, tetapi banyak dari upaya itu bersifat parsial dan tidak terkoneksi dengan masalah lingkungan lainnya. Akibatnya, banyak upaya menjadi sia-sia. Karena itu, lokakarya penanganan banjir di National University of Singapore yang menggarisbawahi bahwa banjir harus dilihat sebagai peristiwa yang saling terkoneksi dengan persoalan lainnya penting diperhatikan.
Dengan kata lain, penanganan banjir seharusnya tidak hanya dilakukan melalui upaya seperti normalisasi sungai, tetapi juga harus memperbaiki seluruh spektrum pelayanan masyarakat seperti pengolahan dan pengelolaan sampah, ruang terbuka, perumahan, transportasi, dan kontrol terhadap penggunaan lahan.
(maf)