Bagaimana DAK?

Senin, 18 Maret 2019 - 07:20 WIB
Bagaimana DAK?
Bagaimana DAK?
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

DARI berbagai macam jenis dana transfer (perimbangan) dari pemerintah pusat ke daerah, dana alokasi khusus (DAK) memiliki arti tersendiri dalam proses egalitarian dan sinkronisasi hubungan antarpemerintahan. Posisi DAK menjadi penting terutama untuk menyelesaikan permasalahan ketimpangan fiskal (fiscal imbalance), baik yang bersifat vertikal (antara pemerintah pusat dan daerah) maupun horizontal (antarpemerintah daerah).

Hal tersebut yang menjadi pembeda antara DAK dan komponen dana perimbangan lainnya, yakni Dana Alokasi Umum (DAU) yang sebatas untuk mengatasi ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditujukan untuk mengatasi ketimpangan vertikal (vertical imbalance).

Secara filosofis keberadaan DAK juga dikatakan yang paling besar potensinya untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya DAU yang paling diharapkan mampu memperbaiki kesenjangan ekonomi antardaerah, tetapi dalam praktiknya justru mengalami banyak distorsi.
Konsep equalization grant yang diharapkan melalui DAU ternyata belum mampu berbuat banyak karena sebagian besar proporsinya digunakan untuk kebutuhan administrasi dan gaji PNS daerah. Justru DAK yang kemudian dianggap sebagai penyelamat kualitas struktur belanja pemerintah daerah karena langsung menyasar pada jenis pengeluaran yang lebih produktif melalui belanja barang dan modal.

Selain itu bekal utama yang dimiliki DAK adalah kemampuannya dalam mengintervensi belanja pemerintah daerah agar selaras dengan kepentingan pemerintah pusat di daerah sehingga ada nilai plus dari sisi harmonisasi tujuan pembangunan.

Di kancah dunia, pola pengelolaan DAK relatif identik dengan apa yang diterapkan di Indonesia. Dari berbagai literatur keuangan negara, DAK sering kali disebut sebagai specific grant (bantuan spesifik) atau conditional grant (bantuan bersyarat).

Mekanisme bantuannya biasanya bersifat top down, yaitu merupakan hasil rancangan pemerintah pusat untuk mendanai bidang tertentu yang menjadi prioritas nasional, tetapi otoritasnya telah diubah menjadi kewenangan daerah sesuai dengan prinsip desentralisasi/otonomi daerah.

Namun penggunaannya tetap harus mengikuti rancang bidang yang ditentukan pemerintah pusat. Tujuan utamanya adalah untuk memengaruhi pola belanja daerah dan memastikan agar terjadi spillover benefit (manfaat yang menyebar).

Sejak 2016, pola penganggaran, pengalokasian, dan pendistribusian DAK banyak mengalami reformasi kelembagaan. Mulai dari periode tersebut, DAK dibagi menjadi dua jenis, yaitu DAK fisik dan DAK nonfisik, serta mulai menerapkan pengalokasian berbasis usulan (proposal based).

Sejak dekade pertama pasca-Reformasi, DAK banyak mendapat sorotan negatif karena dinilai terlalu top down, terjadi ketidakcocokan antara penetapan daerah penerima dan besaran alokasi, serta ketidakjelasan petunjuk teknis yang membuat banyak anggaran tidak terserap secara optimal.

Format proposal based diharapkan mampu menjadi solusi atas rintangan tersebut karena akan lebih disesuaikan pada kebutuhan daerah, baik dari sisi jenis bidangnya maupun besar anggarannya. Jadi ada elaborasi yang pas untuk menjembatani pola top down (prioritas dan kemampuan nasional) dengan pendekatan bottom-up (sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah).

Secara konseptual, DAK fisik dan nonfisik memiliki karakteristik yang khas di setiap proses pengelolaannya. DAK fisik diperuntukkan pada jenis-jenis proyek fisik yang difokuskan pada pembangunan infrastruktur.

Adapun untuk DAK nonfisik lebih banyak diperuntukkan pada usaha untuk merangsang kinerja dan layanan (soft skill) yang lebih baik dari sebuah institusi publik. Di luar itu tujuan dari pembagian jenis DAK menjadi fisik dan nonfisik memang sudah semestinya dilakukan mengingat adanya heterogenitas kebutuhan pembangunan antardaerah.

Ada daerah yang memang memiliki masalah terbesar di bidang sumber daya manusia (SDM), ada pula daerah yang mungkin gap terbesarnya ada pada penyediaan infrastruktur. Keunikan-keunikan tersebut memang sudah sewajarnya ditindaklanjuti secara efektif dan objektif.

Kendati terjadi perubahan konsep teknisnya, secara filosofis tidak banyak yang berubah, terutama untuk tetap menjalankan fungsi (kepentingan) pemerintah pusat di daerah. Justru dalam pandangan penulis, reformasi kelembagaan yang ditawarkan pemerintah pusat kian menunjukkan kelugasan dan kepekaan pemerintah atas hambatan-hambatan struktural yang sempat mengemuka.

Masih Banyak Tantangan
Sekarang, mari kita coba ulas bagaimana praktik di lapangan setelah adanya penyegaran secara kelembagaan. Pertama, jika dilihat dari sisi kinerja penyerapan, tampak ada perbaikan secara statistik karena dana yang dialokasikan semakin tinggi tingkat penyerapannya.

Dalam 3 tahun terakhir sejak 2016 hingga 2018, tingkat penyerapan DAK secara berurutan terus menunjukkan tren peningkatan dari sebesar 82,04% menjadi 89,05% dan pada 2018 tingkat penyerapannya kembali meningkat menjadi 93,23% (DJPK Kemenkeu, 2019). Tren tersebut secara gamblang telah menunjukkan buah keberhasilan pemerintah dalam perbaikan pola birokrasi perencanaan, penganggaran, dan penyerapan secara sekaligus.

Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah pusat memang “memaksa” pemerintah daerah untuk mengikuti skema open-ended grant, yaitu dana bantuan baru akan cair ketika sudah ada progress report realisasi belanja.

Jadi jumlah dana yang dicairkan tidak lagi dipaksa sesuai dengan angka alokasinya (closed-ended grant), tetapi lebih mempertimbangkan kinerja pelaksanaan dan nominal riil dana yang digunakan pada setiap proyek pembangunan. Pola ini juga menjadi jurus dari pemerintah pusat untuk menekan SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berjalan) di daerah.

Kedua, skema pengelolaan DAK disusun lebih dinamis. Daerah difasilitasi aplikasi Krisna (Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran) untuk memuluskan interaksi, integrasi, pengawasan, dan informasi perencanaan antara pemerintah daerah dan pusat (dalam hal ini Bappenas dan Kemenkeu).

Pembangunan untuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) semakin banyak mendapatkan atensi melalui DAK Afirmasi. Selain itu tahun ini cakupan DAK nonfisik juga diperluas melalui bantuan operasional (bop) kesetaraan untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dijangkau dan dipenuhi oleh jalur pendidikan formal, bop museum dan taman budaya untuk pelestarian budaya dan memperkokoh jati diri bangsa, Dana Pelayanan Kepariwisataan untuk meningkatkan kualitas destinasi dan daya saing pariwisata daerah, serta Bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas lingkungan melalui pengurangan sampah.

Namun di luar itu semua, masih banyak pekerjaan rumah (PR) dari sisi kelembagaan yang semestinya juga perlu ditindak. Pertama, banyak daerah yang mengeluhkan petunjuk teknis (juknis) dari kementerian terkait yang sering dinilai “terlambat” penerbitannya.

Efek negatifnya, daerah akan waswas untuk segera melaksanakan proses pembangunan. Selain itu dalam beberapa kejadian, banyak daerah yang tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk pengerjaan, terutama pada DAK fisik mulai dari proses lelang/tender.

Kedua, hasil insentif yang diberikan kepada guru dan tenaga kesehatan melalui DAK nonfisik masih mendapatkan sorotan publik karena hasilnya diliputi dengan banyak tanda tanya.

Daya saing kualitas pendidikan kita masih terus dibanding-bandingkan dengan Vietnam yang dari sisi rasio mandatory spending-nya relatif seimbang dengan Indonesia. Adapun dari sisi layanan kesehatan belum sesuai dengan ekspektasi meskipun sudah tampak ada upaya sistematis.

Ketiga, ada permasalahan ketimpangan biaya pengadaan antara daerah di Jawa dan Luar Jawa. Daerah di Jawa mungkin lebih diuntungkan karena letaknya yang strategis dan relatif dekat dengan pusat perdagangan.

Kondisi yang berbeda dialami daerah di Luar Jawa yang praktis memiliki informasi yang terbatas untuk proses pengadaan. Alhasil timbul biaya tambahan (biaya transaksi) yang membuat efektivitas DAK (terutama fisik) daerah di Luar Jawa menjadi berkurang.

Solusinya mungkin proses pengadaan didesain agar setiap daerah memiliki informasi harga dan spesifikasi barang yang setara. Kalau terkait biaya pengiriman memang untuk sementara ini sudah menjadi sebuah konsekuensi logis karena negara kita kondisi geografisnya cukup menantang. Mudah-mudahan untuk ke depannya bisa semakin ditekan dengan meningkatnya jumlah infrastruktur yang dibangun, terutama untuk koneksitas antarwilayah.

Dan keempat, mungkin ini keluhan yang nyaris seragam atas dana perimbangan, yaitu tentang kepastian anggaran. Perubahan alokasi anggaran yang bersifat dinamis dan bergantung pada realisasi penerimaan pemerintah pusat pada tahun berjalan membuat daerah dilanda ketidakpastian, apakah nilai anggaran akan sesuai ekspektasi atau dapat didistribusikan tepat waktu.

Efek ketidakpastian ini bisa panjang, mungkin dua akibat yang paling pelik adalah jangka waktu administrasi penyerapan yang semakin pendek dan efektivitas belanja akan berjalan kurang optimal karena menumpuk pada semester kedua tahun anggaran berjalan. Otomatis permasalahan tersebut akan turut memangkas kualitas belanja pemerintah daerah.

Beberapa pekan yang lalu penulis sudah menuliskan artikel yang mengusulkan bagaimana jika pengalokasian dana transfer diubah tidak lagi menggunakan prognosis penerimaan tahun berjalan, tetapi berbasis realisasi penerimaan pemerintah pusat pada tahun sebelumnya. Dengan demikian proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah bisa berjalan lebih realistis.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1267 seconds (0.1#10.140)