Politik Panas, Ekonomi Terjaga
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
INGAR-bingar pesta demokrasi tahun ini telah mengisi ruang publik dengan perang gimmick, lempar argumen, dan kicauan jargon secara bergantian. Dapat dipastikan situasi ini akan terus membara hingga hari H pencoblosan pada bulan April mendatang.
Memang demokrasi politik yang sedang berlangsung ini menjadi momentum yang penting untuk menentukan arah pembangunan ke depan. Kendati demikian setidaknya kita perlu tetap menyadari, apa pun yang terjadi dengan segala dinamikanya, life must go on. Sepanas apa pun panggung politik dalam negeri, semangat membangun perekonomian tetap harus membara dan terus berjalan dengan penuh senyuman.
Disadari atau tidak, iklim perekonomian kita saat ini tengah menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Beberapa sektor strategis pergerakannya tidak cukup meyakinkan di awal 2019.
Kinerja industri semen nasional tengah menurun 1,3% (yoy) setelah pada Januari kemarin hanya mampu menjual 5,62 juta ton semen, lebih rendah daripada Januari 2018 yang terjual sebanyak 5,69 juta ton. Kinerja industri semen sedikit banyak ikut merefleksikan kinerja sektor konstruksi karena penjualan semen menjadi salah satu determinan utamanya.
Penurunan kinerja penjualan mobil juga tidak kalah mengkhawatirkan bila dibandingkan dengan industri semen. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengumumkan angka penjualan mobil pada Januari yang lalu hanya mampu mencapai 81.218 unit alias turun sekitar 15,36% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy). Penurunan ini menjadi catatan terburuk dalam 10 tahun terakhir.
Baik industri semen maupun industri mobil sama-sama memiliki nilai strategis yang tinggi karena kinerjanya sering kali akan diikuti oleh usaha-usaha pendukungnya. Jadi dampaknya bisa merembet pada banyak pelaku usaha lainnya.
Di balik layar yang berkembang, situasi yang ada bisa jadi menggambarkan rentannya daya beli masyarakat. Februari kemarin kita mengalami deflasi 0,08% (mtm).
Bahkan deflasi pada kelompok bahan makanan sudah mencapai 1,11%. Meskipun inflasi yang rendah menjadi salah satu sasaran utama makroekonomi, jika penyebabnya karena penurunan daya beli yang pada akhirnya memaksa para pedagang untuk menurunkan harganya, tentu bukanlah situasi yang diharapkan para pelaku pasar.
Kenaikan harga tiket pesawat juga mulai menambah runyam wajah perekonomian kita dalam beberapa bulan terakhir. Inflasi dari tarif angkutan udara memiliki andil 0,03% terhadap perubahan harga (inflasi) Februari, lebih tinggi dibandingkan periode Januari yang hanya 0,02%.
Berdasarkan catatan BPS, dampak harga tiket pesawat (dan biaya bagasi) yang mahal sudah memangkas jumlah penumpang penerbangan hingga 1,45 juta orang dalam 4 bulan terakhir (Oktober–Januari). Khusus pada Januari kemarin jumlah penerbangan domestik turun 16,07% (mtm) dan 12,55% (yoy). Banyak maskapai penerbangan yang mengurangi frekuensi perjalanannya karena jumlah penumpang yang terus anjlok.
Efeknya pun sepertinya tidak hanya berhenti pada penurunan jumlah penumpang. Ongkos logistik dan kinerja pariwisata juga sangat mungkin akan segera terdampak.
Berdasarkan informasi dari Menteri Pariwisata, sepanjang Januari–Februari biasanya tingkat okupansi hotel berkisar 50–55% karena memang masa low season, tetapi tahun ini okupansinya hanya terisi sekitar 30%. Artinya untuk saat ini terdapat gap sekitar 20–25%.
Belum lagi nanti dampaknya terhadap eksistensi UMKM, restoran, dan objek wisata. Sudah banyak pemerintah daerah yang khawatir dan meminta solusi atas persoalan ini.
Selain dampak terhadap pariwisata, kenaikan tarif angkutan udara juga mulai memangsa eksistensi pelaku bisnis logistik. Sebanyak empat perusahaan yang menjadi anggota Asosiasi Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) dikabarkan mulai gulung tikar akibat harga kargo yang mahal. Sementara sisanya memilih melakukan shifting melalui transportasi darat dan laut meskipun risikonya membuat durasi pengiriman barang menjadi lebih panjang.
Jika tidak segera diatasi, persoalan ini bisa akan terus menggelinding liar bak snowball effect. Hal ini juga berbarengan dengan masa kerja pemerintah daerah yang pada umumnya belum terlalu signifikan memulai belanja sehingga APBD belum cukup banyak mendongkrak perekonomian daerah dan nasional.
Tentu hal seperti ini dapat memperberat pekerjaan rumah bagi pemerintah pada umumnya karena sudah menjadi tradisi di masa awal tahun anggaran. Oleh karena itu kita perlu terus mengingatkan pemerintah agar birokrasi belanjanya bisa menjadi lebih cepat dan merata, tidak sekadar menumpuk di pertengahan-akhir tahun atau bahkan pada triwulan terakhir saja.
Peran fiskal pemerintah pusat dan daerah secara umum masih cukup dominan dalam mendorong perekonomian. Pada 2018 kemarin peran konsumsi masyarakat dan pemerintah menopang sekitar 64,72% dari total PDB. Sementara sektor investasi yang direpresentasikan dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) hanya mampu menopang perekonomian sebesar 32,29%.
Dengan demikian cukuplah dimengerti jika impor kita masih cukup tinggi karena struktur ekonomi kita masih dikuasai sektor konsumsi. Namun opsi menjadikan sektor konsumsi sebagai andalan pertumbuhan ekonomi jangka panjang juga cenderung rentan karena memiliki sensitivitas yang kuat terhadap tingkat daya beli dan inflasi.
Oleh karena itu peran fiskal perlu dijaga agar pendekatannya bisa lebih komprehensif, yakni tidak hanya mendorong sisi konsumsi, tetapi juga turut memacu produktivitas domestik. Akan tetapi kebijakan fiskal kita juga menghadapi permasalahan mendasar yang selama ini sudah menjadi tradisi.
Semuanya berawal dari proses perencanaan yang lemah, birokrasi penyerapan yang kurang efektif, serta diikuti proses lelang dan pengawasan kualifikasi pihak ketiga sebagai mitra pembangunan yang kurang transparan. Alasan-alasan kuno tersebut semestinya sudah bisa diselesaikan agar tidak terus menggerogoti kualitas fiskal kita.
Ihwal lainnya yang perlu dibicarakan juga adalah acuan waktu untuk dana transfer ke daerah dan desa (TKDD). Selama ini penetapan anggaran TKDD selalu menggunakan acuan tahun fiskal berjalan.
Besaran yang diterima tiap daerah dan desa menggunakan prognosis (ramalan) yang dirancang pemerintah pusat melalui beberapa pendekatan/analisis. Namun kelemahan dari sistem ini cenderung melahirkan banyak ketidakpastian, khususnya bagi pemerintah daerah dan desa.
Faktor ketidakpastian ini bisa jadi yang membuat realisasi kebijakan berjalan kurang efektif (tidak sesuai dengan target perencanaan) dan menimbulkan gejala flypaper effect bagi pemerintah daerah. Mungkin ada baiknya jika sistem ini diubah, misalnya dengan mengganti metode perhitungan dari yang semula berbasis prognosis menjadi angka-angka yang lebih realistis (realisasi APBN tahun sebelumnya).
Dengan demikian proses perencanaan pembangunan di daerah bisa berpijak pada ekspektasi yang lebih kuat, baik dari sisi anggaran maupun volume kegiatan. Selain itu proses transfer ke daerah juga bisa lebih dipercepat agar daerah maupun pihak ketiga yang terlibat bisa segera memanfaatkan anggaran yang tersedia.
Kalau memang ide ini bisa diterapkan, sebaiknya perlu segera dikoordinasikan mekanisme perubahannya, termasuk dengan merancang undang-undang dan/atau peraturan pendukungnya. Gaya birokrasi perlu didesain agar tanggap terhadap dinamika lapangan.
Ketika salah satu ornamen kebijakan ternyata tidak mendukung (atau malah menghambat) efektivitas pencapaian tujuan, pemerintah harus berani melakukan perombakan. Jadi jangan sampai persoalan klasik tersebut dibiarkan begitu saja hingga menjadi sebuah tradisi yang kurang baik.
Menjaga Ekonomi Tetap Hangat
Berkaca dari pengalaman dalam negeri maupun luar negeri, salah satu tantangan dalam masa pesta demokrasi adalah mencari cara agar para investor tidak selalu wait and see. Investasi selalu dibutuhkan dalam kondisi apa pun untuk menjaga tingkat produktivitas.
Target tersebut bisa dicapai jika kita bisa membangun sistem investasi yang bersaing. Selain itu tugas-tugas utama dari setiap stakeholders seharusnya tetap terjamin kualitasnya.
Kinerja sektor moneter sampai saat ini sudah membaik, indikatornya berdasarkan tingkat bunga yang masih bersaing dan terlihat angka dana pihak ketiga (DPK) yang masih tinggi. Walaupun begitu semua pihak tetap harus waspada terkait dengan dana-dana yang akan cukup mengalir deras pada dapil-dapil pemilihan.
Yang paling dinanti tentu bagaimana cara kerja otoritas fiskal di tengah-tengah musim elektoral. Jangan sampai kepentingan yang lebih luas justru tertindas oleh kepentingan golongan.
Pendidikan demokrasi yang sudah sangat progresif ini perlu diimbangi dengan kinerja pemerintah yang membawa optimisme bagi masyarakatnya. Dengan begitu sistem politik akan menjadi panggung perang gagasan bagaimana nantinya para calon pemimpin akan menjalankan sistem pembangunan ekonominya.
Pada saat-saat seperti ini kita membutuhkan para pemangku kebijakan yang tetap fokus pada visi-misi pembangunan ekonomi, baik apakah itu pemerintah maupun pelaku usaha dan masyarakat. Independensi kebijakan tetap harus dijaga karena sistem ekonomi seharusnya dirintis dari pemikiran yang “bersih”.
Profesionalisme juga tetap perlu dipertahankan karena idealnya pembangunan ekonomi semestinya minim diskriminasi. Semoga.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
INGAR-bingar pesta demokrasi tahun ini telah mengisi ruang publik dengan perang gimmick, lempar argumen, dan kicauan jargon secara bergantian. Dapat dipastikan situasi ini akan terus membara hingga hari H pencoblosan pada bulan April mendatang.
Memang demokrasi politik yang sedang berlangsung ini menjadi momentum yang penting untuk menentukan arah pembangunan ke depan. Kendati demikian setidaknya kita perlu tetap menyadari, apa pun yang terjadi dengan segala dinamikanya, life must go on. Sepanas apa pun panggung politik dalam negeri, semangat membangun perekonomian tetap harus membara dan terus berjalan dengan penuh senyuman.
Disadari atau tidak, iklim perekonomian kita saat ini tengah menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Beberapa sektor strategis pergerakannya tidak cukup meyakinkan di awal 2019.
Kinerja industri semen nasional tengah menurun 1,3% (yoy) setelah pada Januari kemarin hanya mampu menjual 5,62 juta ton semen, lebih rendah daripada Januari 2018 yang terjual sebanyak 5,69 juta ton. Kinerja industri semen sedikit banyak ikut merefleksikan kinerja sektor konstruksi karena penjualan semen menjadi salah satu determinan utamanya.
Penurunan kinerja penjualan mobil juga tidak kalah mengkhawatirkan bila dibandingkan dengan industri semen. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengumumkan angka penjualan mobil pada Januari yang lalu hanya mampu mencapai 81.218 unit alias turun sekitar 15,36% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy). Penurunan ini menjadi catatan terburuk dalam 10 tahun terakhir.
Baik industri semen maupun industri mobil sama-sama memiliki nilai strategis yang tinggi karena kinerjanya sering kali akan diikuti oleh usaha-usaha pendukungnya. Jadi dampaknya bisa merembet pada banyak pelaku usaha lainnya.
Di balik layar yang berkembang, situasi yang ada bisa jadi menggambarkan rentannya daya beli masyarakat. Februari kemarin kita mengalami deflasi 0,08% (mtm).
Bahkan deflasi pada kelompok bahan makanan sudah mencapai 1,11%. Meskipun inflasi yang rendah menjadi salah satu sasaran utama makroekonomi, jika penyebabnya karena penurunan daya beli yang pada akhirnya memaksa para pedagang untuk menurunkan harganya, tentu bukanlah situasi yang diharapkan para pelaku pasar.
Kenaikan harga tiket pesawat juga mulai menambah runyam wajah perekonomian kita dalam beberapa bulan terakhir. Inflasi dari tarif angkutan udara memiliki andil 0,03% terhadap perubahan harga (inflasi) Februari, lebih tinggi dibandingkan periode Januari yang hanya 0,02%.
Berdasarkan catatan BPS, dampak harga tiket pesawat (dan biaya bagasi) yang mahal sudah memangkas jumlah penumpang penerbangan hingga 1,45 juta orang dalam 4 bulan terakhir (Oktober–Januari). Khusus pada Januari kemarin jumlah penerbangan domestik turun 16,07% (mtm) dan 12,55% (yoy). Banyak maskapai penerbangan yang mengurangi frekuensi perjalanannya karena jumlah penumpang yang terus anjlok.
Efeknya pun sepertinya tidak hanya berhenti pada penurunan jumlah penumpang. Ongkos logistik dan kinerja pariwisata juga sangat mungkin akan segera terdampak.
Berdasarkan informasi dari Menteri Pariwisata, sepanjang Januari–Februari biasanya tingkat okupansi hotel berkisar 50–55% karena memang masa low season, tetapi tahun ini okupansinya hanya terisi sekitar 30%. Artinya untuk saat ini terdapat gap sekitar 20–25%.
Belum lagi nanti dampaknya terhadap eksistensi UMKM, restoran, dan objek wisata. Sudah banyak pemerintah daerah yang khawatir dan meminta solusi atas persoalan ini.
Selain dampak terhadap pariwisata, kenaikan tarif angkutan udara juga mulai memangsa eksistensi pelaku bisnis logistik. Sebanyak empat perusahaan yang menjadi anggota Asosiasi Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) dikabarkan mulai gulung tikar akibat harga kargo yang mahal. Sementara sisanya memilih melakukan shifting melalui transportasi darat dan laut meskipun risikonya membuat durasi pengiriman barang menjadi lebih panjang.
Jika tidak segera diatasi, persoalan ini bisa akan terus menggelinding liar bak snowball effect. Hal ini juga berbarengan dengan masa kerja pemerintah daerah yang pada umumnya belum terlalu signifikan memulai belanja sehingga APBD belum cukup banyak mendongkrak perekonomian daerah dan nasional.
Tentu hal seperti ini dapat memperberat pekerjaan rumah bagi pemerintah pada umumnya karena sudah menjadi tradisi di masa awal tahun anggaran. Oleh karena itu kita perlu terus mengingatkan pemerintah agar birokrasi belanjanya bisa menjadi lebih cepat dan merata, tidak sekadar menumpuk di pertengahan-akhir tahun atau bahkan pada triwulan terakhir saja.
Peran fiskal pemerintah pusat dan daerah secara umum masih cukup dominan dalam mendorong perekonomian. Pada 2018 kemarin peran konsumsi masyarakat dan pemerintah menopang sekitar 64,72% dari total PDB. Sementara sektor investasi yang direpresentasikan dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) hanya mampu menopang perekonomian sebesar 32,29%.
Dengan demikian cukuplah dimengerti jika impor kita masih cukup tinggi karena struktur ekonomi kita masih dikuasai sektor konsumsi. Namun opsi menjadikan sektor konsumsi sebagai andalan pertumbuhan ekonomi jangka panjang juga cenderung rentan karena memiliki sensitivitas yang kuat terhadap tingkat daya beli dan inflasi.
Oleh karena itu peran fiskal perlu dijaga agar pendekatannya bisa lebih komprehensif, yakni tidak hanya mendorong sisi konsumsi, tetapi juga turut memacu produktivitas domestik. Akan tetapi kebijakan fiskal kita juga menghadapi permasalahan mendasar yang selama ini sudah menjadi tradisi.
Semuanya berawal dari proses perencanaan yang lemah, birokrasi penyerapan yang kurang efektif, serta diikuti proses lelang dan pengawasan kualifikasi pihak ketiga sebagai mitra pembangunan yang kurang transparan. Alasan-alasan kuno tersebut semestinya sudah bisa diselesaikan agar tidak terus menggerogoti kualitas fiskal kita.
Ihwal lainnya yang perlu dibicarakan juga adalah acuan waktu untuk dana transfer ke daerah dan desa (TKDD). Selama ini penetapan anggaran TKDD selalu menggunakan acuan tahun fiskal berjalan.
Besaran yang diterima tiap daerah dan desa menggunakan prognosis (ramalan) yang dirancang pemerintah pusat melalui beberapa pendekatan/analisis. Namun kelemahan dari sistem ini cenderung melahirkan banyak ketidakpastian, khususnya bagi pemerintah daerah dan desa.
Faktor ketidakpastian ini bisa jadi yang membuat realisasi kebijakan berjalan kurang efektif (tidak sesuai dengan target perencanaan) dan menimbulkan gejala flypaper effect bagi pemerintah daerah. Mungkin ada baiknya jika sistem ini diubah, misalnya dengan mengganti metode perhitungan dari yang semula berbasis prognosis menjadi angka-angka yang lebih realistis (realisasi APBN tahun sebelumnya).
Dengan demikian proses perencanaan pembangunan di daerah bisa berpijak pada ekspektasi yang lebih kuat, baik dari sisi anggaran maupun volume kegiatan. Selain itu proses transfer ke daerah juga bisa lebih dipercepat agar daerah maupun pihak ketiga yang terlibat bisa segera memanfaatkan anggaran yang tersedia.
Kalau memang ide ini bisa diterapkan, sebaiknya perlu segera dikoordinasikan mekanisme perubahannya, termasuk dengan merancang undang-undang dan/atau peraturan pendukungnya. Gaya birokrasi perlu didesain agar tanggap terhadap dinamika lapangan.
Ketika salah satu ornamen kebijakan ternyata tidak mendukung (atau malah menghambat) efektivitas pencapaian tujuan, pemerintah harus berani melakukan perombakan. Jadi jangan sampai persoalan klasik tersebut dibiarkan begitu saja hingga menjadi sebuah tradisi yang kurang baik.
Menjaga Ekonomi Tetap Hangat
Berkaca dari pengalaman dalam negeri maupun luar negeri, salah satu tantangan dalam masa pesta demokrasi adalah mencari cara agar para investor tidak selalu wait and see. Investasi selalu dibutuhkan dalam kondisi apa pun untuk menjaga tingkat produktivitas.
Target tersebut bisa dicapai jika kita bisa membangun sistem investasi yang bersaing. Selain itu tugas-tugas utama dari setiap stakeholders seharusnya tetap terjamin kualitasnya.
Kinerja sektor moneter sampai saat ini sudah membaik, indikatornya berdasarkan tingkat bunga yang masih bersaing dan terlihat angka dana pihak ketiga (DPK) yang masih tinggi. Walaupun begitu semua pihak tetap harus waspada terkait dengan dana-dana yang akan cukup mengalir deras pada dapil-dapil pemilihan.
Yang paling dinanti tentu bagaimana cara kerja otoritas fiskal di tengah-tengah musim elektoral. Jangan sampai kepentingan yang lebih luas justru tertindas oleh kepentingan golongan.
Pendidikan demokrasi yang sudah sangat progresif ini perlu diimbangi dengan kinerja pemerintah yang membawa optimisme bagi masyarakatnya. Dengan begitu sistem politik akan menjadi panggung perang gagasan bagaimana nantinya para calon pemimpin akan menjalankan sistem pembangunan ekonominya.
Pada saat-saat seperti ini kita membutuhkan para pemangku kebijakan yang tetap fokus pada visi-misi pembangunan ekonomi, baik apakah itu pemerintah maupun pelaku usaha dan masyarakat. Independensi kebijakan tetap harus dijaga karena sistem ekonomi seharusnya dirintis dari pemikiran yang “bersih”.
Profesionalisme juga tetap perlu dipertahankan karena idealnya pembangunan ekonomi semestinya minim diskriminasi. Semoga.
(poe)