Kemuliaan Guru yang Dirampas Zaman
A
A
A
Yetri Ermi Yenti
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah FIB Universitas Andalas
GURU seharusnya sosok panutan yang digugu dan ditiru. Di tangannyalah dititipkan kaum muda untuk dikembangkan menjadi insan yang menjunjung tinggi moralitas dan martabat kemanusiaan. Jangan tanyakan berapa gaji diperoleh seorang guru karena itu tak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan. Dedikasi dan jasa guru pada upaya pencerdasan bangsa akan selalu terukir, sekalipun napas sudah berpisah dari raga.
Namun, dewasa ini pandangan terhadap figur mulia seorang guru mulai luntur. Hal ini tercermin dari banyaknya kasus yang menimpa guru. Guru seolah berada di persimpangan jalan. Dalam menjalankan tugasnya, guru kini sering dibayangi berbagai ancaman mulai dari yang ringan sampai dengan jeruji besi.
Kondisi sekarang sangat berbeda dengan masa lalu. Di masa lalu, tindakan guru menegur murid merupakan bagian dari bentuk perhatian guru. Tak heran, guru zaman dulu sangat berwibawa di mata siswa dan masyarakat. Bayangkan, jika guru sudah menatap siswa dengan tatapan diam, maka siswa pun dengan segera menyadari kesalahannya. Tak ada yang melaporkan atau menuduh guru telah melakukan pelanggaran HAM karena sang guru menegur atau memberikan sanksi atas kesalahan siswanya.
Tetapi, apa boleh buat zaman telah berubah. Dulu guru adalah teladan, sosok yang harus dihormati, kini justru sudah terbalik. Guru di zaman sekarang dianggap sebagai "mesin" akademik saja, bukan sebagai sosok mesti diteladani, disayangi, dan dihormati di dalam maupun luar lingkungan sekolah. Tidak mengherankan, banyak kasus perlakuan murid yang tidak layak kepada guru telah membawa akibat runtuhnya moralitas kaum muda.
Dunia pendidikan Indonesia digemparkan dengan berbagai kasus kekerasan siswa terhadap gurunya. Dalam berbagai jenis latar belakang dan kronologis kasus ini, menggambarkan bahwa ada yang salah dalam etika dan moralitas siswa. Kenyataan ini semakin mempertegas tentang pentingnya pendidikan karakter bagi siswa.
Pendidikan tidak hanya terfokus pada penyampaian materi akademik saja, tetapi juga mengembangkan etika serta sopan santun tentang bagaimana seharusnya siswa bersikap dan menghormati guru. Kita patut belajar memuliakan guru dari negeri Jepang.
Ketika bom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, Kaisar Hirohito memerintahkan menteri pendidikan menghitung jumlah guru yang masih hidup. Para guru dikumpulkan dan diberikan tugas berat untuk membangun Jepang menjadi bangsa yang unggul.
Mengembalikan kembali perspektif kemuliaan seorang guru adalah langkah nyata yang harus dilakukan semua komponen. Tak hanya tanggung jawab lingkungan sekolah. Dimulai dari keluarga yang menanamkan nilai agama dan etika, lingkungan, dan media massa pun harus berhati-hati dalam memberikan segala tontonan serta informasi.
Karena baik langsung atau tidak membentuk watak seorang siswa yang sedang proses pencarian jati diri. Selain itu, membangun komunikasi, baik antara siswa dan guru agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung baku hantam. Jangan sampai dunia pendidikan Indonesia tercoreng dengan ungkapan "guru sibuk mengajar, sedangkan siswa asyik menghajar."
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah FIB Universitas Andalas
GURU seharusnya sosok panutan yang digugu dan ditiru. Di tangannyalah dititipkan kaum muda untuk dikembangkan menjadi insan yang menjunjung tinggi moralitas dan martabat kemanusiaan. Jangan tanyakan berapa gaji diperoleh seorang guru karena itu tak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan. Dedikasi dan jasa guru pada upaya pencerdasan bangsa akan selalu terukir, sekalipun napas sudah berpisah dari raga.
Namun, dewasa ini pandangan terhadap figur mulia seorang guru mulai luntur. Hal ini tercermin dari banyaknya kasus yang menimpa guru. Guru seolah berada di persimpangan jalan. Dalam menjalankan tugasnya, guru kini sering dibayangi berbagai ancaman mulai dari yang ringan sampai dengan jeruji besi.
Kondisi sekarang sangat berbeda dengan masa lalu. Di masa lalu, tindakan guru menegur murid merupakan bagian dari bentuk perhatian guru. Tak heran, guru zaman dulu sangat berwibawa di mata siswa dan masyarakat. Bayangkan, jika guru sudah menatap siswa dengan tatapan diam, maka siswa pun dengan segera menyadari kesalahannya. Tak ada yang melaporkan atau menuduh guru telah melakukan pelanggaran HAM karena sang guru menegur atau memberikan sanksi atas kesalahan siswanya.
Tetapi, apa boleh buat zaman telah berubah. Dulu guru adalah teladan, sosok yang harus dihormati, kini justru sudah terbalik. Guru di zaman sekarang dianggap sebagai "mesin" akademik saja, bukan sebagai sosok mesti diteladani, disayangi, dan dihormati di dalam maupun luar lingkungan sekolah. Tidak mengherankan, banyak kasus perlakuan murid yang tidak layak kepada guru telah membawa akibat runtuhnya moralitas kaum muda.
Dunia pendidikan Indonesia digemparkan dengan berbagai kasus kekerasan siswa terhadap gurunya. Dalam berbagai jenis latar belakang dan kronologis kasus ini, menggambarkan bahwa ada yang salah dalam etika dan moralitas siswa. Kenyataan ini semakin mempertegas tentang pentingnya pendidikan karakter bagi siswa.
Pendidikan tidak hanya terfokus pada penyampaian materi akademik saja, tetapi juga mengembangkan etika serta sopan santun tentang bagaimana seharusnya siswa bersikap dan menghormati guru. Kita patut belajar memuliakan guru dari negeri Jepang.
Ketika bom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, Kaisar Hirohito memerintahkan menteri pendidikan menghitung jumlah guru yang masih hidup. Para guru dikumpulkan dan diberikan tugas berat untuk membangun Jepang menjadi bangsa yang unggul.
Mengembalikan kembali perspektif kemuliaan seorang guru adalah langkah nyata yang harus dilakukan semua komponen. Tak hanya tanggung jawab lingkungan sekolah. Dimulai dari keluarga yang menanamkan nilai agama dan etika, lingkungan, dan media massa pun harus berhati-hati dalam memberikan segala tontonan serta informasi.
Karena baik langsung atau tidak membentuk watak seorang siswa yang sedang proses pencarian jati diri. Selain itu, membangun komunikasi, baik antara siswa dan guru agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung baku hantam. Jangan sampai dunia pendidikan Indonesia tercoreng dengan ungkapan "guru sibuk mengajar, sedangkan siswa asyik menghajar."
(thm)