Ketika Perlindungan Hutan dan Gambut Berkelanjutan Diabaikan
A
A
A
Bambang Hero Saharjo
Guru Besar Institut Pertanian Bogor
TIDAK lepas dari ingatan kita saat jutaan masyarakat Indonesia yang berada di sekitar kawasan hutan dan ekosistem gambut menderita karena bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2015. Bencana asap ini disebut sebagai “tindakan kriminal lingkungan hidup terbesar pada abad ke-21”. Kegiatan sosial-budaya-ekonomi dan hubungan antarnegara terganggu akibat asap lintas batas dan akibat jarak pandang yang minim tertutup oleh kabut asap.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data bahwa sekitar 2.089.911 hektare hutan dan lahan di Indonesia pada periode 1 Juli hingga 20 Oktober 2015 terbakar. Terparah adalah Provinsi Sumatera seluas 832.999 hektare, Provinsi Kalimantan seluas 806.817 hektare, dan Provinsi Papua seluas 353.000 hektare.
Menurut World Bank, bencana ini melumpuhkan kegiatan perdagangan dan sekolah. Banyak keluarga berpenghasilan rendah kehilangan mata pencahariannya. Sedikitnya 5 juta siswa pun kehilangan waktu belajar akibat penutupan sekolah dan sebagainya.
Kualitas udara di desa-desa sekitar kebakaran melampaui angka 1.000 (bahkan ada yang mencapai 3.000) pada indeks standar pencemaran udara (ISPU) di mana angka 300 merupakan ambang bahaya. Sebagai perbandingan, angka indeks standar pencemaran udara rerata di Jakarta selama 2017 berada pada kategori sedang dengan rentang ISPU pada angka 51–101. Masker dan alat bantu pernapasan pun menjadi sahabat terbaik untuk melindungi diri dari mencekiknya udara yang dihirup walaupun tak memberikan cukup perlindungan.
Kebakaran Hutan Gas Rumah Kaca
Asap yang membubung tinggi dan menyekap pernapasan masyarakat (dari bayi hingga lanjut usia) berbahaya akibat puluhan gas yang terkandung di dalamnya. Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal internasional Atmospheric Chemistry and Physic pada 2016 bertajuk “Field measurements of trace gases and aerosols emitted by peat fires in Central Kalimantan, Indonesia, during the 2015 El Nino”, terdapat lebih dari 90 jenis gas yang terlepas ke udara selama kebakaran gambut berlangsung, yang 50%-nya beracun. Penelitian ini dilakukan di Kalimantan Tengah oleh beberapa universitas dari Amerika, termasuk Institut Pertanian Bogor (IPB), di bawah koordinasi saya dan Prof Mark Cochrane dan didanai NASA.
Gas yang terkandung dalam asap kebakaran hutan dan lahan tersebut antara lain karbon dioksida (1564 ± 77) g kg−1, karbon monoksida (291 ± 49) g kg−1, metana (9,51 ± 4,74) g kg−1, hidrogen sianida (5,75 ± 1,60) g kg−1, asam asetat (3,89 ± 1,65) g kg−1, amonia (2,86 ± 1,00) g kg−1, metanol (2,14 ± 1.22) g kg−1, etana (1,52 ± 0,66) g kg−1, dihidrogen (1,22 ± 1,01) g kg−1, propilena (1,07 ± 0,53) g kg−1, propana (0,989 ± 0,644) g kg−1, etilena (0,961 ± 0,528) g kg−1, benzena (0,954 ± 0,394) g kg−1, formaldehida (0,867 ± 0,479) g kg−1, hidroksiaseton (0,860 ± 0,433) g kg−1, furan (0,772 ± 0,035) g kg−1, dan masih banyak lagi.
Lalu apa dampak nyata bahaya dari kandungan gas ini? Ribuan kasus gangguan kesehatan, antara lain mengidap pneumonia, asma, gangguan penglihatan, penyakit kulit, dan ISPA, serta ada pula yang meninggal.
Untuk memberikan gambaran mengenai betapa berbahayanya kandungan gas ini, masih ingatkah Anda atas kasus pembunuhan pada salah satu pusat perbelanjaan megah di Jakarta menggunakan kandungan sianida? Bentuk lain dari senyawa ini, yaitu hidrogen sianida, dihirup oleh jutaan masyarakat yang terkena dampak kebakaran hutan dan lahan, khususnya pada areal yang bergambut.
Efeknya memang tidak langsung membunuh, tapi layaknya seperti bom waktu, mengintai dan siap meledak. Masyarakat yang terpapar kandungan gas ini akibat dari bencana kebakaran dan asap tersebut sedikit banyak akan terpengaruhi kesehatan mereka dalam jangka panjang.
Senyawa lain, furfuran atau furan, memberikan dampak langsung yang membawa penderitaan yang tidak kalah pedih. Senyawa ini berdampak pada cacatnya janin atau yang lebih ekstrem dan tragis adalah kematian janin yang dikandung oleh ibu yang menghirup senyawa ini dalam jumlah yang berbahaya.
Jangan Dihiraukan
Kasus-kasus yang saya ungkapkan pada tulisan ini merupakan bukti nyata yang mungkin belum sampai ke telinga seluruh kalangan masyarakat di Indonesia, tetapi patut untuk diketahui. Dampak bencana asap kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 memberikan begitu banyak penderitaan kepada mereka yang terdampak pada lebih dari 7 provinsi di Indonesia.
Saat ini upaya untuk mencegah terjadinya kembali bencana kebakaran hutan dan asap di Indonesia telah dilakukan berbagai pihak. Mulai dari pemerintah pusat hingga daerah yang melakukan aksi sinergi untuk terus menekan angka probabilitas timbulnya kembali bencana asap ini.
Salah satu upaya pemerintah ialah membentuk Badan Restorasi Gambut melalui Perpres No 1 Tahun 2016 untuk mempercepat proses restorasi ekosistem gambut yang terdegradasi akibat kebakaran lahan yang terjadi pada 2015 dan untuk mencegah terulangnya kembali kasus yang sama pada 2 juta hektare ekosistem gambut.
Upaya menyentuh level grassroot pun terus dilakukan, salah satunya dengan mengajak para petani di sekitar ekosistem gambut untuk mengelola lahan mereka dengan teknologi tanpa bakar yang diciptakan berbagai kalangan ilmuwan dan praktisi di bidang pertanian Indonesia. Tujuannya? Menjauhkan masyarakat dari derita dan trauma yang sama.
Menyedihkan bahwa upaya perlindungan hutan dan ekosistem gambut berkelanjutan tidak menjadi fokus bagi salah satu pasangan calon yang sedang beradu di kancah kepresidenan atau lebih tepatnya “tidak memiliki tempat” di daftar panjang visi dan misi mereka. Padahal peran pemerintah pusat untuk beraksi dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi sangat penting agar upaya ini sistematis.
Lalu kalau tidak memiliki tempat untuk dilanjutkan, sia-sialah upaya perlindungan lahan gambut yang telah dilakukan secara masif dan berhasil menurunkan 90% luas lahan yang terbakar.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor
TIDAK lepas dari ingatan kita saat jutaan masyarakat Indonesia yang berada di sekitar kawasan hutan dan ekosistem gambut menderita karena bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2015. Bencana asap ini disebut sebagai “tindakan kriminal lingkungan hidup terbesar pada abad ke-21”. Kegiatan sosial-budaya-ekonomi dan hubungan antarnegara terganggu akibat asap lintas batas dan akibat jarak pandang yang minim tertutup oleh kabut asap.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data bahwa sekitar 2.089.911 hektare hutan dan lahan di Indonesia pada periode 1 Juli hingga 20 Oktober 2015 terbakar. Terparah adalah Provinsi Sumatera seluas 832.999 hektare, Provinsi Kalimantan seluas 806.817 hektare, dan Provinsi Papua seluas 353.000 hektare.
Menurut World Bank, bencana ini melumpuhkan kegiatan perdagangan dan sekolah. Banyak keluarga berpenghasilan rendah kehilangan mata pencahariannya. Sedikitnya 5 juta siswa pun kehilangan waktu belajar akibat penutupan sekolah dan sebagainya.
Kualitas udara di desa-desa sekitar kebakaran melampaui angka 1.000 (bahkan ada yang mencapai 3.000) pada indeks standar pencemaran udara (ISPU) di mana angka 300 merupakan ambang bahaya. Sebagai perbandingan, angka indeks standar pencemaran udara rerata di Jakarta selama 2017 berada pada kategori sedang dengan rentang ISPU pada angka 51–101. Masker dan alat bantu pernapasan pun menjadi sahabat terbaik untuk melindungi diri dari mencekiknya udara yang dihirup walaupun tak memberikan cukup perlindungan.
Kebakaran Hutan Gas Rumah Kaca
Asap yang membubung tinggi dan menyekap pernapasan masyarakat (dari bayi hingga lanjut usia) berbahaya akibat puluhan gas yang terkandung di dalamnya. Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal internasional Atmospheric Chemistry and Physic pada 2016 bertajuk “Field measurements of trace gases and aerosols emitted by peat fires in Central Kalimantan, Indonesia, during the 2015 El Nino”, terdapat lebih dari 90 jenis gas yang terlepas ke udara selama kebakaran gambut berlangsung, yang 50%-nya beracun. Penelitian ini dilakukan di Kalimantan Tengah oleh beberapa universitas dari Amerika, termasuk Institut Pertanian Bogor (IPB), di bawah koordinasi saya dan Prof Mark Cochrane dan didanai NASA.
Gas yang terkandung dalam asap kebakaran hutan dan lahan tersebut antara lain karbon dioksida (1564 ± 77) g kg−1, karbon monoksida (291 ± 49) g kg−1, metana (9,51 ± 4,74) g kg−1, hidrogen sianida (5,75 ± 1,60) g kg−1, asam asetat (3,89 ± 1,65) g kg−1, amonia (2,86 ± 1,00) g kg−1, metanol (2,14 ± 1.22) g kg−1, etana (1,52 ± 0,66) g kg−1, dihidrogen (1,22 ± 1,01) g kg−1, propilena (1,07 ± 0,53) g kg−1, propana (0,989 ± 0,644) g kg−1, etilena (0,961 ± 0,528) g kg−1, benzena (0,954 ± 0,394) g kg−1, formaldehida (0,867 ± 0,479) g kg−1, hidroksiaseton (0,860 ± 0,433) g kg−1, furan (0,772 ± 0,035) g kg−1, dan masih banyak lagi.
Lalu apa dampak nyata bahaya dari kandungan gas ini? Ribuan kasus gangguan kesehatan, antara lain mengidap pneumonia, asma, gangguan penglihatan, penyakit kulit, dan ISPA, serta ada pula yang meninggal.
Untuk memberikan gambaran mengenai betapa berbahayanya kandungan gas ini, masih ingatkah Anda atas kasus pembunuhan pada salah satu pusat perbelanjaan megah di Jakarta menggunakan kandungan sianida? Bentuk lain dari senyawa ini, yaitu hidrogen sianida, dihirup oleh jutaan masyarakat yang terkena dampak kebakaran hutan dan lahan, khususnya pada areal yang bergambut.
Efeknya memang tidak langsung membunuh, tapi layaknya seperti bom waktu, mengintai dan siap meledak. Masyarakat yang terpapar kandungan gas ini akibat dari bencana kebakaran dan asap tersebut sedikit banyak akan terpengaruhi kesehatan mereka dalam jangka panjang.
Senyawa lain, furfuran atau furan, memberikan dampak langsung yang membawa penderitaan yang tidak kalah pedih. Senyawa ini berdampak pada cacatnya janin atau yang lebih ekstrem dan tragis adalah kematian janin yang dikandung oleh ibu yang menghirup senyawa ini dalam jumlah yang berbahaya.
Jangan Dihiraukan
Kasus-kasus yang saya ungkapkan pada tulisan ini merupakan bukti nyata yang mungkin belum sampai ke telinga seluruh kalangan masyarakat di Indonesia, tetapi patut untuk diketahui. Dampak bencana asap kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 memberikan begitu banyak penderitaan kepada mereka yang terdampak pada lebih dari 7 provinsi di Indonesia.
Saat ini upaya untuk mencegah terjadinya kembali bencana kebakaran hutan dan asap di Indonesia telah dilakukan berbagai pihak. Mulai dari pemerintah pusat hingga daerah yang melakukan aksi sinergi untuk terus menekan angka probabilitas timbulnya kembali bencana asap ini.
Salah satu upaya pemerintah ialah membentuk Badan Restorasi Gambut melalui Perpres No 1 Tahun 2016 untuk mempercepat proses restorasi ekosistem gambut yang terdegradasi akibat kebakaran lahan yang terjadi pada 2015 dan untuk mencegah terulangnya kembali kasus yang sama pada 2 juta hektare ekosistem gambut.
Upaya menyentuh level grassroot pun terus dilakukan, salah satunya dengan mengajak para petani di sekitar ekosistem gambut untuk mengelola lahan mereka dengan teknologi tanpa bakar yang diciptakan berbagai kalangan ilmuwan dan praktisi di bidang pertanian Indonesia. Tujuannya? Menjauhkan masyarakat dari derita dan trauma yang sama.
Menyedihkan bahwa upaya perlindungan hutan dan ekosistem gambut berkelanjutan tidak menjadi fokus bagi salah satu pasangan calon yang sedang beradu di kancah kepresidenan atau lebih tepatnya “tidak memiliki tempat” di daftar panjang visi dan misi mereka. Padahal peran pemerintah pusat untuk beraksi dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi sangat penting agar upaya ini sistematis.
Lalu kalau tidak memiliki tempat untuk dilanjutkan, sia-sialah upaya perlindungan lahan gambut yang telah dilakukan secara masif dan berhasil menurunkan 90% luas lahan yang terbakar.
(whb)