Kambing Hitam Itu Bernama Harga Avtur

Rabu, 20 Februari 2019 - 07:50 WIB
Kambing Hitam Itu Bernama Harga Avtur
Kambing Hitam Itu Bernama Harga Avtur
A A A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

TERIMA kasih Pertamina! Itulah kalimat yang terucap dari Direktur Utama Garuda Indonesia (GA) Ari Askhara, manakala PT Pertamina menurunkan harga avturnya. Tentu saja bos GA ini hatinya bungah bukan kepalang, sebab sejak terjadi sengkarut tiket pesawat, Ari Ashkara juga dalam kapasitasnya sebagai Ketua INACA, secara nyata meminta agar harga avtur Pertamina diturunkan.

Merespons hal itu, semula Menteri BUMN Rini Soemarno bergeming, harga avtur Pertamina tidak mungkin diturunkan. Tidak ada yang salah dengan harga avtur milik Pertamina, bahkan Menteri BUMN itu minta agar biaya landing fee dan biaya pemanduan pesawat yang diturunkan.

Pernyataan dan permintaan ketua INACA pun tak luput membuat "pasukan" Serikat Kerja Pertamina meradang dan mengungkit utang GA ke Pertamina yang konon mencapai Rp3,2 triliun! Namun, dalam suatu acara di PHRI, Ketua PHRI mengeluh kepada Presiden Joko Widodo, mahalnya tiket pesawat menyebabkan wisatawan turun, dan ending-nya tingkat hunian hotel tergerus.

Atas keluhan itu Presiden Jokowi terkejut dan klimaksnya meminta PT Pertamina untuk menurunkan harga avturnya. Dari situlah desakan harga avtur menguat lagi dan akhirnya harga avtur diturunkan oleh Pertamina, dari semula Rp8.280 per liter, menjadi Rp7.920 per liter.

Pertanyaannya, benarkah sengkarut harga tiket pesawat ada hubungan erat dengan harga avtur ataukah harga avtur hanya menjadi scape goat alias kambing hitam saja?

Sangat disayangkan pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan (Kemenhub), gagal menemukan musabab utama, kenapa tiket pesawat dalam beberapa bulan terakhir mahal. Padahal, masa peak season sudah lewat. Inilah yang menjadi pertanyaan publik dan akhirnya melahirkan petisi dengan 100.000 lebih penandatanganan petisi.

Kemenhub juga tidak pede dengan regulasinya sendiri. Kita tahu standar tarif pesawat adalah tarif batas atas dan batas bawah. Dan di lapangan, sebagaimana keterangan Menteri Perhubungan, belum ditemukan adanya pelanggaran tarif batas sehingga naiknya tarif pesawat dalam konteks regulasi masih dalam batas aman dan wajar.

Menjadikan harga avtur sebagai kambing hitam atas melambungnya tiket pesawat adalah sesuatu yang absurd, menggelikan. Pasalnya, pertama, harga avtur bukan faktor dominan. Sebab menurut Dirjen Perhubungan Udara, avtur hanya berkontribusi terhadap 24% keseluruhan biaya operasional pesawat. Yang jauh lebih dominan adalah biaya sewa pesawat dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika.

Terkait biaya sewa pesawat (leasing) konon maskapai Indonesia, khususnya GA, mengalami inefisiensi antara 20–30%. Ini terjadi karena manajemen GA kurang kreatif dalam mencari leasor yang lebih murah dan kompetitif sehingga terdapat angka kemahalan sebesar 20-30%. Kedua, adanya tekanan serius terkait valas, pasalnya pendapatan maskapai mayoritas dalam mata uang rupiah. Namun, mayoritas biaya operasionalnya berupa dolar Amerika.

Jadi, ketika terjadi selisih kurs yang kian tajam, maka akan berdampak serius terhadap biaya operasional maskapai udara. Selain itu, mahalnya harga tiket pesawat patut diduga dengan kuat karena adanya praktik oligopoli dan kartel. Ini hal logis karena kenaikan tarif tiket pesawat dilakukan secara serentak dan besaran sama.

Fenomena ini makin menguat setelah terjadi akuisisi Sriwijaya Air oleh GA. Dengan akuisisi itu, praktis terdapat dua pemain besar di industri penerbangan nasional; di satu sisi ada Lion Air, dengan market share sebesar 41,5%. Di sisi lain, akuisisi Sriwijaya oleh GA membentuk market share sebesar 46%.

Menjadikan harga avtur sebagai sasaran tembak yang harus diturunkan untuk menurunkan tiket pesawat adalah tragis. Dari sisi data, setidaknya di level ASEAN harga avtur Pertamina bukan merupakan harga termahal. Harga avtur Pertamina hanya termahal ketiga setelah harga avtur di Changi Airport Singapura dan Swarnabumi Airport di Bangkok. Selebihnya, harga avtur Pertamina di bawah negara-negara ASEAN lainnya.

Sekalipun harga avtur Pertamina lebih mahal, lebih dikarenakan Pertamina harus memasok avtur di remote area, yang jatuh harganya sangat mahal. Dengan demikian, Pertamina melakukan subsidi silang. Bisa saja Pertamina menjual avtur di Bandara Soetta lebih murah dibanding Changi Airport, tetapi efeknya harga di bandara yang remote area akan melangit. Saat ini, harga avtur di Bandara Soetta lebih murah 26% daripada harga avtur di Bandara Changi Singapura, yang mencapai Rp10.769/liter.

Tindakan Pertamina menurunkan harga avtur akan merugikan korporasi, bahkan merugikan konsumen. Ingat, akibat mengemban berbagai penugasan pemerintah, keuntungan Pertamina pada 2018 langsung nyungsep. Turunnya harga avtur jelas akan makin menggerus potensi keuntungan Pertamina.

Turunnya harga avtur juga berpotensi merugikan konsumen pesawat, jika turunnya harga avtur tidak dibuktikan dengan turunnya tiket pesawat. Jika hal ini yang terjadi, konsumen bisa menggugat maskapai udara karena telah mengelabui konsumen. Sekali lagi, komponen utama biaya operasional pesawat bukan harga avtur, tetapi biaya leasing dan kurs rupiah.

Presiden Joko Widodo seharusnya tidak grusa grusu dengan menekan Pertamina untuk menurunkan harga avtur, sebagai solusi untuk menurunkan tiket pesawat. Turunnya harga avtur hanya akan menjadi bumerang, terutama bagi Pertamina. Pertamina memang memonopoli bisnis avtur, tetapi ini monopoli alamiah.

Terbukti tidak ada operator lain yang berani memasok avtur di bandara karena harus menyediakan berbagai infrastruktur yang andal dan dengan investasi mahal. Kalaupun pemerintah akan membuka keran untuk operator lain, secara regulasi sudah diatur via Peraturan Menteri ESDM. Namun pemerintah harus fair, pemain non Pertamina diwajibkan memasok avtur di bandara di luar Pulau Jawa, bandara di remote area.

Seharusnya Presiden Joko Widodo menunggu hasil penyelidikan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) terlebih dahulu terkait adanya dugaan praktik oligopoli serta kartel, dan itulah sesungguhnya yang menyebabkan harga tiket pesawat melambung dan merugikan konsumen.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9426 seconds (0.1#10.140)