Memperkuat Politik Nilai

Selasa, 19 Februari 2019 - 08:01 WIB
Memperkuat Politik Nilai
Memperkuat Politik Nilai
A A A
Abdul Mu’ti
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah danDosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
SIDANG Tanwir Muhammadiyah secara resmi ditutup Wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla. Acara yang berlangsung 15-17 Februari 2019 di Universitas Muhammadiyah Bengkulu itu menghasilkan beberapa keputusan strategis organisasi, rekomendasi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta Risalah Bengkulu.
Melalui Risalah Bengkulu, Muhammadiyah menegaskan pentingnya mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama yang mencerahkan dalam bidang politik. Muhammadiyah menyerukan pentingnya membangun kehidupan politik berkeadaban luhur disertai dengan jiwa ukhuwah, damai, toleran, dan lapang hati di tengah perbedaan pilihan. Selanjutnya Muhammadiyah mengingatkan agar dalam berpolitik hendaknya tidak menghalalkan segala cara, menebar kebencian dan permusuhan, serta politik pembelahan, karena dapat merusak sendi-sendi kehidupan kebangsaan yang majemuk dan berbasis pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa.
Nilai Pancasila Bagi bangsa Indonesia, Pancasila tidak hanya sebagai dasar negara, tetapi juga sumber nilai yang memandu dan memberikan makna dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. Nilai-nilai Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai agama dan budaya bangsa Indonesia. Penanaman nilai-nilai Pancasila membentuk karakter yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya.

Pertama, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Politik bukanlah sesuatu yang bebas nilai, terlepas dari agama. Indonesia, meminjam istilah Abdul Karim Soroush, adalah negara "secular religious". Indonesia bukanlah negara teokrasi yang berdasarkan atas agama tertentu, tapi Indonesia bukan pula negara sekuler di mana agama terpisah dari kehidupan publik. Di Indonesia tidak ada domestikasi, di mana agama dimaknai sebatas ritual ibadah formal yang diselenggarakan di tempat-tempat ibadah atau ruang privat.
Nilai-nilai agama menjiwai dan memandu kehidupan politik sehingga tetap berdiri tegak di atas moralitas luhur. Agama berada dalam posisi yang lebih tinggi, bukan bagian dari politik. Karena itu, tidak seharusnya agama dijadikan sebagai kendaraan politik.
Kedua, nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sebagaimana dikemukakan Aristoteles (384-322 SM), manusia adalah makhluk politik. Karena itu, berpolitik merupakan "fitrah", tabiat, atau sifat dan perilaku alamiah manusia. Sesuai dengan pengertiannya, politik (polis-Yunani) berarti kota atau negara kota. Dalam konteks budaya, kota bukanlah wilayah geografis dan administrasi pemerintahan, tetapi budaya yang menggambarkan keadaban dan kemajuan. Karena itu, politik dan berpolitik harus berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan, memuliakan, serta mengangkat harkat dan martabat manusia. Jangan sampai demi kepentingan politik, manusia saling merendahkan, menista, dan melanggar hak-hak asasi manusia.
Ketiga, nilai Persatuan Indonesia. Perbedaan adalah realitas kehidupan umat manusia. Menurut Yusuf Qardhawi, perbedaan umat manusia merupakan sunnatullah yang terjadi karena sebab-sebab alamiah, ilmiah, dan amaliah. Manusia diciptakan berbeda-beda agar mereka saling mengenal, menghormati, tolong-menolong, dan menemukan makna dalam kehidupannya. Dengan perbedaan manusia bisa saling berbagi; sebuah perilaku utama yang mendatangkan kebahagiaan. Politik akan mendatangkan kemajuan apabila manusia saling berbagi, termasuk di dalamnya berbagi kekuasaan (sharing power). Sesuai dengan nilai-nilai persatuan, politik diletakkan sebagai instrumen dan pranata sosial bukan sebagai tujuan.
Keempat, nilai musyawarah. Salah satu budaya luhur bangsa Indonesia adalah musyawarah. Alquran memerintahkan manusia untuk senantiasa menyelesaikan dan mengambil keputusan bersama melalui musyawarah (Qs. 3, Ali Imran: 159). Berpolitik pada hakikatnya adalah mengatur kehidupan bersama untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Demokrasi sebagai salah satu sistem politik modern, pada dasarnya merupakan praksis musyawarah. Pemilihan legislatif dan eksekutif melalui pemilu adalah bentuk permusyawaratan untuk menentukan pemimpin yang terbaik. Dalam hasanah Islam disebutkan: la tajtamiu ummati ala khataain (Umatku tidak akan bersekutu untuk sesuatu yang salah). Maknanya, keputusan ditetapkan berdasarkan musyawarah adalah yang terbaik. Karena itu, semua pihak hendaknya menerima hasil musyawarah, termasuk di dalamnya menerima hasil-hasil Pemilu.
Kelima, nilai Keadilan Sosial. Banyak pihak mulai mempersoalkan sistem demokrasi, terutama dalam hubungannya dengan kemakmuran. Bali Democracy Forum (2018) mengangkat tema Democracy and Prosperity. Tema tersebut diangkat di tengah realitas dunia baru karen banyak negara demokratis yang pecah, bangkrut, dan jatuh miskin. Contoh mutakhir adalah perpecahan dan perang sipil yang terjadi di Timur Tengah setelah Arab Spring yang terjadi 2011 atau fenomena populisme melahirkan pemimpin populis seperti Donald Trump di Amerika Serikat. Sementara pada sisi lain, dunia menyaksikan fenomena Tiongkok. Negara yang pada kurun 1970an disebut "tirai bambu" dengan kepemimpinan otoriter, sekarang tampil sebagai raksasa ekonomi dan the new gigantic power yang pada 2050 diprediksi menumbangkan supremasi Amerika Serikat. Di tanah air kita, pertanyaan senada juga semakin kuat. Sistem demokrasi dinilai menjadi biang kesenjangan sosial.
Politik Nilai Demokrasi tentu memiliki banyak kelemahan. Tetapi, di antara pilihan sistem politik modern, demokrasi tetaplah relevan untuk Indonesia yang majemuk. Selain itu, banyak pihak mulai prihatin dengan praktik demokrasi dan politik yang jauh dari keadaban, terutama dengan merebaknya kampanye negatif dan kampanye hitam. Alih-alih mendatangkan kedamaian, teknologi digital telah menjelma menjadi monster karena masyarakat melakukan menjelekkan ( fitnah), menggunjing (ghibah), dan permusuhan (adawah) digital. Aktivisme politik berubah dari jalan ke genggaman tangan dari jalan kaki ke tarian jari-jari. Meminjam istilah Fukuyama (2019), politik sudah berubah dari "governing" (pemerintahan) ke "winning" (kekuasaan).Kekhawatiran semakin memuncak di tengah polarisasi politik yang tajam. Polarisasi politik begitu terasa di tengah mendekatnya pemilihan presiden. Di tingkat lokal (pilkada), polarisasi juga terjadi. Tetapi, pada Pilpres 2019, polarisasi politik atas dasar kesenjangan kesejahteraan dan agama begitu dominan. Nilai-nilai Pancasila dan budaya luhur bangsa seakan sirna. Agama ditarik dalam derajat yang begitu rendah sebagai alat politik kekuasaan.
Dalam situasi inilah Risalah Bengkulu yang dihasilkan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah menjadi begitu bermakna. Risalah Bengkulu diharapkan dapat menjadi suluh di tengah gulita nurani, oase di tengah kehausan kekuasaan. Politik nilai yang tidak berorientasi kekuasaan memang pilihan pahit dan sulit. Tidak mudah mewujudkannya. Tetapi di tengah arus deras pragmatisme, harus ada yang bertahan di atas nilai-nilai utama agama, Pancasila, dan keadaban utama untuk kemajuan bangsa.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0830 seconds (0.1#10.140)