Ribuan Mobil Mewah Menunggak Pajak
A
A
A
Ada data mengejutkan yang dikeluarkan oleh Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sebanyak 2.667 mobil mewah di DKI Jakarta hingga saat ini menunggak pajak kendaraan bermotor. Kalau dijumlah pajak yang belum dibayarkan totalnya sekitar Rp89 miliar. Pemprov DKI harus tegas dan terus memburu para pemilik mobil yang menunggak pajak untuk menunaikan kewajibannya tersebut.
Fenomena ngemplang pajak mobil mewah bukan hal yang baru di Indonesia. Sudah rahasia umum banyak mobil bodong beredar. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal tersebut sampai dibiarkan berlarut-larut? Apakah memang aparat pemerintah dan aparat hukum kita tidak bisa menagih utang pajak pada pemilik kendaraan mewah tersebut? Pertanyaan-pertanyaan kritis ini seharusnya tidak perlu ada jika pemerintah tegas dalam menagih pajak pada semua kendaraan bermotor.
Ada sejumlah faktor mengapa sampai ada ribuan kendaraan mewah yang menunggak pajak. Pertama, banyaknya mobil mewah yang rata-rata menunggak pajak Rp20 jutaan ke atas menandakan pemerintah dan aparat hukum tidak serius dalam penegakan hukum. Dengan segenap kewenangan dan peralatan yang dimiliki tidak ada alasan mereka tidak bisa menagih para penunggak pajak ini. Kesan yang muncul adalah selama ini mereka seperti "dibiarkan’’. Ketidaktegasan aparat ini membuat banyak masyarakat akhirnya berani tidak membayar pajak atas kendaraannya.
Kedua, para pemilik kendaraan mewah tersebut memiliki kesadaran yang sangat rendah dalam menunaikan kewajibannya membayar pajak. Hal ini yang patut disesalkan. Para pemilik kendaraan mewah yang notabene adalah masyarakat kalangan menangah ke atas justru memiliki mental buruk. Mereka seharusnya malu. Satu sisi mereka mau tampil mewah dengan kendaraannya, namun di sisi lain tidak mau membayar pajak buat negara. Orang yang menunggak pajak bisa dikatakan tidak memiliki rasa nasionalisme yang memadai.
Nasi sudah menjadi bubur. Apapun penyebabnya kini ada 2.667 mobil mewah di DKI Jakarta yang menunggak pajak. Tidak ada cara lain bagi aparat pemerintah selain melakukan penagihan bagaimanapun caranya. Pemerintah punya kewenangan, aparat dan infrastruktur yang cukup untuk melaksanakan tugas tersebut. Uang Rp89 miliar bukan jumlah yang sedikit. Dana sebesar itu bisa digunakan untuk membantu memberdayakan masyarakat Ibu Kota.
Kini Pemprov DKI sudah melakukan berbagai upaya penagihan agar para pemilik mobil mewah mau membayar pajak kendaraannya. Yang menarik, dari langkah door to door ke pemilik kendaraan mewah yang menunggak tersebut banyak di antaranya ditemukan data yang fiktif. Mereka menggunakan nama dan alamat palsu atas kendaraannya.
Seperti dialami oleh keluarga Abdul Manaf, salah seorang warga yang tinggal di permukiman padat penduduk di Jalan Mangga Besar IV, Jakarta Barat. Mereka kaget bukan kepalang saat didatangi petugas Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) dan samsat Jakarta Barat untuk menagih pajak kendaraan miliknya jenis Bentley pada Senin (28/1). Dia mengaku tidak pernah memiliki mobil tersebut. Jangankan mobil mewah, rumahnya pun sangat sempit dan sederhana. Ternyata ada orang yang menyalahgunakan namanya untuk memalsukan indentitas mobil mewah tersebut.
Meski ada tantangan, bukan berarti tidak ada cara lain untuk terus menagih pajak mobil mewah. Selain terus melakukan door to door, ada banyak cara bisa dilakukan mulai membekukan surat kendaraan bermotor yang bersangkutan hingga melacak kendaraan dengan melakukan operasi lalu lintas. Untuk melakukan ini, Pemprov DKI perlu melakukan menggandeng dan bekerja sama dengan Polda Metro Jaya. Usulan untuk menggunakan CCTV untuk memantau keberadaan mobil mewah yang nunggak tersebut juga patut dicoba.
Intinya adalah penegakan hukum harus dilakukan secara tegas tanpa pilih kasih termasuk dalam kasus pajak mobil mewah ini. Jangan sampai muncul kesan mobil mewah cenderung dibiarkan karena dimiliki oleh orang-orang yang berpengaruh sehingga ada rasa segan bagi aparat untuk menindaknya. Ketegasan aparat akan menimbulkan efek jera bagi siapapun untuk tidak membayar pajak. Sebaliknya, sedikit saja ada peluang untuk bisa mengemplang pajak, kasus-kasus serupa akan terus bermunculan. Disiplin masyarakat dalam membayar pajak harus dipaksa dengan ketegasan aparat dalam menegakkan aturan.
Fenomena ngemplang pajak mobil mewah bukan hal yang baru di Indonesia. Sudah rahasia umum banyak mobil bodong beredar. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal tersebut sampai dibiarkan berlarut-larut? Apakah memang aparat pemerintah dan aparat hukum kita tidak bisa menagih utang pajak pada pemilik kendaraan mewah tersebut? Pertanyaan-pertanyaan kritis ini seharusnya tidak perlu ada jika pemerintah tegas dalam menagih pajak pada semua kendaraan bermotor.
Ada sejumlah faktor mengapa sampai ada ribuan kendaraan mewah yang menunggak pajak. Pertama, banyaknya mobil mewah yang rata-rata menunggak pajak Rp20 jutaan ke atas menandakan pemerintah dan aparat hukum tidak serius dalam penegakan hukum. Dengan segenap kewenangan dan peralatan yang dimiliki tidak ada alasan mereka tidak bisa menagih para penunggak pajak ini. Kesan yang muncul adalah selama ini mereka seperti "dibiarkan’’. Ketidaktegasan aparat ini membuat banyak masyarakat akhirnya berani tidak membayar pajak atas kendaraannya.
Kedua, para pemilik kendaraan mewah tersebut memiliki kesadaran yang sangat rendah dalam menunaikan kewajibannya membayar pajak. Hal ini yang patut disesalkan. Para pemilik kendaraan mewah yang notabene adalah masyarakat kalangan menangah ke atas justru memiliki mental buruk. Mereka seharusnya malu. Satu sisi mereka mau tampil mewah dengan kendaraannya, namun di sisi lain tidak mau membayar pajak buat negara. Orang yang menunggak pajak bisa dikatakan tidak memiliki rasa nasionalisme yang memadai.
Nasi sudah menjadi bubur. Apapun penyebabnya kini ada 2.667 mobil mewah di DKI Jakarta yang menunggak pajak. Tidak ada cara lain bagi aparat pemerintah selain melakukan penagihan bagaimanapun caranya. Pemerintah punya kewenangan, aparat dan infrastruktur yang cukup untuk melaksanakan tugas tersebut. Uang Rp89 miliar bukan jumlah yang sedikit. Dana sebesar itu bisa digunakan untuk membantu memberdayakan masyarakat Ibu Kota.
Kini Pemprov DKI sudah melakukan berbagai upaya penagihan agar para pemilik mobil mewah mau membayar pajak kendaraannya. Yang menarik, dari langkah door to door ke pemilik kendaraan mewah yang menunggak tersebut banyak di antaranya ditemukan data yang fiktif. Mereka menggunakan nama dan alamat palsu atas kendaraannya.
Seperti dialami oleh keluarga Abdul Manaf, salah seorang warga yang tinggal di permukiman padat penduduk di Jalan Mangga Besar IV, Jakarta Barat. Mereka kaget bukan kepalang saat didatangi petugas Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) dan samsat Jakarta Barat untuk menagih pajak kendaraan miliknya jenis Bentley pada Senin (28/1). Dia mengaku tidak pernah memiliki mobil tersebut. Jangankan mobil mewah, rumahnya pun sangat sempit dan sederhana. Ternyata ada orang yang menyalahgunakan namanya untuk memalsukan indentitas mobil mewah tersebut.
Meski ada tantangan, bukan berarti tidak ada cara lain untuk terus menagih pajak mobil mewah. Selain terus melakukan door to door, ada banyak cara bisa dilakukan mulai membekukan surat kendaraan bermotor yang bersangkutan hingga melacak kendaraan dengan melakukan operasi lalu lintas. Untuk melakukan ini, Pemprov DKI perlu melakukan menggandeng dan bekerja sama dengan Polda Metro Jaya. Usulan untuk menggunakan CCTV untuk memantau keberadaan mobil mewah yang nunggak tersebut juga patut dicoba.
Intinya adalah penegakan hukum harus dilakukan secara tegas tanpa pilih kasih termasuk dalam kasus pajak mobil mewah ini. Jangan sampai muncul kesan mobil mewah cenderung dibiarkan karena dimiliki oleh orang-orang yang berpengaruh sehingga ada rasa segan bagi aparat untuk menindaknya. Ketegasan aparat akan menimbulkan efek jera bagi siapapun untuk tidak membayar pajak. Sebaliknya, sedikit saja ada peluang untuk bisa mengemplang pajak, kasus-kasus serupa akan terus bermunculan. Disiplin masyarakat dalam membayar pajak harus dipaksa dengan ketegasan aparat dalam menegakkan aturan.
(rhs)