Tancap Gas Reforma Agraria
A
A
A
Iwan Nurdin
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria
DALAM empat tahun terakhir, politik kebijakan agraria nasional mempunyai beberapa perbaikan penting. Pertama, terdapat keinginan politik (political will) pemerintah yang bertujuan mengerem laju eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.Beberapa contoh dari kebijakan semacam ini adalah mengeluarkan kebijakan moratorium pelepasan kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan sawit, moratorium perubahan (konversi) hutan primer, dan larangan eksploitasi dan konversi kawasan gambut.
Kedua, terdapat politik kebijakan agraria populis yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan struktur khususnya kepemilikan dan akses kelola agraria di wilayah perdesaan. Beberapa praktik kebijakan tersebut dapat dilihat dari usaha pemerintah menjalankan redistribusi tanah dan perhutanan sosial (social forestry).Implementasi kebijakan ini adalah titik perkawinan dari beberapa tujuan seperti keberlanjutan lingkungan hidup, kepastian tenurial masyarakat, dan peningkatan kesejahteraan dan mengurangi konflik agraria. Target program ini cukup ambisius, yakni seluas 12,7 juta hektare. Praktik lain yang sering dipublikasikan adalah redistribusi dan legalisasi tanah seluas 9 juta hektare melalui pelaksanaan reforma agraria.
Catatan dari program ini sebenarnya dari sisi kecepatan implementasi. Nampaknya, kementerian dan lembaga (K/L) menjalankan agenda ini dengan lambat dan tata cara yang kurang partisipatif. Sehingga, usulan dari bawah organisasi petani, kalangan masyarakat sipil maupun sejumlah pemerintah kabupaten belum mendapat respons memadai.
Sejumlah pihak mungkin akan menyampaikan beberapa argumen kontra dan membeberkan fakta berbalikan atas pernyataan ini. Meskipun setelah dilihat kembali, ekspansi perkebunan dan industri kehutanan saat ini lebih banyak karena proses izin dan pemberian hak yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Ini adalah tantangan kebijakan sebab reviu atas izin-izin dan pemberian hak-hak lama sebenarnya dapat diberlakukan tanpa menyebabkan hilangnya kepastian hukum.
Tancap Gas RA
Pada September 2018 Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 86 tentang Reforma Agraria. Sebuah tanggapan Presiden atas keinginan masyarakat untuk mengakselerasi pelaksanaan reforma agraria. Sebagai penantian lama masyarakat sipil, hal ini mendapat apresiasi dan dipandang sebagai satu terobosan politik dan hukum setelah sekian lama kebijakan landreform mandek. Ini adalah kebijakan reforma agraria pertama yang ditandatangani oleh presiden pertama setelah era Presiden Soekarno.
Perpres ini menjelaskan bahwa Kemenko Perekonomian akan memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria. Ada beberapa titik krusial yang harus diselesaikan oleh Kemenko secara cepat. Pertama, kesan bahwa kementerian dan lembaga yang terkait dalam memimpin jajaran birokrasi menandakan telah menjadi “sabotase” dari dalam terkait agenda ini. Menjawab hal tersebut, Tim Reforma Agraria Pusat dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di nasional dan daerah harus segera dibentuk dan disosialisasikan dengan keanggotaan aktif kalangan masyarakat sipil.
Kedua, memperkuat kepercayaan publik terhadap kemanjuran perpres ini. Misalnya, perpres dalam praktiknya harus menyambungkan kembali garis terputus (missing link) antara reforma agraria dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Kealpaan bahwa masyarakat adat tidak termasuk dalam subjek penerima reforma agraria dalam perpres ini harus dijawab segera.Jembatan harus diciptakan oleh Menko Perekonomian, salah satunya dengan menyadari bahwa tanah objek reforma agraria (TORA) yang selama ini telah ditetapkan secara top-down di wilayah kehutanan sangat berpotensi tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat. Karena itu, GTRA sebaiknya membuka cara mengadopsi usulan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) kalangan masyarakat sipil, khususnya organisasi masyarakat adat.Sebab, lokasi LPRA ini clear and clean dari problem konflik horizontal pada pola TORA yang top-down. Hal lain, untuk memperkuat posisi masyarakat adat, Kemenko Perekonomian harus memastikan bahwa yang disebut dalam perpres ini sebagai hak kepemilikan bersama prioritas, utamanya adalah untuk subjek masyarakat adat.
Ketiga, tujuan pelaksanaan reforma agraria dalam perpres ini salah satunya untuk menyelesaikan konflik agraria yang dinyatakan akan diatur oleh peraturan menteri (permen). Mengingat selama ini konflik agraria adalah problem lintas sektor seperti kehutanan, pertanahan, dan lintas pemerintahan, maka seyogianya permen yang dimaksud adalah sebuah Permenko Perekonomian. Karena itu, peraturan menteri sektoral tidak dapat menjawab problem tersebut.
Keempat, soal pembangunan wilayah reforma agraria ke dalam wadah koperasi produksi pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang modern. Sebab, reforma agraria yang genuine dalam UUPA Nomor 5/1960 adalah usaha untuk mewujudkan badan usaha ekonomi dalam konstitusi kita yaitu koperasi. Memobilisasi usaha secara gotong-royong dalam mewujudkan koperasi produksi milik rakyat dalam wilayah pelaksanaan reforma agraria mutlak dilakukan.
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria
DALAM empat tahun terakhir, politik kebijakan agraria nasional mempunyai beberapa perbaikan penting. Pertama, terdapat keinginan politik (political will) pemerintah yang bertujuan mengerem laju eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.Beberapa contoh dari kebijakan semacam ini adalah mengeluarkan kebijakan moratorium pelepasan kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan sawit, moratorium perubahan (konversi) hutan primer, dan larangan eksploitasi dan konversi kawasan gambut.
Kedua, terdapat politik kebijakan agraria populis yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan struktur khususnya kepemilikan dan akses kelola agraria di wilayah perdesaan. Beberapa praktik kebijakan tersebut dapat dilihat dari usaha pemerintah menjalankan redistribusi tanah dan perhutanan sosial (social forestry).Implementasi kebijakan ini adalah titik perkawinan dari beberapa tujuan seperti keberlanjutan lingkungan hidup, kepastian tenurial masyarakat, dan peningkatan kesejahteraan dan mengurangi konflik agraria. Target program ini cukup ambisius, yakni seluas 12,7 juta hektare. Praktik lain yang sering dipublikasikan adalah redistribusi dan legalisasi tanah seluas 9 juta hektare melalui pelaksanaan reforma agraria.
Catatan dari program ini sebenarnya dari sisi kecepatan implementasi. Nampaknya, kementerian dan lembaga (K/L) menjalankan agenda ini dengan lambat dan tata cara yang kurang partisipatif. Sehingga, usulan dari bawah organisasi petani, kalangan masyarakat sipil maupun sejumlah pemerintah kabupaten belum mendapat respons memadai.
Sejumlah pihak mungkin akan menyampaikan beberapa argumen kontra dan membeberkan fakta berbalikan atas pernyataan ini. Meskipun setelah dilihat kembali, ekspansi perkebunan dan industri kehutanan saat ini lebih banyak karena proses izin dan pemberian hak yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Ini adalah tantangan kebijakan sebab reviu atas izin-izin dan pemberian hak-hak lama sebenarnya dapat diberlakukan tanpa menyebabkan hilangnya kepastian hukum.
Tancap Gas RA
Pada September 2018 Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 86 tentang Reforma Agraria. Sebuah tanggapan Presiden atas keinginan masyarakat untuk mengakselerasi pelaksanaan reforma agraria. Sebagai penantian lama masyarakat sipil, hal ini mendapat apresiasi dan dipandang sebagai satu terobosan politik dan hukum setelah sekian lama kebijakan landreform mandek. Ini adalah kebijakan reforma agraria pertama yang ditandatangani oleh presiden pertama setelah era Presiden Soekarno.
Perpres ini menjelaskan bahwa Kemenko Perekonomian akan memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria. Ada beberapa titik krusial yang harus diselesaikan oleh Kemenko secara cepat. Pertama, kesan bahwa kementerian dan lembaga yang terkait dalam memimpin jajaran birokrasi menandakan telah menjadi “sabotase” dari dalam terkait agenda ini. Menjawab hal tersebut, Tim Reforma Agraria Pusat dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di nasional dan daerah harus segera dibentuk dan disosialisasikan dengan keanggotaan aktif kalangan masyarakat sipil.
Kedua, memperkuat kepercayaan publik terhadap kemanjuran perpres ini. Misalnya, perpres dalam praktiknya harus menyambungkan kembali garis terputus (missing link) antara reforma agraria dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Kealpaan bahwa masyarakat adat tidak termasuk dalam subjek penerima reforma agraria dalam perpres ini harus dijawab segera.Jembatan harus diciptakan oleh Menko Perekonomian, salah satunya dengan menyadari bahwa tanah objek reforma agraria (TORA) yang selama ini telah ditetapkan secara top-down di wilayah kehutanan sangat berpotensi tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat. Karena itu, GTRA sebaiknya membuka cara mengadopsi usulan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) kalangan masyarakat sipil, khususnya organisasi masyarakat adat.Sebab, lokasi LPRA ini clear and clean dari problem konflik horizontal pada pola TORA yang top-down. Hal lain, untuk memperkuat posisi masyarakat adat, Kemenko Perekonomian harus memastikan bahwa yang disebut dalam perpres ini sebagai hak kepemilikan bersama prioritas, utamanya adalah untuk subjek masyarakat adat.
Ketiga, tujuan pelaksanaan reforma agraria dalam perpres ini salah satunya untuk menyelesaikan konflik agraria yang dinyatakan akan diatur oleh peraturan menteri (permen). Mengingat selama ini konflik agraria adalah problem lintas sektor seperti kehutanan, pertanahan, dan lintas pemerintahan, maka seyogianya permen yang dimaksud adalah sebuah Permenko Perekonomian. Karena itu, peraturan menteri sektoral tidak dapat menjawab problem tersebut.
Keempat, soal pembangunan wilayah reforma agraria ke dalam wadah koperasi produksi pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang modern. Sebab, reforma agraria yang genuine dalam UUPA Nomor 5/1960 adalah usaha untuk mewujudkan badan usaha ekonomi dalam konstitusi kita yaitu koperasi. Memobilisasi usaha secara gotong-royong dalam mewujudkan koperasi produksi milik rakyat dalam wilayah pelaksanaan reforma agraria mutlak dilakukan.
(whb)