Mengontrol Caleg Mantan Napi Korupsi

Selasa, 12 Februari 2019 - 09:01 WIB
Mengontrol Caleg Mantan Napi Korupsi
Mengontrol Caleg Mantan Napi Korupsi
A A A
Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang

KPU telah mengumumkan 49 caleg mantan napi korupsi pada Rabu (30/01). Jumlah tersebut masih bertambah karena menurut penelusuran Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), ada 14 caleg lagi yang belum masuk dalam daftar yang harus diumumkan KPU (nasional.sindonews.com, 07/02/2019).

Keputusan mengumumkan nama caleg mantan napi korupsi ini tentu menjadi berkah bagi pemilih. Berkah karena dengan begitu, pemilih dapat mengetahui caleg yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi. Karena itu, tidak selaiknya mereka dipilih oleh rakyat.

Data menunjukkan, DPR menjadi salah satu lembaga sarang koruptor. Di sana korupsi tumbuh subur. Kompas (25/01) menulis, selama 2018 KPK melakukan 30 kali OTT. Dalam proses itu, 21 kepala daerah ditangkap, tiga hakim, dua anggota DPR, dan sejumlah pejabat birokrasi.

Data yang sama menunjukkan, sampai 2018 DPR dan DPRD menempati ranking teratas pelaku korupsi. Disebutkan, kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif sebanyak 174 kasus, swasta 151 kasus, pejabat eselon I-III sebanyak 86 kasus, wali kota dan bupati 68 kasus, penegak hukum 18 kasus, kepala lembaga/kementerian 15 kasus gubernur 10 kasus, dan pengacara 7 kasus.

Data itu menggambarkan tamaknya elite kekuasaan di Indonesia. Jabatan politik menjadi ruang bagi individu tertentu untuk melakukan korupsi dan memperkaya diri. Manusia Indonesia memang tengah menangis karena perilaku koruptif elite politik. Itulah alasan, langkah bijak KPU mengumumkan caleg mantan napi korupsi laik diacungi jempol.

Pertanyaan kritis kemudian ialah apakah dengan begitu korupsi bakal mati di bumi ini? Tidak. Korupsi akan tetap ada selama sistem politik kita belum ditata dengan baik. Korupsi akan ada selama manusia korup terus diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin di republik ini. Atas dasar itu, keputusan KPU mengumumkan caleg mantan napi korupsi boleh dianggap sebagai gerbang pertama untuk membuka cara lain dalam proses pemberantasan korupsi.

Sebagaimana harapan banyak pihak, pengumuman caleg mantan napi korupsi oleh KPU diharapkan mampu menjadi energi positif berdampak positif tidak saja bagi kinerja lembaga legislatif, tetapi terutama bagi penyelesaian beragam perilaku korup di negara ini.

Kejahatan Sistemik
Green dan Ward (2004) menyebut korupsi yang melibatkan elite politik, partai politik, dan elite kekuasaan sebagai bentuk kejahatan terhadap negara. Di sana elite kekuasaan menggunakan organisasi sebagai tameng untuk melakukan tindakan korupsi. Suap-menyuap dalam proses pengambilan kebijakan strategis yang melibatkan eksekutif dan legislatif merupakan varian penting motif korupsi.

Dengan begitu, korupsi dapat dipakai sebagai alat untuk tujuan organisasi, melayani tujuan organisasi, dan mengejar keuntungan melalui korupsi untuk tujuan organisasi. Menurut studi ekonomi politik, korupsi dijalankan untuk tiga tujuan organisasi; sebagai alat, sebagai pelayan, dan sebagai mekanisme mencari keuntungan organisasi.

Realitas korupsi yang melibatkan aktor negara, elite politik, elite kekuasaan, dan partai politik menunjukkan bahwa korupsi memang dilakukan secara sistematis. Menurut Andrei, Ro’ca, dan Matei (2009), korupsi yang dilakukan oleh tiga aktor di atas dengan sistem yang sistematis masuk dalam kategori kekerasan negara terhadap masyarakat.

Fakta menunjukkan, sebagian besar pelaku korupsi di Indonesia adalah mereka yang memegang kekuasaan. Kalau bukan pejabat eksekutif, mereka adalah anggota legislatif. Kalau bukan elite korporat, mereka adalah pengambil kebijakan penting ekonomi di republik ini. Karena itu, beragam pendekatan moral dan etis dianggap tidak cocok alias gagal dalam memerangi korupsi.

Sebab, jika pengetahuan dan pendidikan dianggap sebagai kecerdasan seseorang, minimal mereka itu tidak akan melakukan tindakan korupsi. Semenjak mengikuti pendidikan di berbagai tingkatan, mereka telah memperoleh ilmu etika dan moral. Idealnya, ketika menjadi pemimpin, itulah saat di mana mereka mempraktikkan beragam nilai etika dan moralitas.

Resolusi Sistemik
Berdasarkan penyebaran dan intensitas korupsi, pemberantasan korupsi di Indonesia memang harus dilakukan melalui cara-cara luar biasa. Pertama, korupsi memang harus dianggap sebagai kejahatan luar biasa dan bukan kejahatan biasa. Karena kejahatan luar biasa, hukumannya pun harus luar biasa. Maka, hukuman politik KPU dengan mengumumkan nama-nama napi mantan korupsi bias menjadi langkah awal intervensi sistemik korupsi.

Pengumuman nama-nama caleg mantan napi korupsi oleh KPU hemat saya disebabkan karena berbagai pendekatan hukum dan politik selama ini terkesan gagal dan berjalan di tempat. Pendekatan demi pendekatan berujung pada semakin maraknya tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.

Dalam kerangka itu, pakta integritas menjadi hal urgen yang perlu disebut di sini. Dalam standar bahasa pakta integritas, harus pula disertakan bahwa pemimpin yang melakukan korupsi harus siap menerima hukuman mati. Pakta integritas itu harus ditandatangani pada saat pelantikan. Model ini disebut sebagai intervensi sistemik. Intervensi sistemik mengandaikan ada perubahan sistem hukum dan sistem politik. Seperti disebut pada bagian pertama di atas, hukuman mati bisa dijadikan pola sistemik dalam memberantas korupsi. Langkah ini diambil dengan beragam pertimbangan politik di dalamnya. Intervensi sistemik dalam dua aspek itu, hukum dan politik, harus saling mendukung dan saling menopang.

Kedua, hukuman sosial bisa berjalan selama masyarakat melepaskan tabiat permisivitas terhadap perilaku korupsi. Masalahnya, saat ini masyarakat justru membiarkan perilaku buruk ini terus terjadi. Gejala pemberian suap untuk tujuan memperlancar berbagai urusan administrasi menjadi bukti nyata realitas permisivitas itu. Indonesia butuh caleg yang berwibawa. Indonesia tidak butuh caleg yang berkarakter jumawa. Korupsi merupakan perilaku jumawa elite kekuasaan yang segera diintervensi secara sistemik. (*)
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4297 seconds (0.1#10.140)