Jangan Salah Memilih Anggota Legislatif
A
A
A
Muhammad Arief Virgy
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran dan Direktur Utama Lembaga Pers Mahasiswa Islam HMI Cabang Jatinangor-Sumedang 2019
PESTA demokrasi Pemilu 2019 akan digelar pada 17 April 2019. Sebagian masyarakat mulai dilanda euforia, tidak hanya di dunia nyata, tapi juga melalui media online (daring). Namun, euforia yang terbangun lebih dominan pada soal Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kita seolah lupa bahwa Pemilu 2019 juga merupakan ajang pemilihan anggota legislatif, baik anggota DPRD kota/kabupaten maupun DPRD provinsi.
Masih lekat dalam ingatan kita pada 2018, sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus suap pembahasan P-APBD Kota Malang tahun anggaran 2015. Hal itu menyebabkan pemerintahan legislatif Kota Malang lumpuh dan sejumlah agenda penting, seperti pembahasan Laporan Pertanggungjawaban Masa Akhir Jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang 2013–2018 dan pembahasan APBD Perubahan 2018 molor. Molornya sejumlah agenda DPRD Kota Malang menjadi salah satu bukti bahwa legislatif punya peranan penting dalam berjalannya pemerintahan suatu daerah.
Fungsi DPRD sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang salah satunya adalah membahas dan memberikan persetujuan rancangan APBD yang diajukan wali kota/bupati. APBD menjadi sasaran empuk para koruptor untuk bisa melanggengkan praktik korupsi. Praktik korupsi, seperti penyediaan barang, penyediaan jasa, hingga perjalanan dinas, seolah menjadi lumrah untuk “diakali” pemerintahan daerah. Belum lagi praktik patron-client di mana tender-tender pemerintahan daerah diatur sedemikian rupa untuk dimenangkan oleh kolega atau keluarga dari oknum kepala daerah.
Minimnya pengawasan rancangan, implementasi, dan evaluasi APBD bisa menjadi celah bagi kepala daerah beserta jajarannya melakukan tindakan korupsi. Sebenarnya DPRD yang berperan sebagai ujung tombak untuk mengawasi bagaimana perencanaan hingga evaluasi anggaran dalam suatu daerah sehingga akuntabilitas keuangan daerah bisa terjaga. Dengan begitu, anggaran dapat terserap dengan baik oleh rakyat.
Namun, minimnya antusiasme publik terhadap pemilihan anggota legislatif (pileg) pada pemilu kali ini menciptakan kekhawatiran. Itu akan berdampak signifikan terhadap bagaimana jalannya pengawasan terhadap kepala daerah ke depan. Masyarakat yang memiliki kecenderungan tidak terlalu acuh terhadap pemilihan anggota legislatif memiliki potensi memilih anggota legislatif yang tidak punya kualitas, termasuk mereka merupakan bekas narapidana korupsi. Alih-alih menjadi motor untuk melakukan pengawasan guna mencegah merebaknya praktik korupsi, DPRD justru menjadi institusi yang sama-sama melanggengkan praktik korupsi apabila anggota DPRD terpilih adalah bekas narapidana korupsi.
Oleh karenanya, penguatan fungsi pengawasan pada legislatif menjadi pekerjaan kita bersama. Tuntutan masyarakat luas terhadap publikasi calon anggota DPRD eks korupsi menjadi salah satu hal patut diapresiasi sebagai upaya merestorasi fungsi DPRD. KPU sendiri sudah mengumumkan daftar nama-nama calon anggota DPRD eks narapidana kasus korupsi, tinggal bagaimana kita sebagai pemilih bisa peduli dan cermat dalam memilih calon anggota DPRD ke depan sehingga praktik korupsi yang kerap terjadi di daerah bisa reduksi. Karena pengelolaan pemerintahan dalam demokrasi itu adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, memilih wakil kita dalam parlemen menjadi kewajiban masyarakat sebagai salah satu upaya untuk pencegahan praktik korupsi.
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran dan Direktur Utama Lembaga Pers Mahasiswa Islam HMI Cabang Jatinangor-Sumedang 2019
PESTA demokrasi Pemilu 2019 akan digelar pada 17 April 2019. Sebagian masyarakat mulai dilanda euforia, tidak hanya di dunia nyata, tapi juga melalui media online (daring). Namun, euforia yang terbangun lebih dominan pada soal Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kita seolah lupa bahwa Pemilu 2019 juga merupakan ajang pemilihan anggota legislatif, baik anggota DPRD kota/kabupaten maupun DPRD provinsi.
Masih lekat dalam ingatan kita pada 2018, sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus suap pembahasan P-APBD Kota Malang tahun anggaran 2015. Hal itu menyebabkan pemerintahan legislatif Kota Malang lumpuh dan sejumlah agenda penting, seperti pembahasan Laporan Pertanggungjawaban Masa Akhir Jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang 2013–2018 dan pembahasan APBD Perubahan 2018 molor. Molornya sejumlah agenda DPRD Kota Malang menjadi salah satu bukti bahwa legislatif punya peranan penting dalam berjalannya pemerintahan suatu daerah.
Fungsi DPRD sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang salah satunya adalah membahas dan memberikan persetujuan rancangan APBD yang diajukan wali kota/bupati. APBD menjadi sasaran empuk para koruptor untuk bisa melanggengkan praktik korupsi. Praktik korupsi, seperti penyediaan barang, penyediaan jasa, hingga perjalanan dinas, seolah menjadi lumrah untuk “diakali” pemerintahan daerah. Belum lagi praktik patron-client di mana tender-tender pemerintahan daerah diatur sedemikian rupa untuk dimenangkan oleh kolega atau keluarga dari oknum kepala daerah.
Minimnya pengawasan rancangan, implementasi, dan evaluasi APBD bisa menjadi celah bagi kepala daerah beserta jajarannya melakukan tindakan korupsi. Sebenarnya DPRD yang berperan sebagai ujung tombak untuk mengawasi bagaimana perencanaan hingga evaluasi anggaran dalam suatu daerah sehingga akuntabilitas keuangan daerah bisa terjaga. Dengan begitu, anggaran dapat terserap dengan baik oleh rakyat.
Namun, minimnya antusiasme publik terhadap pemilihan anggota legislatif (pileg) pada pemilu kali ini menciptakan kekhawatiran. Itu akan berdampak signifikan terhadap bagaimana jalannya pengawasan terhadap kepala daerah ke depan. Masyarakat yang memiliki kecenderungan tidak terlalu acuh terhadap pemilihan anggota legislatif memiliki potensi memilih anggota legislatif yang tidak punya kualitas, termasuk mereka merupakan bekas narapidana korupsi. Alih-alih menjadi motor untuk melakukan pengawasan guna mencegah merebaknya praktik korupsi, DPRD justru menjadi institusi yang sama-sama melanggengkan praktik korupsi apabila anggota DPRD terpilih adalah bekas narapidana korupsi.
Oleh karenanya, penguatan fungsi pengawasan pada legislatif menjadi pekerjaan kita bersama. Tuntutan masyarakat luas terhadap publikasi calon anggota DPRD eks korupsi menjadi salah satu hal patut diapresiasi sebagai upaya merestorasi fungsi DPRD. KPU sendiri sudah mengumumkan daftar nama-nama calon anggota DPRD eks narapidana kasus korupsi, tinggal bagaimana kita sebagai pemilih bisa peduli dan cermat dalam memilih calon anggota DPRD ke depan sehingga praktik korupsi yang kerap terjadi di daerah bisa reduksi. Karena pengelolaan pemerintahan dalam demokrasi itu adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, memilih wakil kita dalam parlemen menjadi kewajiban masyarakat sebagai salah satu upaya untuk pencegahan praktik korupsi.
(thm)