Nuklir dan Masa Depan Dunia
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
Perang urat syaraf antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang berlangsung dalam dua tahun perihal Kesepakatan Intermediate-range Nuclear Forces (INF) mencapai klimaksnya minggu lalu. Presiden Donald Trump mengatakan bahwa AS menolak untuk mematuhi kesepakatan INF selama 180 hari. AS mengharapkan dalam periode tersebut Rusia dapat memenuhi tuntutan AS agar menghancurkan senjata-senjata yang dilarang diproduksi atau dikembangkan sesuai dengan kesepakatan INF. Rusia wajib mengindahkan seruan tersebut karena jika tidak AS akan keluar sama sekali dari perjanjian dan memulai mengembangkan teknologi dan peralatan senjata yang dilarang dalam perjanjian tersebut.
Ancaman tersebut merupakan buntut dari tidak selesainya perundingan terkait tuduhan AS bahwa Rusia telah melanggar perjanjian INF tersebut. Tuduhan itu pertama kali muncul di masa Pemerintahan Barack Obama ketika AS mengatakan bahwa Rusia telah menguji rudal jelajah 9M729 yang jangkauannya dilarang oleh perjanjian tersebut. Rusia saat itu juga tengah terlibat dalam konflik yang terjadi di Ukraina di tahun 2014. Salah satu wilayah negara itu, Krimea, melakukan refendum dan menyatakan diri sebagai bagian dari Rusia.Hasil itu melegitimasi keberadaan Rusia tetapi Barat mengatakan langkah itu sebagai intervensi. Rusia menolak disebut melakukan intervensi dan dituduh melanggar kesepakatan INF. Rusia meminta AS member bukti atas tuduhan tersebut.
AS dan Rusia telah berupaya menyelesaikan perselisihan tersebut lewat Special Verification Commission (SVC). Komisi ini adalah sebuah forum yang dimandatkan di dalam perjanjian ketika terjadi perselisihan kepatuhan. Upaya juga dilakukan melalui saluran diplomatik lainnya. Namun, hingga detik ini, kedua negara gagal menyepakati fakta-fakta yang disampaikan masing-masing sehingga tidak tercapai sebuah jalan keluar.
Perjanjian INF ini atau Kekuatan Nuklir Jangka Menengah ini dapat disebut sebagai salah satunya perjanjian yang secara khusus melarang pengembangan kategori senjata nuklir tertentu.
Kategori senjata yang dilarang dikembangkan adalah teknologi dan sistim senjata darat yang memiliki jangkauan antara 500 Km-5.500 Km. Perjanjian-perjanjian lain seperti Strategic Arms Limitation Talks (SALT) atau Strategic Arms Reduction Treaties (START) tidak melarang produksi dan pengembangan senjata tetapi hanya menguranginya (Heinz Gartner, 2014).
Uni-Soviet pada masa itu memproduksi dan mengerahkan RSD-10 Pioneer atau Barat menyebutnya SS-20 Sabre di wilayah mereka. Rudal ini dapat menjangkau Wilayah Eropa dalam jangka waktu 15 menit. Oleh sebab itu Perjanjian INF yang ditandatangani di tahun 1987 ini sebetulnya lebih penting bagi negara-negara Eropa yang berbatasan langsung dengan Uni-Soviet atau Rusia saat ini.
Secara teknis negara-negara Eropa sebetulnya masih dapat hancur oleh senjata nuklir jangka pendek atau jangka jauh dari Rusia tetapi secara simbolis pelarangan Senjata nuklir jarak menengah membuat Wilayah Eropa lebih aman dari serangan Rusia (Katarzyna Kubiak 2018).
Masyarakat Eropa tidak ingin senjata itu hanya dikontrol atau dibatasi tetapi wajib tidak boleh diproduksi sama sekali agar benar-benar merasa aman. Perjanjian itu juga adalah salah satunya perjanjian yang tidak dibatasi waktunya. Berbeda dengan perjanjian lain yang memiliki batas waktu untuk kemudian dirundingkan kembali.
Oleh sebab itu negara-negara Eropa adalah yang pertama kali khawatir ketika AS menyatakan diri untuk tidak mematuhi perjanjian tersebut. Namun demikian tidak seluruh negara Eropa satu suara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebagian negara seperti Jerman menyatakan bahwa AS tidak dapat memberikan bukti-bukti yang menyakinkan untuk menekan Rusia sehingga penting untuk kembali bernegosiasi. Di sisi lain, negara seperti Inggris dan Polandia menyarankan untuk mengambil tindakan keras karena mereka menganggap Rusia tidak akan menghormati proses negosiasi.
AS tetap bergeming dengan pendiriannya untuk memberikan ultimatum tersebut dan dalam waktu yang bersamaan Rusia mengatakan akan memproduksi senjata itu dalam waktu cepat. Negara-negara Eropa gagal untuk menyakinkan AS untuk kembali ke negosiasi agar perjanjian itu tetap berlaku dan dilanjutkan.
Salah satu alasan yang membuat AS tetap dalam pendiriannya adalah keyakinan bahwa perjanjian itu tidak relevan dengan situasi saat ini. Pasca 32 tahun perjanjian itu zaman telah berubah ditandai dengan munculnya “emerging great power rivals” seperti Tiongkok, Pakistan, Korea-Utara, India dan beberapa negara lain yang memiliki teknologi persenjataan nuklir. AS berpikir bahwa Perjanjian INF yang ditandatangani bersama Rusia telah melemahkan kemampuannya dalam menghadapi perkembangan militer terutama Tiongkok di Asia dan Pasifik Barat.Tiongkok misalnya telah membangun persenjataan balistik dan rudal jelajah jarak pendek dan menengah berbasis darat (Dong-Feng 21,Dong-Feng 4 dst) sebagai bagian dari modernisasi militernya yang lebih luas.
AS dapat mengimbangi kekuatan militer Tiongkok tersebut seandainya mereka dapat mengembangkan dan mengerahkan sistem rudal jarak menengah (intermediate-range missile systems) berbasis darat konvensional. Sayangnya pengembangan sistim persenjataan ini termasuk yang dilarang dalam perjanjian INF.
Mundurnya AS dan Rusia dari perjanjian INF bukanlah akhir cerita karena nasib perjanjian seperti New START mungkin akan mengalami nasib yang sama. Perjanjian ini akan ditandatangani pada tahun 2011 dan berakhir pada tahun 2021. Pendekatan AS yang ingin lepas dari perjanjian-perjanjian multilateral akan mengancam perdamaian dan dapat menimbulkan ketegangan. New START sendiri adalah perjanjian antara
Rusia dan AS mengenai pengurangan senjata dan amunisi nuklir.
Indonesia perlu mencermati perkembangan tersebut, khususnya mengingat peranan terbarunya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020. Tatanan keamanan internasional sampai hari masih sangat ditentukan oleh kepemilikan dan pengelolaan senjata nuklir. Apapun hasil negosiasi antara Rusia, AS dan Eropa akan berpengaruh pada tatanan keamanan global tersebut, khususnya di Asia Pasifik. Para pemilik senjata nuklir di Asia, yakni emerging great power rivals, termasuk di antaranya India, Pakistan, China dan Korea Utara pastinya akan merespons hasil negosiasi tersebut.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
Perang urat syaraf antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang berlangsung dalam dua tahun perihal Kesepakatan Intermediate-range Nuclear Forces (INF) mencapai klimaksnya minggu lalu. Presiden Donald Trump mengatakan bahwa AS menolak untuk mematuhi kesepakatan INF selama 180 hari. AS mengharapkan dalam periode tersebut Rusia dapat memenuhi tuntutan AS agar menghancurkan senjata-senjata yang dilarang diproduksi atau dikembangkan sesuai dengan kesepakatan INF. Rusia wajib mengindahkan seruan tersebut karena jika tidak AS akan keluar sama sekali dari perjanjian dan memulai mengembangkan teknologi dan peralatan senjata yang dilarang dalam perjanjian tersebut.
Ancaman tersebut merupakan buntut dari tidak selesainya perundingan terkait tuduhan AS bahwa Rusia telah melanggar perjanjian INF tersebut. Tuduhan itu pertama kali muncul di masa Pemerintahan Barack Obama ketika AS mengatakan bahwa Rusia telah menguji rudal jelajah 9M729 yang jangkauannya dilarang oleh perjanjian tersebut. Rusia saat itu juga tengah terlibat dalam konflik yang terjadi di Ukraina di tahun 2014. Salah satu wilayah negara itu, Krimea, melakukan refendum dan menyatakan diri sebagai bagian dari Rusia.Hasil itu melegitimasi keberadaan Rusia tetapi Barat mengatakan langkah itu sebagai intervensi. Rusia menolak disebut melakukan intervensi dan dituduh melanggar kesepakatan INF. Rusia meminta AS member bukti atas tuduhan tersebut.
AS dan Rusia telah berupaya menyelesaikan perselisihan tersebut lewat Special Verification Commission (SVC). Komisi ini adalah sebuah forum yang dimandatkan di dalam perjanjian ketika terjadi perselisihan kepatuhan. Upaya juga dilakukan melalui saluran diplomatik lainnya. Namun, hingga detik ini, kedua negara gagal menyepakati fakta-fakta yang disampaikan masing-masing sehingga tidak tercapai sebuah jalan keluar.
Perjanjian INF ini atau Kekuatan Nuklir Jangka Menengah ini dapat disebut sebagai salah satunya perjanjian yang secara khusus melarang pengembangan kategori senjata nuklir tertentu.
Kategori senjata yang dilarang dikembangkan adalah teknologi dan sistim senjata darat yang memiliki jangkauan antara 500 Km-5.500 Km. Perjanjian-perjanjian lain seperti Strategic Arms Limitation Talks (SALT) atau Strategic Arms Reduction Treaties (START) tidak melarang produksi dan pengembangan senjata tetapi hanya menguranginya (Heinz Gartner, 2014).
Uni-Soviet pada masa itu memproduksi dan mengerahkan RSD-10 Pioneer atau Barat menyebutnya SS-20 Sabre di wilayah mereka. Rudal ini dapat menjangkau Wilayah Eropa dalam jangka waktu 15 menit. Oleh sebab itu Perjanjian INF yang ditandatangani di tahun 1987 ini sebetulnya lebih penting bagi negara-negara Eropa yang berbatasan langsung dengan Uni-Soviet atau Rusia saat ini.
Secara teknis negara-negara Eropa sebetulnya masih dapat hancur oleh senjata nuklir jangka pendek atau jangka jauh dari Rusia tetapi secara simbolis pelarangan Senjata nuklir jarak menengah membuat Wilayah Eropa lebih aman dari serangan Rusia (Katarzyna Kubiak 2018).
Masyarakat Eropa tidak ingin senjata itu hanya dikontrol atau dibatasi tetapi wajib tidak boleh diproduksi sama sekali agar benar-benar merasa aman. Perjanjian itu juga adalah salah satunya perjanjian yang tidak dibatasi waktunya. Berbeda dengan perjanjian lain yang memiliki batas waktu untuk kemudian dirundingkan kembali.
Oleh sebab itu negara-negara Eropa adalah yang pertama kali khawatir ketika AS menyatakan diri untuk tidak mematuhi perjanjian tersebut. Namun demikian tidak seluruh negara Eropa satu suara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebagian negara seperti Jerman menyatakan bahwa AS tidak dapat memberikan bukti-bukti yang menyakinkan untuk menekan Rusia sehingga penting untuk kembali bernegosiasi. Di sisi lain, negara seperti Inggris dan Polandia menyarankan untuk mengambil tindakan keras karena mereka menganggap Rusia tidak akan menghormati proses negosiasi.
AS tetap bergeming dengan pendiriannya untuk memberikan ultimatum tersebut dan dalam waktu yang bersamaan Rusia mengatakan akan memproduksi senjata itu dalam waktu cepat. Negara-negara Eropa gagal untuk menyakinkan AS untuk kembali ke negosiasi agar perjanjian itu tetap berlaku dan dilanjutkan.
Salah satu alasan yang membuat AS tetap dalam pendiriannya adalah keyakinan bahwa perjanjian itu tidak relevan dengan situasi saat ini. Pasca 32 tahun perjanjian itu zaman telah berubah ditandai dengan munculnya “emerging great power rivals” seperti Tiongkok, Pakistan, Korea-Utara, India dan beberapa negara lain yang memiliki teknologi persenjataan nuklir. AS berpikir bahwa Perjanjian INF yang ditandatangani bersama Rusia telah melemahkan kemampuannya dalam menghadapi perkembangan militer terutama Tiongkok di Asia dan Pasifik Barat.Tiongkok misalnya telah membangun persenjataan balistik dan rudal jelajah jarak pendek dan menengah berbasis darat (Dong-Feng 21,Dong-Feng 4 dst) sebagai bagian dari modernisasi militernya yang lebih luas.
AS dapat mengimbangi kekuatan militer Tiongkok tersebut seandainya mereka dapat mengembangkan dan mengerahkan sistem rudal jarak menengah (intermediate-range missile systems) berbasis darat konvensional. Sayangnya pengembangan sistim persenjataan ini termasuk yang dilarang dalam perjanjian INF.
Mundurnya AS dan Rusia dari perjanjian INF bukanlah akhir cerita karena nasib perjanjian seperti New START mungkin akan mengalami nasib yang sama. Perjanjian ini akan ditandatangani pada tahun 2011 dan berakhir pada tahun 2021. Pendekatan AS yang ingin lepas dari perjanjian-perjanjian multilateral akan mengancam perdamaian dan dapat menimbulkan ketegangan. New START sendiri adalah perjanjian antara
Rusia dan AS mengenai pengurangan senjata dan amunisi nuklir.
Indonesia perlu mencermati perkembangan tersebut, khususnya mengingat peranan terbarunya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020. Tatanan keamanan internasional sampai hari masih sangat ditentukan oleh kepemilikan dan pengelolaan senjata nuklir. Apapun hasil negosiasi antara Rusia, AS dan Eropa akan berpengaruh pada tatanan keamanan global tersebut, khususnya di Asia Pasifik. Para pemilik senjata nuklir di Asia, yakni emerging great power rivals, termasuk di antaranya India, Pakistan, China dan Korea Utara pastinya akan merespons hasil negosiasi tersebut.
(rhs)