PBB dan Ijtihad Politik Yusril

Kamis, 31 Januari 2019 - 04:45 WIB
PBB dan Ijtihad Politik Yusril
PBB dan Ijtihad Politik Yusril
A A A
Busman Edyar

Kandidat Doktor Pascasarjana UIN Jakarta

SEKALIPUN berbeda dengan rekomendasi Majelis Syura, DPP Partai Bulan Bintang tetap memutuskan mendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) Jokowi-Ma’ruf Amin. Putusan ini tidaklah serta-merta. Jauh-jauh hari, Yusril Ihza Mahendra (ketua umum PBB) sudah memperlihatkan sinyal arah dukungan. Tidak berakomodasinya Yusril dalam tim sukses Prabowo Subianto-Sandiaga Uno merupakan pertanda awal kalau Yusril (PBB) akan merapat ke kubu petahana.

Hal ini tambah benderang ketika dia memilih menjadi kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf sejak awal November 2018. Pernyataannya tidak menjadi tim kampanye Jokowi-Ma’ruf saat itu, jelas sekadar untuk meredam resistensi pengurus PBB lainnya plus Majelis Syura. Dengan kata lain, pemukulan gong keberpihakan memang tinggal menunggu waktu.

Ijtihad Politik

Sebenarnya pilihan bergabung dengan capres manapun tidak ada persoalan. Toh, setiap parpol bebas melakukan ijtihad politik untuk menentukan arah koalisi yang diinginkan partainya. Barang kali membuat publik syok adalah pilihan PBB yang di luar kelaziman, baik dari sisi historis maupun ideologis.

Secara historis, PBB yang merupakan reinkarnasi Masyumi dengan ideologi Islam, amatlah sulit bersatu dengan PDIP (representasi PNI besutan Sukarno) yang berideologi nasionalis-sekuler. Mulai dari era Sukarno sampai dengan era Reformasi, dua partai ini bagaikan minyak dan air yang sulit menyatu. Bahkan sepanjang pemilu masa reformasi, koalisi yang dibangun PDIP tidak pernah satu suara dengan PBB.

Dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999 misalnya, PBB bergabung dengan Poros Tengah yang digalang Amin Rais mengusung Abdurahman Wahid sebagai presiden. Sementara itu, PDIP yang memenangkan pemilu saat itu hanya mampu menempatkan Megawati sebagai wakil presiden.

Kemudian pada Pemilu 2004, PBB mendukung capres Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Sedangkan PDIP mengusung pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Pemilu ini dimenangkan SBY-JK pada putaran kedua dengan perolehan 69.266.350 suara (60,62%) berbanding 44.990.704 (39,38%). Adapun pada Pemilu 2009, PBB bergabung dengan Partai Demokrat, PAN, dan PKS mencalonkan SBY-Budiono. Sedangkan PDIP bersama Gerindra mengusung Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Pada pemilu itu, SBY kembali sukses mengungguli Megawati dengan perolehan suara 73.874.562 (60,80%) berbanding 32.548.105 (26,79%). Terakhir, pada pemilu 2014, PBB ikut mengusung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa bersama Gerindra, PAN, PKS, dan Golkar, menghadapi pasangan Jokowi-JK yang diusung PDIP, PKB, NasDem, dan Hanura. Pemilu 2014 dimenangkan pasangan Jokowi-JK dengan perolehan suara 70.997.833 (53,15%) suara berbanding 62.576.444 (46,85%) suara.

Lantas kenapa pada Pemilu 2019 ini PBB berubah haluan dengan berbalik mendukung Jokowi yang notabene kader PDIP? Sepertinya ada dua kemungkinan; pertama, ini sebagai upaya “puputan” Yusril untuk mempertahankan PBB agar tetap eksis di ranah politik nasional. Dari beberapa pemilu yang diikutinya, perolehan suara (kursi) PBB cenderung menurun. Pada Pemilu 1999 misalnya, sekalipun bersaing dengan sesama partai Masyumi lainnya, seperti Partai Masyarakat Umat Muslimin Indonesia (Masyumi Baru) dan Partai Politik Islam Masyumi (PPIM), PBB masih memperoleh 2.049.708 suara dengan 13 kursi di DPR (2,6%). Pada Pemilu 2004, jumlah suara sedikit naik (2.965.040 suara) namun jumlah kursi di DPR turun menjadi 11 (2,62%). Kemudian pada Pemilu 2009, PBB hanya memperoleh 1.864.642 1,79 (1,79%) suara dan gagal menempatkan wakilnya di parlemen.

Setali tiga uang pada Pemilu 2014, perolehan suara PBB sedikit turun menjadi 1.825.750 (1,46%) suara, tanpa wakil juga di DPR. Menurunnya suara PBB ini memang di luar ekspektasi. Mengingat pendahulunya (Masyumi) saat Pemilu 1955 dulu memiliki 112 kursi (20,59%) hampir setara dengan perolehan kursi PNI (119 kursi atau 23,97%). Bahkan ketika terjadi perdebatan panjang tentang relasi Islam-Negara di Majelis Konstituante (1955–1959), Masyumi menjadi lokomotif partai-partai Islam saat itu (Nahdlatul Ulama, PSII, dan Perti) menghadapi partai-partai nasionalis, seperti PNI, PKI, Parkindo, Partai Katolik, PSI, dan IPKI (Endang Syaifuddin Anshari, 2001).

Kestagnanan perolehan suara inilah jadi PR serius bagi Yusril selaku ketua umum PBB. Berharap pada suara muslim yang ada saat ini tentu berpotensi stagnan juga atau malah berambah mundur nantinya. Padahal perebutan suara muslim di Tanah Air semakin ketat dalam kondisi sudah terkavling pada parpol tertentu. Suara Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, mayoritas akan berlabuh ke PKB atau PPP, sedangkan Muhammadiyah ke PAN.

Adapun PKS memiliki jaringan dakwah dan tarbawi. Sisa dari inilah yang selama ini jadi milik PBB. Itu pun harus berebut dengan partai nasionalis lainnya yang terus berupaya mengakomodasi suara muslim lewat organisasi sayapnya. Sebagai contoh Partai Demokrat memiliki Majelis Zikir, PDIP dengan Baitul Mukminin, dan Partai Golkar dengan Majelis Dakwah Islamiyah (MDI). Organisasi sayap ini jelas akan menjadi mesin politik yang terus bergerak meraup suara muslim.

Tantangan di atas semakin berat ketika melihat perubahan orientasi politik umat Islam terhadap parpol Islam yang terus mencair. Deideologisasi (sekulerisasi politik) yang dipaksakan pada masa Orde Baru telah mengubah orientasi politik ini sehingga tidak lagi mengidentikkan partai dengan Islam. Selain itu, sekulerisasi politik Orba juga mencairkan makna sejumlah konsep kunci, seperti “umat Islam”, “pemimpin Islam”, “cendekiawan muslim”, dan lainnya. Kalau masa sebelumnya istilah “pemimpin Islam ataupun cendekiawan muslim” terbatas pada mereka yang berasal dari partai Islam, kalangan santri, atau organisasi Islam lainnya.

Sekarang mereka yang bukan berasal dari organisasi Islam, tetapi memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan Islam, tetap dipandang pula sebagai pemimpin dan tokoh Islam. Pada satu sisi, pencairan konsep-konsep kunci tersebut membuka spektrum lebih luas bagi pencapaian aspirasi politik dan kultural umat Islam (Azumardi Azra, 2000), namun pada sisi lain akan jadi kuburan bagi sebagian parpol Islam.

Tampaknya psikososial politik seperti inilah yang coba diurai PBB dengan berjudi (melakukan apa yang dilakukan partai nasionalis).

Bisa jadi dengan mendukung sosok Jokowi dari kelompok nasionalis akan menimbulkan efek dukungan dari pemilih nasionalis juga untuk PBB. Kemungkinan ini sedikit banyak bisa diharapkan dari kalangan pemilih yang belum memastikan pilihan tentunya. Hanya saja, Yusril (PBB) tentu akan bersaing lagi dengan partai nasionalis lainnya.

Asumsi kedua, adalah kebalikan dari asumsi pertama karena perubahan sikap ini sebagai indikator kalau Yusril lempar handuk (apatis) dengan masa depan partainya pada Pemilu 2019. Tingginya persentase parliamentary threshold yang sampai 4%, jelas sangat menyulitkan bagi PBB. Alih-alih memenuhi ambang batas 4%, capaian tertinggi PBB dalam beberapa pemilu hanyalah 2,62% (2004). Karena itu, bergabung dengan capres Jokowi-Ma’ruf diharapkan bisa memperbaiki citra partai untuk Pemilu 2024 nanti (itu juga sekiranya pasangan ini menang kemudian Yusril mendapat salah satu jabatan publik). Selain itu, pilihan bergabung akan membuka ruang lebih besar bagi ketua umum PBB untuk tetap eksis di dunia politik.Seperti kata kaidah ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (apa yang tidak mungkin didapat secara utuh, bukan berarti ditinggalkan secara seluruh). Ibaratnya, Yusril akan terkayuh biduk ke hilir walaupun partainya saat ini menuju mudik di tengah badai. Ala kulli hal, ini hanyalah sebuah ijtihad politik seorang Yusril bersama PBB yang bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Wallahu alam bi al-shawab.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7943 seconds (0.1#10.140)