Pilpres dan Realisme Politik Thucydides

Sabtu, 19 Januari 2019 - 08:30 WIB
Pilpres dan Realisme...
Pilpres dan Realisme Politik Thucydides
A A A
Asrudin Azwar
Pengamat Hubungan Internasional dari The Asrudian Center

Pada 14 Januari 2019, calon presiden Prabowo Subianto menyampaikan pi­dato kebangsaannya yang ber­tajuk “Indonesia Menang”. Pidato yang terbilang tegas itu disambut dengan gegap-gempita oleh ribuan pendukungnya yang memadati Plennary Hall Jakarta Convention Center, Jakarta.

Dalam pidato yang hampir satu setengah jam itu, Prabowo menyinggung banyak hal, antara lain persoalan ekonomi, politik, hukum, militer, nasionalisme, keulamaan. Namun dari semua isu yang dikupas dalam pidatonya itu, hemat saya ada satu hal menarik yang bisa dikaji lebih lanjut, yakni kutipan Prabowo atas pendekatan realisme politik Thucydides. Ini kali kedua Prabowo mengutip Thucydides dalam pidatonya. Sebelumnya Prabowo juga pernah mengutipnya pada acara Conference on Indonesian Foreign Policy di The Kasablanka, Jakarta Selatan, (21 Oktober 2017 lalu).

Bukan tidak mungkin, pendekatan realisme politik ala Thucydides inilah yang akan kembali disampaikan oleh Prabowo dalam debat keempat khusus dua capres, dengan tema ’Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan/Keamanan, dan Hubungan Internasional’, pada 30 Maret mendatang.

Realisme Politik Thucydides
Bagi para pengkaji sejarah, militer, dan politik internasional, nama Thucydides tentu tidak asing lagi. Thucydides menjadi sangat tersohor karena bukunya yang sangat tebal dan sering dikutip, berjudul History of the Peloponnesian War--sebuah perang destruktif antara Athena dan Sparta (4 April 431-25 April 404 SM).

Untuk itu, pengutipan atas pendekatan realisme politik Thucydides yang dilakukan oleh Prabowo sebagai seorang mantan militer adalah lumrah.
Prabowo dalam pidatonya mengutip salah satu episode terkenal dari Perang Peloponnesia. Episode ini dikenal dengan sebutan The Melian Dialogue, di mana Athena yang jauh lebih kuat mengirim utusan ke Melos, “negara” yang jauh lebih kecil, untuk memintanya tunduk secara sukarela pada Athena atau diancam akan mengalami penghancuran (Vermonte, 2006).

Menyikapi ancaman Athena, orang-orang Melos kemudian bertanya bagaimana Athena bisa merasa memiliki hak untuk menguasai negerinya. Ini jawaban orang Athena yang lebih kuat dari mereka itu: “Since you know as well as we do that right, as the world goes, is only in question between equals in power, while the strong do what they can and the weak suffer what they must.” Sejarah menyebutkan bahwa Melos menolak tunduk sukarela, akhirnya dihancurkan dan toh harus tunduk pula pada Athena yang perkasa. Paragraf dari utusan Athena itulah yang menjadi basis pemikiran realisme Thucydides (Vermonte, 2006).

Menurut Thucydides, realisme adalah suatu situasi politik di mana hubungan antara negara-kota selalu didasari oleh keinginan untuk berkuasa ketimbang bekerja sama. Menariknya, cara pandang realisme politik Thucydides ini kemudian diadopsi oleh para teoretikus hubungan internasional dan pembuat ke­bijakan luar negeri di Amerika.

Teks-teks hubungan internasional di awal Perang Dingin, misalnya, sering kali mendapat inspirasi dari karya Thucydides. Sebabnya adalah karena perseteruan antara Athena-Sparta dinilai begitu menyerupai dengan perseteruan antara Amerika Serikat-Uni Soviet di masa Perang Dingin. Teorisi-teorisi realis kontemporer seperti Kenneth Waltz dan Robert Gilpin menegaskan bahwa dunia Hellenik (Yunani) dan khususnya hubungan antara Athena dan Sparta, seperti yang telah dijelaskan oleh Thucydides, memberikan suatu alegori bagi periode bipolarisasi Perang Dingin.

Narasi Politik Prabowo
Apabila merujuk pada kutipan Prabowo dalam Dialog Melian di atas maka dapat dihipotesakan bahwa Prabowo adalah seorang realisme politik. Dengan mengadopsi pendekatan realisme politik Thucydides, bisa ditafsirkan bahwa Prabowo ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat, bukan negara yang lemah di tengah persaingan antarbangsa yang keras.

Oleh karena itulah, dalam pidatonya Prabowo menyinggung kondisi-kondisi bangsa saat ini yang bisa melemahkan Indonesia, seperti banyak rumah sakit yang menolak pasien BPJS karena belum mendapat bayaran sekian bulan, dan terpaksa mengurangi mutu layanan; beban utang negara yang terus bertambah; BUMN-BUMN (Pertamina, PLN, dan Krakatau Steel) yang mestinya bisa menopang pembangunan Indonesia, kini sedang dalam kesulitan; mengenai masih adanya warga negara yang menderita kelaparan, dll.

Prabowo yang kemudian menyindir situasi bangsa ini sebagai “Paradoks Indonesia” mengingatkan apakah negara yang tidak mampu membayar rumah sakit, yang tidak mampu menjamin makan untuk rakyatnya, yang tidak mampu punya militer yang kuat, dapat bertahan 1.000 tahun? Apakah negara yang cadangan BBM nasionalnya hanya kuat untuk 20 hari, yang cadangan berasnya kurang dari 3 juta ton, dapat bertahan jika ada serangan, atau krisis keamanan?

Merespons kondisi-kondisi tersebut, Prabowo menawarkan visi-misinya untuk bisa menjadikan “Indonesia Menang” dan unggul. Visi-misi itu akan dijalankan Prabowo melalui lima program kerja nasional: mewujudkan ekonomi yang mengutamakan rakyat, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial, memastikan keadilan hukum dan menjalankan demokrasi yang berkualitas, menjadikan Indonesia rumah yang aman/ nyaman bagi seluruh rakyat Indonesia, dan membuat penguatan karakter/ kepribadian bangsa.

Relevansi
Kita tentu saja boleh bersepakat atau tidak atas visi-misi Prabowo dalam menyikapi dunia yang realis. Namun, pendekatan realisme politik Prabowo ini tetap perlu untuk dipertanyakan relevansinya karena dua alasan penting.

Pertama, realisme politik adalah pendekatan yang memandang dunia akan selalu berada dalam keadaan konfliktual. Tetapi ini adalah dunia di masa Perang Dingin. Sekarang zaman telah berubah, Meski peperangan masih saja terjadi, kerja sama antar­negara juga mewarnai corak hubungan internasional. Di sini Prabowo tampaknya melupakan salah satu unsur penting Politik Bebas Aktif Indonesia, yaitu hidup berdampingan secara damai, bertetangga baik (good neighbour­hood), dan kerja sama yang saling menguntungkan satu sama lain.

Kedua, mengakui pendekatan realisme politik berarti Prabowo mengamini pandangan yang menyebutkan negara terkuatlah yang berhak berkuasa. Efek dari pandangan ini hanya akan membuat negara terkuat bertindak sewenang-wenang demi meraih kepentingan nasionalnya dan mengorbankan negara-negara lain yang jauh lebih lemah. Dengan begitu, kolonialisme dan imperialisme Barat terhadap Timur mendapatkan legitimasinya. Padahal, dasar perjuangan dari politik bebas aktif Indonesia adalah menentang kolonialisme, imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Kesimpulannya, realisme politik Prabowo bukanlah pendekatan yang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. Jika Prabowo ingin tampil apik pada debat keempat, ia sepertinya perlu berpikir ulang untuk menjadikan pendekatan realisme politik Thucydi­des ini sebagai senjata teoretik/praktiknya dalam melawan Jokowi.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6901 seconds (0.1#10.140)