Debat yang (Tidak) Formalistis

Kamis, 17 Januari 2019 - 08:15 WIB
Debat yang (Tidak) Formalistis
Debat yang (Tidak) Formalistis
A A A
Abdul Mu’ti
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

PERHELATAN Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 memasuki tahap krusial dan kritikal. Mulai Kamis 17 Januari, calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) akan berdebat di muka publik. Idealnya, debat capres selain merupakan proses sosialisasi visi, misi, program, dan kecakapan, juga merupakan edukasi publik bagaimana berdemokrasi yang baik, berbudaya, dan berkeadaban.

Formalitas

Akan tetapi, debat ideal tampaknya sulit terwujud. Meskipun sangat penting, publik seperti skeptis, kurang gereget, dan tidak terlalu bergairah. Faktor pertama terkait dengan capres itu sendiri. Masyarakat sesungguhnya kecewa dengan pilpres yang hanya menampilkan dua figur capres.

Sebagian masyarakat merasa di-faith a comply oleh partai politik yang hanya mengusung capres Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto (Prabowo). Ibarat sepak bola, pertemuan Jokowi dan Prabowo bisa seperti partai el classico antara Real Madrid dan Barcelona atau derby antara Manchester United dan Manchester City, tetapi tampaknya hal itu tidak akan terjadi.

Sebagian kalangan kelas menengah mendambakan capres alternatif. Munculnya nama Nurhadi-Aldo sebagai capres nomor 10 merupakan kritik sarkastis dan pesan kuat atas kekecewaan, bahkan perlawanan terhadap kedua capres. Meskipun tidak akan memboikot pilpres, mereka berpotensi menjadi kelompok Golput (golongan putih) yang menurunkan legitimasi hasil pilpres. Debat yang begitu penting itu juga tidak disiarkan oleh seluruh televisi nasional. Maknanya, debat tidak menjadi agenda utama publik.

Faktor kedua berhubungan dengan metode debat. Masyarakat sangat berharap debat capres bisa menampilkan perdebatan berkelas yang menunjukkan kemampuan dan penguasaan capres atas visi, misi, dan programnya. Tetapi, hal itu kemungkinan besar tidak terjadi karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah “membocorkan” kisi-kisi pertanyaan.

Banyak pihak, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, menilai metode ini menurunkan kualitas debat. Penyampaian kisi-kisi pertanyaan sebelum debat mencerminkan ketidaksiapan calon. Lebih serius lagi, bisa menciptakan opini bahwa jawaban disiapkan oleh tim kampanye dan untuk jangka panjang presiden terpilih hanyalah “wayang” yang dimainkan para dalang.

Faktor ketiga disebabkan kondisi psikologis masyarakat. Sejak beberapa bulan terakhir masyarakat sudah sangat lelah dengan polarisasi dukungan, perdebatan, dan kontroversi yang cenderung kontraproduktif, khususnya di media sosial. Bagi sebagian masyarakat, debat capres hanya akan meningkatkan ketegangan, kegaduhan, dan kekisruhan, bahkan perpecahan di masyarakat. Cawapres Sandiaga Uno pernah menyampaikan kekhawatiran itu dan mengusulkan agar debat ditiadakan.

Debat yang Berkualitas

Tantangan yang harus dijawab, baik oleh KPU, kontestan, dan pemandu, adalah bagaimana menjadikan debat capres tetap menarik. Pertama, pemaparan yang berbasis data akurat, kuat, dan logis. Selama ini tawaran program cenderung verbalistis, retoris, dan emosional.

Petahana mengatakan semua langkahnya benar dan berhasil melaksanakan janji dengan baik. Pihak “penantang” menilai petahana tidak melaksanakan amanah dengan baik, ingkar janji, dan tunduk pada kekuatan asing. Karena itu, data menjadi sangat penting untuk membuka perspektif publik dalam menilai materi kampanye.

Kedua, memberikan kesempatan lebih luas kepada pasangan calon untuk berdebat terbuka. Selain untuk mengeksplorasi penguasaan materi, juga bisa menjadi contoh bagaimana etika dan model perdebatan yang santun serta berkualitas. Namun, terjadi selama ini adalah debat kusir yang miskin substansi dan apresiasi.

Ketiga, netralitas KPU dan pemandu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU memiliki tugas berat untuk membuktikan netralitas dan profesionalisme. Hal tidak ringan berada di pundak pemandu sebagai pengatur lalu lintas dan ritme perdebatan sehingga tetap menarik dan on the track. Di tengah tuduhan kecurangan dan pemihakan KPU untuk kemenangan petahana, debat capres menjadi momentum bagi KPU menjawab berbagai keraguan.

Tidak kalah penting adalah bagaimana agar pendukung masing-masing calon bisa menjaga situasi yang kondusif. Konten media sosial dapat dimanfaatkan untuk membangun sikap kritis dan diskusi yang beradab. Debat bukankah semata formalitas, tetapi tahapan sangat penting dalam menentukan pilihan. Terlalu mahal jika debat capres ini terlewatkan hanya karena antipati terhadap capres dan penyajian yang mungkin tidak menarik.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8056 seconds (0.1#10.140)