Formulasi Diplomasi Rohingnya untuk Capres

Rabu, 16 Januari 2019 - 07:34 WIB
Formulasi Diplomasi Rohingnya untuk Capres
Formulasi Diplomasi Rohingnya untuk Capres
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

INDONESIA berkesempatan emas dalam melakukan diplomasi yang lebih intensif lagi untuk mengurangi penderitaan etnis Rohingnya di tahun 2019 ini. Kesempatan itu terutama karena sejak bulan Januari ini Indonesia menjalankan perannya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2021.

Pada kesempatan yang sama, Dewan Hak Asasi Manusia PBB juga memberikan mandat luas kepada diplomat senior Indonesia, Marzuki Darusman, untuk memimpin tim pencari fakta independen PBB untuk Myanmar. Dua posisi tersebut diharapkan dapat melengkapi peran Indonesia dalam Komisi HAM ASEAN (AICHR) dalam masa keketuaan Thailand di ASEAN pada 2019.

Tiga posisi diplomasi internasional tersebut memiliki mekanisme pengambil keputusan yang berbeda-beda, terutama dalam mendesak dan menyelesaikan suatu perkara. Keputusan Dewan Keamanan PBB bergantung pada suara lima negara anggota tetap: Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, China, dan Rusia.

Meskipun keseluruhan Dewan Keamanan PBB, termasuk anggota tidak tetapnya yang saat ini adalah Indonesia, mengidentifikasi ada ancaman global tidak serta-merta bisa muncul imbauan, teguran, atau sanksi terhadap negara tertentu. Satu suara saja dari lima negara itu tidak menyetujui sebuah rancangan resolusi, maka ide itu gugur.

Proses yang berbeda terjadi di Dewan HAM PBB yang bisa menunjuk tim independen untuk mencari fakta. Dewan ini dapat mengeluarkan sebuah resolusi dengan melalui pengambilan suara terbanyak.Sebab itu, banyak resolusi yang mengecam Israel dapat dikeluarkan walaupun mendapat protes dari AS dan sekutunya. Hal itu yang menyebabkan AS akhirnya keluar dari Dewan HAM PBB di bulan Juni 2018.
Mekanisme yang paling rumit dan panjang terjadi di dalam Komisi HAM ASEAN karena sebuah keputusan harus melibatkan konsensus dari 10 negara anggota. Satu suara saja yang tidak menyepakati, maka sebuah keputusan atas nama AICHR tidak akan menjadi kenyataan seperti di Dewan Keamanan. Bahkan, untuk dapat suatu isu dibahas dalam rapat Komisi HAM ASEAN, perlu persetujuan 10 negara.

Perbedaan mekanisme pengambilan keputusan itu mungkin sebuah kondisi yang jauh dari sempurna untuk dapat menyelesaikan masalah Rohingnya. Para diplomat di masing-masing lembaga juga dituntut untuk bertindak profesional sesuai dengan mandatnya.

Para diplomat yang bekerja bertanggung jawab dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang sudah digariskan karena setiap lembaga memiliki dasar filosofis yang tidak sama. Tidak etis apabila proses yang terjadi di salah satu lembaga diketahui lembaga lain sehingga menimbulkan ketidakpercayaan dari negara-negara lain.

Sebab itu, penting untuk merumuskan bersama kerangka kerja sama di tingkat negara sehingga manuver atau opsi-opsi yang diambil para diplomat di lini mana pun tidak menyalahi prosedur dan menurunkan kredibilitas Indonesia di mata dunia.

Salah satu hal yang dapat disepakati adalah pendekatan terhadap masalah. Indonesia dalam sejarahnya berpegang kepada politik noninteferen atau tidak mau ikut campur urusan dalam negeri sebuah negara yang berdaulat.

Konsekuensi dari pendekatan ini adalah mengupayakan perubahan melalui serangkaian dialog terus-menerus yang berkelanjutan kepada semua pihak yang terkait dengan masalah Rohingnya seperti Pemerintah Myanmar, Bangladesh, dan negara-negara lain “penerima” pengungsi Rohingnya.

Pendekatan semacam ini membutuhkan daya tawar yang tinggi dan kuat karena akan berhadapan dengan negara-negara lain yang memiliki kepentingan atau jalan keluar yang berbeda dari apa yang ditawarkan Indonesia. Indonesia saat ini dalam kasus Rohingnya mendorong Pemerintah Myanmar untuk menindaklanjuti laporan yang berjudul “Towards a Peaceful, Fair, and Prosperous Future for the People of Rakhine”.

Laporan ini adalah sebuah investigasi yang dipimpin oleh Kofi Annan. Laporan itu adalah kerja sama dengan pejabat pemerintahan Myanmar dan tokoh sipil lain untuk meneliti akar masalah yang terjadi di Rakhine State, wilayah di mana sebagian besar etnis Rohingnya berdomisili.

Tidak semua negara memiliki pandangan yang sama dengan Indonesia. Sebagian besar negara-negara tersebut memiliki pendekatan yang mewakili kepentingan ekonomi-politiknya sendiri. Keadaan itu menuntut Indonesia juga harus melakukan pendekatan kepada negara-negara tersebut agar mereka dapat memahami dan mendukung jalan keluar yang kita tawarkan.

Salah satu contoh misalnya China dan Singapura. Kita mengenal China sebagai salah satu kekuatan ekonomi besar saat ini dengan proyek “Belt and Road” dan menempatkan Rakhine State sebagai titik penting untuk menghubungkan Daratan China dengan Benua Afrika.

Beberapa proyek yang telah dibangun bersama antara lain adalah pembangunan Pelabuhan Kyauk Pyu sebagai pelabuhan laut dalam dan Kawasan Berikat Kyauk Pyu, juga pembangunan pipa gas dari Yunan ke Rakhine State sepanjang 770 km. Kyauk Pyu direncanakan menjadi penghubung China ke Samudra Hindia yang berarti jalur alternatif untuk transportasi komoditas menuju dan keluar dari China. Alternatif dari jalur yang ada di Laut China Selatan dan Selat Malaka.

Beberapa negara lain juga aktif menjadi investor utama di Myanmar, antara lain Singapura. Singapura banyak berinvestasi di dalam industri minyak dan gas.

Negara ASEAN lain yang sudah turun berinvestasi di Myanmar adalah Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Pendekatan terhadap China dan negara-negara lain tidak bisa diabaikan karena mereka juga variabel-variabel yang dapat menghambat, tetapi juga dapat memudahkan jalan keluar bagi masalah di Rohingnya.

Pengalaman saya terlibat dalam AICHR selama tiga tahun lalu memberikan pandangan bahwa di satu sisi sejumlah elemen Pemerintah Myanmar sebetulnya ingin bergerak maju mengatasi masalah Rohingnya dan di Rakhine State, tetapi di sisi lain sebagian negara ASEAN yang memiliki kepentingan di Myanmar tidak memberikan insentif, baik ekonomi atau politik, untuk Myanmar. Hal ini menyebabkan terjadi status-quo atas masalah Rohingnya.

Karena Pemerintah Indonesia punya sejarah panjang dengan Myanmar, termasuk dengan memberi kepercayaan besar pada Pemerintah Myanmar untuk menjadi bagian dari ASEAN dan untuk secara bertahap membenahi kondisi di dalam negerinya, maka prinsip untuk berdialog dengan Myanmar ini perlu sejalan juga dengan peran Indonesia di kawasan dan dunia.

Yang berkejaran dengan waktu adalah menancapkan pengaruh Indonesia di saat Myanmar sedang menimbang-nimbang model demokrasi dan pemerintahan seperti apa yang akan ia tempuh lebih lanjut. Semoga kontestan pilpres memiliki formula bagaimana menyinergikan diplomasi Indonesia di segala lini ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.1083 seconds (0.1#10.140)