Bauran Kebijakan dan Industri 4.0
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
MENGHADAPI era globalisasi yang kian tidak terbatas, perkembangan pembangunan di suatu negara turut semakin terikat dengan dampak kebijakan di negara lain.
Fenomena ini menghadirkan berbagai ketidakpastian dan nyaris tidak ada lagi negara yang mampu bergerak independen. Untuk itu diperlukan intervensi pemerintah yang tepat dan akurat serta proprosional (tidak terlalu besar atau kecil) untuk mengimbangi dinamika global.
Mengingat pergerakan perekonomian global semakin dinamis, kebijakan pemerintah pun hendaknya mengandung fleksibilitas yang tinggi. Selain itu dibutuhkan momentum yang tepat agar kebijakannya bisa bertindak secara akurat.
Pemerintah dituntut mampu menjalankan tiga peran sekaligus, yakni tindakan preventif (mencegah), promotif (mengangkat), dan kuratif (menyembuhkan), yang semuanya tergantung dengan kondisi di dalam lingkup internalnya (negara).
Permasalahan yang ada saat ini sebenarnya tidak bisa hanya berkutat pada aspek ekonomi, sosial, dan masalah-masalah teknis lainnya secara parsial. Seiring meningkatnya persaingan dan dinamika pasar, isu-isu birokrasi turut terseret dalam kubangan yang sama.
Hal ini menandakan betapa pentingnya setiap tantangan dan permasalahan yang ada untuk dituntaskan secara bersama. Mekanisme pasar membutuhkan gerak yang harmonis antarlini ekonomi baik secara sektoral maupun secara spasial (ruang lingkup). Dari sisi pemangku kebijakan pun semakin dituntut untuk mampu bertindak secara kolaboratif baik dari sisi fiskal maupun moneter.
Semuanya itu yang saat ini dikenal sebagai bauran kebijakan atau policy mix. Banyak pihak yang menilai bahwa bauran kebijakan sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan stabilitas pembangunan.
Mengapa bauran kebijakan itu penting? Pertama, banyak kebijakan yang memiliki muara yang sama kendati disusun oleh pihak-pihak yang berbeda. Misalnya target inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter dan pemerintah selaku otoritas fiskal di Indonesia sama-sama memiliki kepentingan yang identik dalam hal pengendalian tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Namun keduanya memiliki ranah urusan rumah tangga masing-masing sehingga sangat rawan memiliki kebijakan yang bertubrukan.
Oleh karena itu bauran kebijakan dibutuhkan untuk menghindari mispersepsi di tengah dinamika ekonomi. Misalnya di kala perekonomian domestik tengah lesu, biasanya BI dan pemerintah akan “berduel” untuk mengakomodasi kepentingan utama dari wewenang yang diembannya.
Pada saat kondisi seperti ini, BI biasanya akan menggenjot tingkat suku bunganya agar kinerja sektor keuangan bisa tetap progresif melalui kenaikan cadangan depositonya. Namun konsekuensinya biasanya akan turut berdampak pada peningkatan suku bunga kredit perbankan.
Di sisi yang lain pemerintah justru ingin bertindak sebaliknya dengan penurunan tingkat suku bunga kredit agar pengeluaran untuk produksi/konsumsi tidak cukup membebani kantong keuangan masyarakat. Dengan begitu pasar akan bergerak lebih progresif lagi dan berpeluang meningkatkan hasil secara makroekonomi.
Nah, bayangkan saja jika BI dan pemerintah tidak duduk dalam satu meja. Kedua pihak akan menciptakan kebingungan dan kegelisahan bagi masyarakat. Karena di satu sisi pemerintah ingin masyarakat bisa terus melaju melalui produk kredit investasi dan konsumsi, tetapi “ditahan” BI yang ingin pasar keuangannya tetap tumbuh dan mengecilkan risiko krisis keuangan.
Alasan kedua, mengapa bauran kebijakan itu penting, adalah mengingat semakin banyaknya negara yang ingin memacu produktivitas domestik dan mengurangi ketergantungan eksternal (dari negara lain). Globalisasi dalam perspektif tertentu tampaknya “gagal” mengendalikan egosentrisme serta kurang efektif menjalankan semangat gotong-royong dan sharing the benefits yang dibangun melalui teori keunggulan komparatif/kompetitif antarnegara.
Pandangan tersebut disadur dari beberapa kejadian terakhir yang sumbernya berasal dari “ketamakan” sebuah negara untuk mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan cara apa pun. Semuanya ingin berdiri sebagai penguasa dan mulai melupakan tujuan untuk dapat maju bersama hingga pada akhirnya muncullah beberapa episode trade war antarnegara.
Hampir setiap negara menginginkan semua sumber daya ekonomi bisa disediakan dan dikelola secara mandiri. Pandangan ini secara normatif memang tidak keliru. Nah, persoalan akan muncul jika kemandirian ini terkesan dipaksakan dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang kurang berkeadilan (atau bahkan menindas/memperdaya).
Sebagai contoh kebijakan yang dirumuskan Pemerintah Amerika Serikat yang berusaha melindungi produk lokalnya dengan menerapkan tarif impor yang tinggi untuk produk-produk sejenis dari China. Dalam kacamata normatif memang tidak sepenuhnya salah karena ada terselubung niat untuk menjaga kepentingan domestiknya.
Tapi dengan hasil yang kurang mengenakkan bagi negara lain (tidak hanya China, melainkan negara secara global), hal itu menandakan bahwa dalam kebijakan tersebut ada unsur yang “keliru” atau “egois”.
Alhasil kita berulang kali merasakan betapa beratnya berada dalam ketidakpastian global. Andaikata kebijakan serupa diadopsi banyak negara, apa yang akan terjadi kemudian?
Dunia akan semakin sesak dengan peperangan (dagang) dan pertumbuhan global akan terus mengalami perlambatan. Akan tetapi ada hikmah juga di balik itu semua.
Kini kita semakin sadar bahwa kemandirian ekonomi juga penting. Namun silaturahmi antarnegara tetap harus berjalan karena belum tentu kita bisa menyediakan seluruh kebutuhan domestik dan mengelola sumber daya ekonomi secara 100%. Jadi simbiosis mutualisme tetap perlu dijaga baik untuk kepentingan produksi, konsumsi maupun pemasaran.
Poin dari alasan kedua itu adalah munculnya ide untuk meningkatkan kemandirian. Kini setiap negara berjuang agar pertumbuhannya bisa tetap progresif dan stabil.
Kita sendiri juga perlu memperjuangkan kemandirian agar tidak selalu menjadi korban ketika pasar global mulai gonjang-ganjing. Caranya adalah dengan mengoptimalkan potensi yang ada dan merekayasa kebutuhan yang belum tersedia.
Ide substitusi impor turut terkandung di dalamnya mengingat perekonomian memiliki banyak jenjang di dalam pengelolaannya (mulai penyediaan bahan baku, produksi hingga pemasaran). Maka secara otomatis perlu diinventarisasi sektor apa saja yang bisa dilibatkan dan tahap mana yang perlu kinerjanya ditingkatkan. Semua pihak perlu dikoneksikan menuju kepentingan yang seragam.
Misalnya untuk kepentingan peningkatan kinerja sektor pertanian, ada unsur petani, produsen bibit dan sarana produksi, jasa keuangan, pemasok/penjual, serta masyarakat selaku penampung hasil pertanian (untuk konsumsi maupun produksi/industri) sebagai pihak-pihak yang akan terlibat di dalamnya. Kita tinggal mengamati apa saja yang membuat kinerja di sektor pertanian menjadi lemah.
Apakah karena tata niaganya? Ataukah praktik prinsipal-agen yang cenderung menghapus keberdayaan? Ataukah faktor alam yang sulit dikendalikan? Atau bahkan karena faktor-faktor kelembagaan lainnya? Semua itu bisa diatasi jika kita memiliki sederet solusi yang tepat dalam setiap persoalan.
Kasus-kasus menurunnya kinerja di sektor industri kurang lebih juga demikian. Banyak kebijakan yang membuat kinerja industri kita tertekan karena besarnya biaya ekonomi (high cost economy) sehingga daya saing industri kita tidak cukup tinggi.
Selain itu faktor ketergantungan dengan bahan baku/bahan penolong dari impor yang membuat ketersediaannya relatif kurang stabil dan terjangkau. Penguatan sektor industri tidak bisa mengandalkan usaha para industrialis saja, melainkan juga dibutuhkan minimal dukungan dari sektor pendidikan dan kesehatan selaku penyedia SDM unggulan, sektor infrastruktur untuk konektivitas dan produktivitas, serta sektor perdagangan sebagai salesman. Jadi semuanya perlu dikoneksikan pada frame dan policy mix untuk mencapai goals yang sama.
Untuk menyusun bauran kebijakan yang efektif dan efisien juga dibutuhkan rumusan kebijakan yang ampuh melalui sumber data dan informasi yang akurat. Keduanya merupakan faktor penting untuk mendukung kualitas kebijakan.
Kualitas data dan sistem informasi yang tangguh akan menghasilkan kualitas dan kecepatan suatu kebijakan. Dengan demikian sangat mendesak kebutuhan teknologi dalam penyelenggaraan pembangunan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam perkembangannya saat ini, revolusi industri jilid keempat atau yang kini disebut sebagai revolusi industri 4.0 menunjukkan level yang seharusnya saat ini kita terapkan dalam seluruh aspek kehidupan, baik apakah itu dalam aktivitas sosial maupun berekonomi. Akan sangat mudah bagi pemerintah maupun pihak yang berkepentingan lainnya jika seluruh informasi ada di dalam satu meja.
Intervensi dapat segera dilakukan saat mulai timbul masalah. Misalnya di sektor apa saja, wilayah mana saja, yang membutuhkan tindakan segera. Jika semuanya bisa dirangkum secara terintegrasi, wow bayangkan betapa efisiensinya kebijakan yang akan dihasilkan. Tinggal kita persiapkan bagaimana cara untuk mampu menghasilkan itu semua. Semoga.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
MENGHADAPI era globalisasi yang kian tidak terbatas, perkembangan pembangunan di suatu negara turut semakin terikat dengan dampak kebijakan di negara lain.
Fenomena ini menghadirkan berbagai ketidakpastian dan nyaris tidak ada lagi negara yang mampu bergerak independen. Untuk itu diperlukan intervensi pemerintah yang tepat dan akurat serta proprosional (tidak terlalu besar atau kecil) untuk mengimbangi dinamika global.
Mengingat pergerakan perekonomian global semakin dinamis, kebijakan pemerintah pun hendaknya mengandung fleksibilitas yang tinggi. Selain itu dibutuhkan momentum yang tepat agar kebijakannya bisa bertindak secara akurat.
Pemerintah dituntut mampu menjalankan tiga peran sekaligus, yakni tindakan preventif (mencegah), promotif (mengangkat), dan kuratif (menyembuhkan), yang semuanya tergantung dengan kondisi di dalam lingkup internalnya (negara).
Permasalahan yang ada saat ini sebenarnya tidak bisa hanya berkutat pada aspek ekonomi, sosial, dan masalah-masalah teknis lainnya secara parsial. Seiring meningkatnya persaingan dan dinamika pasar, isu-isu birokrasi turut terseret dalam kubangan yang sama.
Hal ini menandakan betapa pentingnya setiap tantangan dan permasalahan yang ada untuk dituntaskan secara bersama. Mekanisme pasar membutuhkan gerak yang harmonis antarlini ekonomi baik secara sektoral maupun secara spasial (ruang lingkup). Dari sisi pemangku kebijakan pun semakin dituntut untuk mampu bertindak secara kolaboratif baik dari sisi fiskal maupun moneter.
Semuanya itu yang saat ini dikenal sebagai bauran kebijakan atau policy mix. Banyak pihak yang menilai bahwa bauran kebijakan sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan stabilitas pembangunan.
Mengapa bauran kebijakan itu penting? Pertama, banyak kebijakan yang memiliki muara yang sama kendati disusun oleh pihak-pihak yang berbeda. Misalnya target inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter dan pemerintah selaku otoritas fiskal di Indonesia sama-sama memiliki kepentingan yang identik dalam hal pengendalian tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Namun keduanya memiliki ranah urusan rumah tangga masing-masing sehingga sangat rawan memiliki kebijakan yang bertubrukan.
Oleh karena itu bauran kebijakan dibutuhkan untuk menghindari mispersepsi di tengah dinamika ekonomi. Misalnya di kala perekonomian domestik tengah lesu, biasanya BI dan pemerintah akan “berduel” untuk mengakomodasi kepentingan utama dari wewenang yang diembannya.
Pada saat kondisi seperti ini, BI biasanya akan menggenjot tingkat suku bunganya agar kinerja sektor keuangan bisa tetap progresif melalui kenaikan cadangan depositonya. Namun konsekuensinya biasanya akan turut berdampak pada peningkatan suku bunga kredit perbankan.
Di sisi yang lain pemerintah justru ingin bertindak sebaliknya dengan penurunan tingkat suku bunga kredit agar pengeluaran untuk produksi/konsumsi tidak cukup membebani kantong keuangan masyarakat. Dengan begitu pasar akan bergerak lebih progresif lagi dan berpeluang meningkatkan hasil secara makroekonomi.
Nah, bayangkan saja jika BI dan pemerintah tidak duduk dalam satu meja. Kedua pihak akan menciptakan kebingungan dan kegelisahan bagi masyarakat. Karena di satu sisi pemerintah ingin masyarakat bisa terus melaju melalui produk kredit investasi dan konsumsi, tetapi “ditahan” BI yang ingin pasar keuangannya tetap tumbuh dan mengecilkan risiko krisis keuangan.
Alasan kedua, mengapa bauran kebijakan itu penting, adalah mengingat semakin banyaknya negara yang ingin memacu produktivitas domestik dan mengurangi ketergantungan eksternal (dari negara lain). Globalisasi dalam perspektif tertentu tampaknya “gagal” mengendalikan egosentrisme serta kurang efektif menjalankan semangat gotong-royong dan sharing the benefits yang dibangun melalui teori keunggulan komparatif/kompetitif antarnegara.
Pandangan tersebut disadur dari beberapa kejadian terakhir yang sumbernya berasal dari “ketamakan” sebuah negara untuk mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan cara apa pun. Semuanya ingin berdiri sebagai penguasa dan mulai melupakan tujuan untuk dapat maju bersama hingga pada akhirnya muncullah beberapa episode trade war antarnegara.
Hampir setiap negara menginginkan semua sumber daya ekonomi bisa disediakan dan dikelola secara mandiri. Pandangan ini secara normatif memang tidak keliru. Nah, persoalan akan muncul jika kemandirian ini terkesan dipaksakan dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang kurang berkeadilan (atau bahkan menindas/memperdaya).
Sebagai contoh kebijakan yang dirumuskan Pemerintah Amerika Serikat yang berusaha melindungi produk lokalnya dengan menerapkan tarif impor yang tinggi untuk produk-produk sejenis dari China. Dalam kacamata normatif memang tidak sepenuhnya salah karena ada terselubung niat untuk menjaga kepentingan domestiknya.
Tapi dengan hasil yang kurang mengenakkan bagi negara lain (tidak hanya China, melainkan negara secara global), hal itu menandakan bahwa dalam kebijakan tersebut ada unsur yang “keliru” atau “egois”.
Alhasil kita berulang kali merasakan betapa beratnya berada dalam ketidakpastian global. Andaikata kebijakan serupa diadopsi banyak negara, apa yang akan terjadi kemudian?
Dunia akan semakin sesak dengan peperangan (dagang) dan pertumbuhan global akan terus mengalami perlambatan. Akan tetapi ada hikmah juga di balik itu semua.
Kini kita semakin sadar bahwa kemandirian ekonomi juga penting. Namun silaturahmi antarnegara tetap harus berjalan karena belum tentu kita bisa menyediakan seluruh kebutuhan domestik dan mengelola sumber daya ekonomi secara 100%. Jadi simbiosis mutualisme tetap perlu dijaga baik untuk kepentingan produksi, konsumsi maupun pemasaran.
Poin dari alasan kedua itu adalah munculnya ide untuk meningkatkan kemandirian. Kini setiap negara berjuang agar pertumbuhannya bisa tetap progresif dan stabil.
Kita sendiri juga perlu memperjuangkan kemandirian agar tidak selalu menjadi korban ketika pasar global mulai gonjang-ganjing. Caranya adalah dengan mengoptimalkan potensi yang ada dan merekayasa kebutuhan yang belum tersedia.
Ide substitusi impor turut terkandung di dalamnya mengingat perekonomian memiliki banyak jenjang di dalam pengelolaannya (mulai penyediaan bahan baku, produksi hingga pemasaran). Maka secara otomatis perlu diinventarisasi sektor apa saja yang bisa dilibatkan dan tahap mana yang perlu kinerjanya ditingkatkan. Semua pihak perlu dikoneksikan menuju kepentingan yang seragam.
Misalnya untuk kepentingan peningkatan kinerja sektor pertanian, ada unsur petani, produsen bibit dan sarana produksi, jasa keuangan, pemasok/penjual, serta masyarakat selaku penampung hasil pertanian (untuk konsumsi maupun produksi/industri) sebagai pihak-pihak yang akan terlibat di dalamnya. Kita tinggal mengamati apa saja yang membuat kinerja di sektor pertanian menjadi lemah.
Apakah karena tata niaganya? Ataukah praktik prinsipal-agen yang cenderung menghapus keberdayaan? Ataukah faktor alam yang sulit dikendalikan? Atau bahkan karena faktor-faktor kelembagaan lainnya? Semua itu bisa diatasi jika kita memiliki sederet solusi yang tepat dalam setiap persoalan.
Kasus-kasus menurunnya kinerja di sektor industri kurang lebih juga demikian. Banyak kebijakan yang membuat kinerja industri kita tertekan karena besarnya biaya ekonomi (high cost economy) sehingga daya saing industri kita tidak cukup tinggi.
Selain itu faktor ketergantungan dengan bahan baku/bahan penolong dari impor yang membuat ketersediaannya relatif kurang stabil dan terjangkau. Penguatan sektor industri tidak bisa mengandalkan usaha para industrialis saja, melainkan juga dibutuhkan minimal dukungan dari sektor pendidikan dan kesehatan selaku penyedia SDM unggulan, sektor infrastruktur untuk konektivitas dan produktivitas, serta sektor perdagangan sebagai salesman. Jadi semuanya perlu dikoneksikan pada frame dan policy mix untuk mencapai goals yang sama.
Untuk menyusun bauran kebijakan yang efektif dan efisien juga dibutuhkan rumusan kebijakan yang ampuh melalui sumber data dan informasi yang akurat. Keduanya merupakan faktor penting untuk mendukung kualitas kebijakan.
Kualitas data dan sistem informasi yang tangguh akan menghasilkan kualitas dan kecepatan suatu kebijakan. Dengan demikian sangat mendesak kebutuhan teknologi dalam penyelenggaraan pembangunan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam perkembangannya saat ini, revolusi industri jilid keempat atau yang kini disebut sebagai revolusi industri 4.0 menunjukkan level yang seharusnya saat ini kita terapkan dalam seluruh aspek kehidupan, baik apakah itu dalam aktivitas sosial maupun berekonomi. Akan sangat mudah bagi pemerintah maupun pihak yang berkepentingan lainnya jika seluruh informasi ada di dalam satu meja.
Intervensi dapat segera dilakukan saat mulai timbul masalah. Misalnya di sektor apa saja, wilayah mana saja, yang membutuhkan tindakan segera. Jika semuanya bisa dirangkum secara terintegrasi, wow bayangkan betapa efisiensinya kebijakan yang akan dihasilkan. Tinggal kita persiapkan bagaimana cara untuk mampu menghasilkan itu semua. Semoga.
(poe)