Teror terhadap KPK
A
A
A
Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
PUISI di atas ditulis oleh Soe Hok Gie, seorang aktivis Indonesia Tionghoa (1942-1969) yang dimuat di harian Sinar Harapan pada 18 Agustus 1973. Sengaja puisi tersebut dikutip untuk menunjukkan bahwa perlawanan terhadap bayang-bayang hitam kediktatoran termasuk korupsi, membutuhkan militansi juang dan pengorbanan yang besar. Ini tepat untuk menggambarkan realitas miris yang dialami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengeliminasi korupsi yang makin kuat “meremas” bangsa ini.
Meskipun operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat-pejabat tinggi terus gencar dilakukan oleh KPK, resistensi terhadap eliminasi korupsi juga terus mencuat. Rabu (9/1), teror bom terhadap KPK terjadi di rumah Ketua KPK Agus Rahardjo di Perumahan Graha Indah, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat dan rumah Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jalan Kalibata Selatan, Jakarta Selatan, dengan waktu yang berbeda.
Di rumah Laode terdapat bom molotov yang ditemukan oleh sopirnya, Bambang, pada pukul 05.30 WIB. Botol tersebut berbentuk seperti lampu senter yang memiliki sumbu di mana terdapat nyala api. Sedangkan untuk rumah Agus, petugas keamanan rumah menemukan benda diduga bom berupa paralon yang dibungkus menyerupai bom, yang tergeletak di depan rumah.
“Gangs of Corruptors”
Teror terhadap KPK bukan baru kali ini. Jika dilacak jejak sejak awal berdirinya KPK, belum dua tahun bekerja, komisi antirasuah ini sudah diancam bom pada Januari 2006 yang saat itu diterima oleh sekretaris komisioner KPK bertepatan dengan kasus besar yang sedang ditangani KPK pada saat itu, yakni penyuapan hakim di Mahkamah Agung. Pada 2008, teror kembali mengguncang KPK pada Februari dan November.Pada 2009, kembali terjadi lagi teror bom persisnya pada Juli. Ancaman tak hanya ditujukan di kantor KPK saja, tetapi juga pada fungsional KPK seperti terjadi pada 2015. Rumah sejumlah pegawai KPK didatangi orang yang menemui anak dan istri. Mereka meminta agar suaminya berhenti menjadi pegawai KPK.
Seorang pejabat struktural KPK di bidang penyidikan juga pernah didatangi seseorang dari instansi asalnya yang berpangkat lebih tinggi untuk meminta segera mengundurkan diri dengan ancaman data keluarganya sudah diketahui oleh pejabat tersebut. Ada pula rumah salah satu penyidik KPK yang diancam bom, bahkan mobilnya dirusaki dengan cara disiram air keras hingga cat mobil terkelupas.
Bahkan lawyer pimpinan KPK Nursyahbani Kantjsungkana pada Februari 2015 pun memperoleh pesan teror bahwa di rumahnya sudah terdapat bom yang siap meledak. Setelah Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap polisi dan dijadikan tersangka terkait kasus memerintahkan kesaksian palsu di pengadilan, pimpinan KPK lain pun mulai ikut dilaporkan ke polisi.
KPK memang sejauh ini merupakan institusi yang garang dalam menangkap koruptor, sampai-sampai ia menjadi institusi paling terkenal di masyarakat (survei LSI dan ICW 8-24 Oktober 2018). Dalam sejarah penegakan hukum khususnya yang terkait dengan OTT, harus diakui, KPK merupakan lembaga yang paling getol melakukan OTT.Pada 2013 misalnya, ada delapan OTT yang dilakukan KPK dan beberapa di antaranya merupakan kasus “Big Fishes” oleh sosok-sosok “high ranking official” seperti Akil Mochtar (ketua MK), Prof Rudi Rubiandini (ketua SKK Migas), Fathonah yang kemudian melibatkan Luthfi Hasan Ishaq (makelar dari presiden PKS), Setyabudi Tedjocahyono dan Dada Rosada (wakil ketua Pengadilan Negeri Bandung yang melibatkan Wali Kota Bandung).
Sebanyak 91 kasus ditangani KPK sejak dua tahun UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disahkan. Kasus korupsi terbanyak dilakukan oleh pemegang jabatan di legislatif dan swasta. Pada 2018 lalu KPK mencatat rekor 30 OTT dan tahun 2019 ini, 200 perkara menjadi target bidikan KPK.Tidak heran jika survei kuantitatif yang dilakukan Alvara Research Centre (20 April- 9 Mei 2018) menunjukkan adanya kepuasan publik terhadap kinerja KPK, yakni sebesar 78,8%. Meningkat 1,6% dibanding hasil survei pada Februari 2018 yakni 77,2%.
Namun yang terjadi, sejarah selalu berulang: setiap ada terobosan pengungkapan kasus besar oleh KPK, saat itu pula mulai muncul sikap resistensi dari para koruptor. Publik awam pun tahu dan sadar bahwa memberantas korupsi di republik ini seperti melempar sarang tabuhan yang selalu memicu amukan kawanan tabuhan, karena korupsi bukan saja dilakukan secara individu, namun juga secara kolektif, berjejaring, sehingga sedikit saja KPK “bergerak”, ia akan langsung berhadapan dengan solidaritas perlawanan balik para koruptor nan keji. Ada upaya grand design untuk menumpulkan taring KPK secara sistematis dan masif, mulai dari mempersoalkan dasar pembentukannya, cakupan kewenangannya, legalitas SDM-nya, stigmatisasi kelembagaan hingga kriminalisasi komisioner KPK.
Mungkin tak berlebihan ketika Tony Kwook (2015), mantan operation director of ICAC mengatakan, bahwa ada kalangan profesional tertentu yang menjadi bagian tak terpisahkan dari gangs of corruptors yang berusaha mencari-cari kelemahan untuk mendelegitimasi KPK. Bahkan, ada yang mengaitkan, getolnya KPK menangkap koruptor kelas teri dengan nilai korupsi kecil, membuat praktik korupsi sistemik di Tanah Air tak berkurang. Padahal menurut Tony, pemberantasan korupsi oleh KPK bisa maksimal jika dilakukan secara komprehensif, tidak hanya mengungkap kasus korupsi besar saja tapi juga yang kecil-kecil.
Pihak yang selama ini mengkritisi KPK semestinya paham, bahwa kerja KPK tidaklah sama dengan situasi di Singapura misalnya, yang indeks persepsi korupsinya berada di atas Indonesia, di mana masyarakat dan elitenya sudah benar-benar tertib dan sadar hukum, sehingga KPK-nya Singapura cukup hanya berfungsi sebagai watch dog, yang membelalakkan mata untuk menakuti para pejabat yang hendak korupsi (Deni, 2010).
Semakin Gigih
Contoh bagus sudah diperlihatkan KPK-nya Arab Saudi yang dipimpin Mohammed bin Salman yang beberapa waktu lalu yang menangkap sebelas pangeran dan puluhan pejabat aktif dan nonaktif di negara tersebut atas tuduhan korupsi. Hebatnya, langkah berani yang menggegerkan rakyat Saudi tersebut ditempuh oleh komisi yang baru dibentuk hitungan jam. Poinnya jelas, korupsi adalah musuh gigantis yang tidak bisa lagi disikapi dengan kelakuan teri, tetapi dengan “kerja gila”.
KPK harus terus didukung secara moral untuk menunaikan tugas mulia pemberantasan korupsi. Kita berharap teror yang dialami oleh KPK tidak meruntuhkan semangat, tapi justru semakin mengobarkan kegigihan dan konsistensi untuk menempuh “jalan sunyi” membersihkan negara ini dari perangai korupsi. Tim Kepolisian bersama Detasemen Khusus 88 Antiteror harus secepatnya mengungkap peristiwa tersebut untuk membuktikan bahwa penegakan hukum di negeri ini tidak kendur.
Adrian Little (dalam Democratic Piety: Complexity, Conflict and Violence, 2008) mengatakan bahwa korupsi, konflik, dan kekerasan selalu saling berkelindan dalam memproduksi kejahatan sistemik di sebuah negara. Ketika aspek penegakan hukumnya rendah atau lemah, sistematisasi korupsi sekaligus proses delegitimasi korupsi akan berlangsung.
Maka itu, kerja pemberantasan jelas korupsi bukan kerja anualitas, namun kerja yang membutuhkan “napas panjang”. Dan, publik termasuk pemerintah harus bersabar sembari terus menginjak gas dukungan kepada KPK seperti menambah sumber daya institusi, biaya, pengadaan teknologi canggih untuk menjamin akurasi penyidikan dan mengadvokasi, termasuk memberikan ruang selebar-lebarnya kepada masyarakat agar aktif berpartisipasi memberikan suplai informasi kasus-kasus korupsi kepada KPK.
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
PUISI di atas ditulis oleh Soe Hok Gie, seorang aktivis Indonesia Tionghoa (1942-1969) yang dimuat di harian Sinar Harapan pada 18 Agustus 1973. Sengaja puisi tersebut dikutip untuk menunjukkan bahwa perlawanan terhadap bayang-bayang hitam kediktatoran termasuk korupsi, membutuhkan militansi juang dan pengorbanan yang besar. Ini tepat untuk menggambarkan realitas miris yang dialami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengeliminasi korupsi yang makin kuat “meremas” bangsa ini.
Meskipun operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat-pejabat tinggi terus gencar dilakukan oleh KPK, resistensi terhadap eliminasi korupsi juga terus mencuat. Rabu (9/1), teror bom terhadap KPK terjadi di rumah Ketua KPK Agus Rahardjo di Perumahan Graha Indah, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat dan rumah Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jalan Kalibata Selatan, Jakarta Selatan, dengan waktu yang berbeda.
Di rumah Laode terdapat bom molotov yang ditemukan oleh sopirnya, Bambang, pada pukul 05.30 WIB. Botol tersebut berbentuk seperti lampu senter yang memiliki sumbu di mana terdapat nyala api. Sedangkan untuk rumah Agus, petugas keamanan rumah menemukan benda diduga bom berupa paralon yang dibungkus menyerupai bom, yang tergeletak di depan rumah.
“Gangs of Corruptors”
Teror terhadap KPK bukan baru kali ini. Jika dilacak jejak sejak awal berdirinya KPK, belum dua tahun bekerja, komisi antirasuah ini sudah diancam bom pada Januari 2006 yang saat itu diterima oleh sekretaris komisioner KPK bertepatan dengan kasus besar yang sedang ditangani KPK pada saat itu, yakni penyuapan hakim di Mahkamah Agung. Pada 2008, teror kembali mengguncang KPK pada Februari dan November.Pada 2009, kembali terjadi lagi teror bom persisnya pada Juli. Ancaman tak hanya ditujukan di kantor KPK saja, tetapi juga pada fungsional KPK seperti terjadi pada 2015. Rumah sejumlah pegawai KPK didatangi orang yang menemui anak dan istri. Mereka meminta agar suaminya berhenti menjadi pegawai KPK.
Seorang pejabat struktural KPK di bidang penyidikan juga pernah didatangi seseorang dari instansi asalnya yang berpangkat lebih tinggi untuk meminta segera mengundurkan diri dengan ancaman data keluarganya sudah diketahui oleh pejabat tersebut. Ada pula rumah salah satu penyidik KPK yang diancam bom, bahkan mobilnya dirusaki dengan cara disiram air keras hingga cat mobil terkelupas.
Bahkan lawyer pimpinan KPK Nursyahbani Kantjsungkana pada Februari 2015 pun memperoleh pesan teror bahwa di rumahnya sudah terdapat bom yang siap meledak. Setelah Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap polisi dan dijadikan tersangka terkait kasus memerintahkan kesaksian palsu di pengadilan, pimpinan KPK lain pun mulai ikut dilaporkan ke polisi.
KPK memang sejauh ini merupakan institusi yang garang dalam menangkap koruptor, sampai-sampai ia menjadi institusi paling terkenal di masyarakat (survei LSI dan ICW 8-24 Oktober 2018). Dalam sejarah penegakan hukum khususnya yang terkait dengan OTT, harus diakui, KPK merupakan lembaga yang paling getol melakukan OTT.Pada 2013 misalnya, ada delapan OTT yang dilakukan KPK dan beberapa di antaranya merupakan kasus “Big Fishes” oleh sosok-sosok “high ranking official” seperti Akil Mochtar (ketua MK), Prof Rudi Rubiandini (ketua SKK Migas), Fathonah yang kemudian melibatkan Luthfi Hasan Ishaq (makelar dari presiden PKS), Setyabudi Tedjocahyono dan Dada Rosada (wakil ketua Pengadilan Negeri Bandung yang melibatkan Wali Kota Bandung).
Sebanyak 91 kasus ditangani KPK sejak dua tahun UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disahkan. Kasus korupsi terbanyak dilakukan oleh pemegang jabatan di legislatif dan swasta. Pada 2018 lalu KPK mencatat rekor 30 OTT dan tahun 2019 ini, 200 perkara menjadi target bidikan KPK.Tidak heran jika survei kuantitatif yang dilakukan Alvara Research Centre (20 April- 9 Mei 2018) menunjukkan adanya kepuasan publik terhadap kinerja KPK, yakni sebesar 78,8%. Meningkat 1,6% dibanding hasil survei pada Februari 2018 yakni 77,2%.
Namun yang terjadi, sejarah selalu berulang: setiap ada terobosan pengungkapan kasus besar oleh KPK, saat itu pula mulai muncul sikap resistensi dari para koruptor. Publik awam pun tahu dan sadar bahwa memberantas korupsi di republik ini seperti melempar sarang tabuhan yang selalu memicu amukan kawanan tabuhan, karena korupsi bukan saja dilakukan secara individu, namun juga secara kolektif, berjejaring, sehingga sedikit saja KPK “bergerak”, ia akan langsung berhadapan dengan solidaritas perlawanan balik para koruptor nan keji. Ada upaya grand design untuk menumpulkan taring KPK secara sistematis dan masif, mulai dari mempersoalkan dasar pembentukannya, cakupan kewenangannya, legalitas SDM-nya, stigmatisasi kelembagaan hingga kriminalisasi komisioner KPK.
Mungkin tak berlebihan ketika Tony Kwook (2015), mantan operation director of ICAC mengatakan, bahwa ada kalangan profesional tertentu yang menjadi bagian tak terpisahkan dari gangs of corruptors yang berusaha mencari-cari kelemahan untuk mendelegitimasi KPK. Bahkan, ada yang mengaitkan, getolnya KPK menangkap koruptor kelas teri dengan nilai korupsi kecil, membuat praktik korupsi sistemik di Tanah Air tak berkurang. Padahal menurut Tony, pemberantasan korupsi oleh KPK bisa maksimal jika dilakukan secara komprehensif, tidak hanya mengungkap kasus korupsi besar saja tapi juga yang kecil-kecil.
Pihak yang selama ini mengkritisi KPK semestinya paham, bahwa kerja KPK tidaklah sama dengan situasi di Singapura misalnya, yang indeks persepsi korupsinya berada di atas Indonesia, di mana masyarakat dan elitenya sudah benar-benar tertib dan sadar hukum, sehingga KPK-nya Singapura cukup hanya berfungsi sebagai watch dog, yang membelalakkan mata untuk menakuti para pejabat yang hendak korupsi (Deni, 2010).
Semakin Gigih
Contoh bagus sudah diperlihatkan KPK-nya Arab Saudi yang dipimpin Mohammed bin Salman yang beberapa waktu lalu yang menangkap sebelas pangeran dan puluhan pejabat aktif dan nonaktif di negara tersebut atas tuduhan korupsi. Hebatnya, langkah berani yang menggegerkan rakyat Saudi tersebut ditempuh oleh komisi yang baru dibentuk hitungan jam. Poinnya jelas, korupsi adalah musuh gigantis yang tidak bisa lagi disikapi dengan kelakuan teri, tetapi dengan “kerja gila”.
KPK harus terus didukung secara moral untuk menunaikan tugas mulia pemberantasan korupsi. Kita berharap teror yang dialami oleh KPK tidak meruntuhkan semangat, tapi justru semakin mengobarkan kegigihan dan konsistensi untuk menempuh “jalan sunyi” membersihkan negara ini dari perangai korupsi. Tim Kepolisian bersama Detasemen Khusus 88 Antiteror harus secepatnya mengungkap peristiwa tersebut untuk membuktikan bahwa penegakan hukum di negeri ini tidak kendur.
Adrian Little (dalam Democratic Piety: Complexity, Conflict and Violence, 2008) mengatakan bahwa korupsi, konflik, dan kekerasan selalu saling berkelindan dalam memproduksi kejahatan sistemik di sebuah negara. Ketika aspek penegakan hukumnya rendah atau lemah, sistematisasi korupsi sekaligus proses delegitimasi korupsi akan berlangsung.
Maka itu, kerja pemberantasan jelas korupsi bukan kerja anualitas, namun kerja yang membutuhkan “napas panjang”. Dan, publik termasuk pemerintah harus bersabar sembari terus menginjak gas dukungan kepada KPK seperti menambah sumber daya institusi, biaya, pengadaan teknologi canggih untuk menjamin akurasi penyidikan dan mengadvokasi, termasuk memberikan ruang selebar-lebarnya kepada masyarakat agar aktif berpartisipasi memberikan suplai informasi kasus-kasus korupsi kepada KPK.
(whb)