Menakar Persoalan Prostitusi

Selasa, 08 Januari 2019 - 08:02 WIB
Menakar Persoalan Prostitusi
Menakar Persoalan Prostitusi
A A A
Rio Christiawan
Kriminolog, Dosen Universitas Prasetiya Mulya

BEBERAPA hari ini berita baik melalui media cetak dan media elektronik, khususnya media sosial, kembali ramai dihebohkan dengan berita Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) kembali mengungkap jaringan prostitusi yang melibatkan artis. Sebenarnya persoalan prostitusi bukan hal baru lagi, bahkan Jeane Lasale (1990), menyebut prostitusi telah ada bersamaan dengan peradaban di muka bumi ini. Ada dua masalah tertua di muka bumi ini, yakni korupsi dan prostitusi.

Meskipun prostitusi telah berumur setua peradaban, tetapi selalu saja menarik membahas persoalannya. Dalam ilmu kriminologi Gabriel Tarde (1978) menyebut, prostitusi adalah kejahatan tanpa korban (crime without victim) sehingga mengingat tiadanya korban, maka sesungguhnya di banyak negara di belahan bumi ini yang tidak memasukkan prostitusi dalam ranah hukum meskipun tidak melegalkannya juga.

Di Indonesia sendiri prostitusi diatur sebagai kejahatan. Konstruksi hukum prostitusi sendiri memang agak unik di Indonesia karena hanya dapat menjangkau “perantara” saja melalui Pasal 296 KUHP junco 506 KUHP atau jika tindak pidana tersebut dilakukan melalui media sosial seperti Instagram, maka dapat dijerat dengan UU ITE dengan ancaman hukuman lebih tinggi.

Bagi pelakunya tidak bisa dihukum sepanjang tidak mempertontonkan di muka umum, tidak ada paksaan dan tidak ada unsur kekerasan, maupun tidak diadukan oleh pasangan sahnya. Mengapa pelaku tidak bisa dihukum? Itu karena dalam konteks pidana tidak jelas siapa pelakunya dan siapa korbannya. Oleh sebab itu, dalam kriminologi prostitusi disebut sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim).

Konstruksi hukum terkait kejahatan prostitusi ini sudah pernah beberapa kali diimplementasikan di Indonesia, contoh terakhir pada 2015 dalam kasus perantara “RA” melalui putusan PN Nomor 834.B/2015/PN. Jaksel bahwa “perantara” sebagai satu-satunya orang yang dapat dijerat secara hukum. Konstruksi kejahatan prostitusi ini di Indonesia dalam penegakannya terkesan dipaksakan karena bagaimana mungkin kejahatan yang memidanakan orang yang membantu, tetapi tidak bisa menjangkau pelaku utama.

Pada akhirnya pendekatan dan penyelesaian masalah melalui jalur hukum tidak akan efektif menangani persoalan prostitusi. Prostitusi lebih pantas disebut sebagai persoalan, karena merupakan ranah persoalan sosial bukan persoalan hukum, mengingat konstruksinya dapat dikatakan tidak sempurna untuk disebut sebagai kejahatan.

Hukum dan Moralitas
Prostitusi merupakan persoalan sosial, yakni persoalan moralitas, sehingga tidak efektif jika dilakukan pendekatan hukum mengingat norma sosial dan norma hukum memiliki cara kerja berbeda. Fuller (1996) menyatakan bahwa hukum dan moral merupakan dua kutub yang berbeda meskipun terhubung satu sama lain. Actinia, dalam hal ini persoalan prostitusi harus diselesaikan dengan pendekatan moral karena sejatinya prostitusi merupakan tindakan immoral.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), immoral didefinisikan sebagai tindakan tidak bermoral yang dilakukan seseorang walaupun orang tersebut sudah mengetahui bahwa hal tersebut memang salah dan tetap melakukannya. Contoh dalam kasus prostitusi yang melibatkan artis adalah jelas merupakan immoral karena tindakan itu dilakukan dengan sadar dan memungut imbalan hingga puluhan juta rupiah meskipun pada akhirnya bersangkutan berdalih khilaf.

Dalam memahami persoalan prostitusi, immoral merupakan faktor akibat yang terjadi bila dipicu oleh faktor sebab, seperti misalnya dalam kasus yang terungkap oleh Polda Jatim. Faktor sebabnya adalah imbalan puluhan juta rupiah, maka berakhir pada faktor akibat terjadinya praktik prostitusi. Dalam konteks kriminologi sebagai ilmu yang mempelajari motif, maka motif prostitusi, baik yang melibatkan artis maupun bukan, bagi yang “menerima bayaran” motifnya adalah menerima uang dalam jumlah besar secara cepat. Sedangkan bagi “yang membayar” motifnya adalah sensasi. Kedua motif tersebut memiliki kesamaan, yakni hedonisme.

Jika prostitusi bermuara pada hedonisme, norma sosial harus berperan untuk menormalkan hubungan dua orang manusia yang sama-sama memiliki motivasi pada rasa hedon, dalam hal ini bertemunya antara seksualitas dan materi. Joseph Rawn (2000), dalam bukunya Neuropsychology and Neuropsychiatry menyebutkan hedonisme yang melibatkan seksualitas dan materi seperti prostitusi merupakan persoalan olah pikir dalam otak (mindset) sehingga fungsi dari norma sosial adalah sebagai panduan dan pedoman normalisasi perilaku sehingga tidak terjadi perilaku menyimpang.

Pendekatan moral bukan pendekatan benar dan salah, tetapi pendekatan baik dan tidak baik menurut akal budi dan hati nurani setelah melalui proses olah pikir yang “normal”. Prostitusi selalu lahir dari proses pikir yang “tidak normal”. Banyak pihak bertanya mengenai imbalan Rp80 juta rupiah, jika benar imbalan itu diterima berarti teori libido pada kriminologi memang benar adanya. Teori itu menyatakan jika libido sedang tinggi, maka akal sehat sedang tidak berfungsi. Demikianlah relasi moral, akal sehat dan prostitusi.

Pendekatan
Persoalan hukuman bagi pelaku prostitusi sudah pernah dilakukan judicial review pada Mahkamah Konstitusi (MK). Mengacu pada Putusan MK Nomor 132/PUU-III/2015, pelaku prostitusi memang tidak bisa dihukum mengingat hukum merupakan upaya terakhir (ultimum remidium) sehingga persoalan prostitusi harus diselesaikan melalui norma kemasyarakatan terlebih dahulu.

Sebagai negara beradab memang prostitusi merupakan persoalan yang harus diselesaikan dengan pendekatan tepat, tentu menyelesaikan prostitusi bukan dengan pendekatan hukum legalistik. Menangani persoalan prostitusi sama halnya dengan menangani persoalan narkoba bagi pengguna, karena dalam hal ini, pelaku adalah korban dan korban adalah pelaku. Jika akar persoalannya adalah prostitusi dan prostitusi adalah materi dan hedonisme, maka dalam hal ini perlu peran dinas sosial dan partisipasi masyarakat.

Mengingat prostitusi adalah persoalan sosial, yakni immoral, maka pendekatan dinas sosial yang diperlukan untuk memberantas dan memberi pendampingan kepada para pelaku prostitusi untuk kembali ke jalan yang benar. Karena prostitusi adalah persoalan moral, maka idealnya selain dinas sosial memberi pendampingan yang memunculkan keinsyafan.

Dinas sosial juga harus memiliki program pencegahan yang bisa diterima oleh seluruh elemen masyarakat, hal ini yang belum tampak dari dinas sosial. Kini, dinas sosial hanya berfungsi sebagai “shelter penitipan sementara” setelah razia prostitusi. Dinas sosial sebagai leading sector secara formal harus memiliki program pendampingan dan pencegahan yang menyeluruh serta menjawab akar masalah prostitusi yang terjadi.

Dalam tataran informal masyarakat juga harus berpartisipasi mengembalikan pelaku prostitusi ke jalan yang benar, bukan dengan menghakimi dan mencela, tetapi dengan menerima kembali dalam kehidupan wajar secara moral. Sebab jika masyarakat bertindak menghakimi dan mengasingkan para pelaku prostitusi, justru akan membentuk mekanis self defence dari pelaku prostitusi dan tidak akan menyelesaikan masalah.

Dampak yang diharapkan, yakni perilaku immoral yang terjadi dapat terkoreksi menjadi perilaku normal dan wajar dalam ukuran moral masyarakat sehingga perilaku normal dan wajar dari masyarakat bisa menimbulkan efek penetration pasifique, yakni memasukkan budaya yang baik untuk memengaruhi perilaku immoral menjadi memenuhi standar moral dalam masyarakat. Masyarakat secara informal memiliki peran besar dalam menyelesaikan persoalan prostitusi.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0688 seconds (0.1#10.140)