Pilpres 2019 dan Liberalisasi Khitah NU

Senin, 07 Januari 2019 - 09:00 WIB
Pilpres 2019 dan Liberalisasi...
Pilpres 2019 dan Liberalisasi Khitah NU
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

NAHDLATUL Ulama (NU) dikenal sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Tanah Air dan memiliki puluhan juta anggota yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok desa, kampung, dan dusun. Organisasi ini didirikan oleh sekelompok ulama pesantren di Surabaya pada 31 Januari 1926. Sejarah perjalanan NU secara garis besar dapat dibagi ke dalam lima kurun waktu.

Pertama, kurun waktu 1926-1945, NU murni berkiprah sebagai organisasi sosial keagamaan. Kedua, periode 1945-1952, NU bergabung secara federatif dengan partai politik (parpol) Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang saat itu disepakati para pemimpin muslim sebagai satu-satunya partai Islam. Kemudian pada 1952 NU secara resmi memutuskan keluar dari Masyumi.

Ketiga, kurun waktu 1952-1973, NU terjun dan berkiprah sebagai parpol independen. Keempat, periode 1973-1984, NU memfusikan diri ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan menyalurkan aspirasi politiknya lewat partai ini. Fusi ini terjadi karena pemerintah melaksanakan restrukturisasi politik pada 1973. Kelima, kurun waktu 1984-sekarang, NU kembali ke khitah 1926 sebagai organisasi sosial-keagamaan, meninggalkan arena dan ajang politik praktis dan tidak memiliki hubungan politik dengan parpol mana pun.

Keputusan NU kembali ke khitah 1926 diambil dalam muktamarnya pada 1984 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Situbondo, Jawa Timur. Seraya memutuskan kembali ke khitah 1926, NU juga dalam muktamar tersebut menyatakan diri menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi kemasyarakatan (ormas). Sebenarnya pada 1984 pemerintah belum mengesahkan UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang mengharuskan semua ormas memakai asas tunggal Pancasila, tetapi justru NU setahun lebih awal menyatakan diri menerima asas tunggal Pancasila dan secara resmi mencantumkan asas tunggal itu dalam AD/RT-nya.

NU tampaknya sudah jenuh dengan masalah dan hiruk-pikuk politik setelah 39 tahun (1945-1984) terjun dan aktif di dunia politik. Dengan kembali ke khitah 1926, NU selain meninggalkan arena dan gelanggang politik praktis, juga bisa berkonsentrasi penuh menggarap bidang pendidikan (misalnya pesantren yang berjumlah ribuan) dan bidang-bidang sosial keagamaan lainnya yang memberikan kebaikan dan kemaslahatan kepada umat dan bangsa. Sesuai dengan ketentuan khitah 1926, hak-hak politik warga NU diserahkan kepada pribadi masing-masing untuk bergabung dengan parpol tertentu dan menyalurkan aspirasi politiknya dalam pemilu sesuai dengan pilihan masing-masing tanpa membawa nama NU atau mengatasnamakan NU.

Dukungan Politik PBNU
Saya melihat telah terjadi "liberalisasi" khitah NU 1926 dalam pertarungan Pilpres 2019. Indikasinya sebagai berikut. Menurut skenario awal, Prof Dr Mahfud MD disebut sebagai bakal cawapres yang akan mendampingi capres petahana Joko Widodo (Jokowi). Prof Mahfud (yang ke-NU-an kulturalnya sangat tidak diragukan) menuturkan, dia sudah selesai melakukan ukur baju yang akan dipakai bersama Jokowi saat mendaftar sebagai capres-cawapres di KPU. PBNU merasa tidak sreg kalau Mahfud yang maju sebagai cawapres karena dia bukan "kader" NU. PBNU lantas "merestui" KH Ma’ruf Amin (yang dinilai sebagai kader tulen, aktivis, dan fungsionaris NU) maju sebagai cawapres mendampingi Jokowi. PBNU sekaligus memberikan dukungan moral dan politik kepada capres-cawapres dengan nomor urut 01 itu dan berharap pasangan calon itu menang dalam Pilpres 2019 yang akan digelar pada 17 April 2019.

Fakta ini menjelaskan bahwa pimpinan teras PBNU sendiri yang membawa NU dan atas nama NU memberikan dukungan moral dan politik kepada capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf. Dengan kata lain, PBNU secara struktural memberikan dukungan secara resmi dan terbuka kepada pasangan capres-cawapres nomor urut 01 itu. Selain itu cawapres Ma’ruf Amin (yang sebelum menjadi cawapres menjabat sebagai rais ’am PBNU) mengajak dan menyerukan kepada pimpinan dan pengurus wilayah NU Banten untuk secara aktif mengikutsertakan dan memfungsikan ulama dan kiai-kiai NU di kampung-kampung di Banten melakukan kampanye untuk memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2019. Secara kasat mata tampak bahwa NU telah dibawa-bawa dan dilibatkan dalam kegiatan politik praktis.

Dukungan Politik BKSN
Berikut ini fakta lain yang menjelaskan terjadinya "liberalisasi" khitah NU 1926. Kelompok yang tergabung dalam Barisan Kiai dan Santri Nahdliyin (BKSN) secara resmi dan terbuka mendeklarasikan dukungan politik terhadap pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiago Salahuddin Uno. BKSN tanpa tedeng aling-aling mendeklarasikan dukungan tersebut di Rumah Djoeang, Jakarta Pusat, Sabtu, 1 Desember 2018. BKSN dipimpin KH Solachul Aam Wahib Wahab. Dia adalah cucu almarhum KH Abdul Wahab Hasbullah yang terkenal sebagai salah satu pendiri NU. Dalam deklarasi itu dia menargetkan 60% suara di Pilpres 2019 bagi keunggulan pasangan Prabowo-Sandi di wilayah Jawa Timur.

Solachul Aam Wahib Wahab menyatakan, BKSN sudah melakukan konsolidasi selama kurang lebih tiga bulan di seluruh kabupaten di Jawa Timur, semuanya berjalan baik dan lancar untuk mendukung dan memenangkan capres-cawapres Prabowo-Sandi di Jatim. Dalam deklarasinya, KH Solachul mengatakan: "Dengan ini kami mengajak para kiai dan santri simpatisan serta umat untuk bersama-sama memilih dan mencoblos capres-cawapres nomor urut 02 dalam Pilpres Tahun 2019." Sebelumnya sejumlah keluarga keturunan (dzurriyah) pendiri NU yang dipimpin KH Irfan Yusuf Hasyim juga memberikan dukungan resmi dan terbuka kepada pasangan calon nomoer urut 02 itu. Gus Irfan Yusuf adalah cucu Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari yang terkenal sebagai salah satu tokoh pendiri NU dan pendiri-pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng.

NU kembali ke khitah 1926 pada tahun 1984 dengan niat dan motif menyerahkan hak-hak politik warga NU kepada pribadi masing-masing untuk bergabung dengan parpol tertentu dan menyalurkan aspirasi politiknya dalam pemilu sesuai dengan pilihan politiknya tanpa membawa nama NU atau mengatasnamakan NU. Dukungan politik secara resmi dan terbuka, baik oleh PBNU maupun oleh BKSN, kepada pasangan capres-cawapres tertentu pada Pilpres 2019 telah melibatkan NU dalam gelanggang politik praktis. In berarti telah terjadi "liberalisasi" khitah NU 1926 pada Pilpres 2019.*
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7397 seconds (0.1#10.140)