Berharap Efek Pengganda Ekonomi Bencana
A
A
A
Rusli Abdulah
Peneliti INDEF
PEMBANGUNAN ekonomi yang mengadopsi mitigasi bencana di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Alasan utamanya adalah kita hidup di atas kompor bumi bernama ring of fire menjadikan kepulauan Indonesia rawan bencana. Ketiadaan mitigasi bencana akan memunculkan kerugian material maupun nonmaterial. Oleh karenanya, pembangunan bervisi mitigasi bencana di segala aspek, termasuk ekonomi, tidak boleh dikesampingkan.
Biaya Bencana
Bencana menimbulkan kerugian ekonomi. Bank Dunia (2018) melaporkan bahwa selama 30 tahun terakhir, bencana di seluruh dunia telah menelan lebih dari 2,5 juta orang dan menimbulkan kerugian hampir 4 triliun dolar Amerika Serikat. Selain itu, angka kerugiannya telah meningkat empat kali lipat dari 50 miliar dolar Amerika Serikat per tahun (1980) menjadi 200 miliar dolar Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir.
Lebih mengejutkan lagi, bencana alam dalam tingkatan global lebih berdampak kepada kelompok negara miskin. Masih menurut Bank Dunia (2018), selama rentang waktu 1995 hingga 2014, 89% kematian yang berhubungan dengan bencana alam berupa badai, terdapat di negara-negara berpendapatan rendah. Padahal kejadian badai di negara berpendapatan rendah hanya 26% dari total badai yang ada. Fakta tersebut menyingkap tabir bagaimana mitigasi bencana badai di negara berpendapatan tinggi lebih baik dibandingkan dengan negara berpendapatan rendah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat selama tahun 2018 telah terjadi 2.564 bencana. Sebanyak 96,8% adalah bencana hidrometerologi (banjir, longsor, kekeringan, hingga cuaca ekstrem). Adapun sisanya, 3,2% (83 kejadian) berupa bencana geofusi (gempa, erupsi gunung berapi, hingga tsunami).
Meski bencana geofusi hanya tercatat 83 kejadian, namun dampaknya lebih besar dibandingkan bencana hidrometerologi. Selama tahun 2018, terdapat 23 kali gempa bumi yang menyebabkan 572 orang, 2.001 orang luka-luka, hampir 500 ribu orang mengungsi dan terdampak, serta 226.667 unit rumah/bangunan rusak. Total dampak bencana mengakibatkan 3.349 korban meninggal, 1.432 orang hilang, 21.064 orang luka-luka, 10,2 juta orang mengungsi serta 319.527 unit bangunan rusak. Apabila dinilai secara finansial, BNPB mencatat kerugian bencana 2018 melebihi angka Rp100 triliun.
Ekonomi BencanaPembangunan ekonomi berbasis bencana tidak melulu menjadi beban keuangan pemerintah. Justru sebaliknya, pembangunan ekonomi berbasis mitigasi bencana menciptakan efek pengganda bagi perekonomian. Setidaknya ada dua keuntungan, pertama menimbulkan permintaan turunan dan opportunitycost akibat bencana bisa diminimalkan. Biaya pemulihan pasca bencana (costrecovery ) bisa ditekan.
Permintaan turunan pembangunan yang berbasis mitigasi antara lain berkembangnya teknologi pembangunan gedung yang bisa mengadopsi efek gempa hingga 8 Skala Richter. Pada awalnya memang mungkin teknologi tersebut mahal, namun apabila sudah menjadi industri, akan menjadi murah dan terjangkau. Sebagai awalan, bisa diinisiasi oleh pemerintah dengan mensyaratkan bahwa setiap pembangunan gedung pemerintahan yang baru harus mengadopsi teknologi tersebut.
Selain sektor konstruksi, sektor yang akan bergeliat dari pembangunan yang berbasis mitigasi bencana adalah sektor industri penyedia alat-alat keselamatan semisal lifejacket dan perlengkapan bertahan hidup. Kemudian, apabila proses pembangunan telah mengadopsi risiko bencana, maka dengan sendirinya industri asuransi (keuangan) akan berkembang dengan sendirinya.
Pembangunan berbasis mitigasi bencana juga akan mendukung keberlanjutan lingkungan hidup seperti pemanfaatan lahan yang sesuai dengan tata ruang lahan. Kasus longsor di Sukabumi beberapa waktu yang lalu menjadi contoh buruknya tata kelola pemanfaatan lahan atau dengan kata lain nir mitigasi bencana longsor.
Dalam tataran mikro perusahaan, perspektif mitigasi bencana memiliki berimplikasi positif bagi sebuah perusahaan. Noy and Vu (2010) dan Loayza et al. (2012) dalam studi literaturnya melaporkan bahwa bencana alam bisa mendorong pertumbuhan. Bencana alam mendorong produktivitas perusahaan dalam rangka bertahan di tengah bencana melalui akumulasi modal dan adaptasi terhadap teknologi baru.
Leiteretal (2009) menemukan bahwa perusahaan di Eropa yang terletak di wilayah yang terdampak banjir pada 2000 memiliki aset dan penyerapan tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak terdampak. Cole dkk (2013) menemukan pabrik yang terdampak gempa Kobe 1995 di Jepang mengalami kenaikan tingkat produktivitas.
Implikasi Kebijakan
Mitigasi bencana di Indonesia sudah mendapatkan political will dari pemerintah. Hal ini setidaknya tercermin dari dua hal yakni adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Selain political will, undang-undang tersebut juga menjadi standing position pemerintah dalam mitigasi bencana. Turunan undang-undang tersebut adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menjadi leading institution dalam memitigasi dan penanggulangan bencana di Indonesia.
Meski demikian, setelah satu dekade lebih UU diimplementasikan, mitigasi dan penanganan bencana di Indonesia masih belum optimal. Hal ini terlihat dari banyaknya korban dan kerugian akibat bencana alam di Indonesia. Terakhir, bencana tsunami di Provinsi Banten yang menelan korban jiwa ratusan yang salah satu faktornya disebabkan ketiadaan peringatan tsunami akibat jenis gempa yang berbeda dari biasanya.
Mitigasi bencana adalah kerja bersama, bukan kerja satu institusi. Ke depan setidaknya ada beberapa agenda untuk mewujudkan mitigasi dan penanggulangan bencana yang efektif. Pertama, kurikulum pendidikan sejak dini. Pendidikan sejak dini sangat efektif untuk menanamkan sadar bencana di benak anak-anak. Kedua, peningkatan kewenangan BNPB dalam kebijakan mitigasi dan penanggulangan bencana. Ketiga, memberikan insentif bagi tumbuhnya sektor infrastruktur dan properti yang telah mengadopsi teknologi anti bencana seperti gempa.
Peneliti INDEF
PEMBANGUNAN ekonomi yang mengadopsi mitigasi bencana di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Alasan utamanya adalah kita hidup di atas kompor bumi bernama ring of fire menjadikan kepulauan Indonesia rawan bencana. Ketiadaan mitigasi bencana akan memunculkan kerugian material maupun nonmaterial. Oleh karenanya, pembangunan bervisi mitigasi bencana di segala aspek, termasuk ekonomi, tidak boleh dikesampingkan.
Biaya Bencana
Bencana menimbulkan kerugian ekonomi. Bank Dunia (2018) melaporkan bahwa selama 30 tahun terakhir, bencana di seluruh dunia telah menelan lebih dari 2,5 juta orang dan menimbulkan kerugian hampir 4 triliun dolar Amerika Serikat. Selain itu, angka kerugiannya telah meningkat empat kali lipat dari 50 miliar dolar Amerika Serikat per tahun (1980) menjadi 200 miliar dolar Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir.
Lebih mengejutkan lagi, bencana alam dalam tingkatan global lebih berdampak kepada kelompok negara miskin. Masih menurut Bank Dunia (2018), selama rentang waktu 1995 hingga 2014, 89% kematian yang berhubungan dengan bencana alam berupa badai, terdapat di negara-negara berpendapatan rendah. Padahal kejadian badai di negara berpendapatan rendah hanya 26% dari total badai yang ada. Fakta tersebut menyingkap tabir bagaimana mitigasi bencana badai di negara berpendapatan tinggi lebih baik dibandingkan dengan negara berpendapatan rendah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat selama tahun 2018 telah terjadi 2.564 bencana. Sebanyak 96,8% adalah bencana hidrometerologi (banjir, longsor, kekeringan, hingga cuaca ekstrem). Adapun sisanya, 3,2% (83 kejadian) berupa bencana geofusi (gempa, erupsi gunung berapi, hingga tsunami).
Meski bencana geofusi hanya tercatat 83 kejadian, namun dampaknya lebih besar dibandingkan bencana hidrometerologi. Selama tahun 2018, terdapat 23 kali gempa bumi yang menyebabkan 572 orang, 2.001 orang luka-luka, hampir 500 ribu orang mengungsi dan terdampak, serta 226.667 unit rumah/bangunan rusak. Total dampak bencana mengakibatkan 3.349 korban meninggal, 1.432 orang hilang, 21.064 orang luka-luka, 10,2 juta orang mengungsi serta 319.527 unit bangunan rusak. Apabila dinilai secara finansial, BNPB mencatat kerugian bencana 2018 melebihi angka Rp100 triliun.
Ekonomi BencanaPembangunan ekonomi berbasis bencana tidak melulu menjadi beban keuangan pemerintah. Justru sebaliknya, pembangunan ekonomi berbasis mitigasi bencana menciptakan efek pengganda bagi perekonomian. Setidaknya ada dua keuntungan, pertama menimbulkan permintaan turunan dan opportunitycost akibat bencana bisa diminimalkan. Biaya pemulihan pasca bencana (costrecovery ) bisa ditekan.
Permintaan turunan pembangunan yang berbasis mitigasi antara lain berkembangnya teknologi pembangunan gedung yang bisa mengadopsi efek gempa hingga 8 Skala Richter. Pada awalnya memang mungkin teknologi tersebut mahal, namun apabila sudah menjadi industri, akan menjadi murah dan terjangkau. Sebagai awalan, bisa diinisiasi oleh pemerintah dengan mensyaratkan bahwa setiap pembangunan gedung pemerintahan yang baru harus mengadopsi teknologi tersebut.
Selain sektor konstruksi, sektor yang akan bergeliat dari pembangunan yang berbasis mitigasi bencana adalah sektor industri penyedia alat-alat keselamatan semisal lifejacket dan perlengkapan bertahan hidup. Kemudian, apabila proses pembangunan telah mengadopsi risiko bencana, maka dengan sendirinya industri asuransi (keuangan) akan berkembang dengan sendirinya.
Pembangunan berbasis mitigasi bencana juga akan mendukung keberlanjutan lingkungan hidup seperti pemanfaatan lahan yang sesuai dengan tata ruang lahan. Kasus longsor di Sukabumi beberapa waktu yang lalu menjadi contoh buruknya tata kelola pemanfaatan lahan atau dengan kata lain nir mitigasi bencana longsor.
Dalam tataran mikro perusahaan, perspektif mitigasi bencana memiliki berimplikasi positif bagi sebuah perusahaan. Noy and Vu (2010) dan Loayza et al. (2012) dalam studi literaturnya melaporkan bahwa bencana alam bisa mendorong pertumbuhan. Bencana alam mendorong produktivitas perusahaan dalam rangka bertahan di tengah bencana melalui akumulasi modal dan adaptasi terhadap teknologi baru.
Leiteretal (2009) menemukan bahwa perusahaan di Eropa yang terletak di wilayah yang terdampak banjir pada 2000 memiliki aset dan penyerapan tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak terdampak. Cole dkk (2013) menemukan pabrik yang terdampak gempa Kobe 1995 di Jepang mengalami kenaikan tingkat produktivitas.
Implikasi Kebijakan
Mitigasi bencana di Indonesia sudah mendapatkan political will dari pemerintah. Hal ini setidaknya tercermin dari dua hal yakni adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Selain political will, undang-undang tersebut juga menjadi standing position pemerintah dalam mitigasi bencana. Turunan undang-undang tersebut adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menjadi leading institution dalam memitigasi dan penanggulangan bencana di Indonesia.
Meski demikian, setelah satu dekade lebih UU diimplementasikan, mitigasi dan penanganan bencana di Indonesia masih belum optimal. Hal ini terlihat dari banyaknya korban dan kerugian akibat bencana alam di Indonesia. Terakhir, bencana tsunami di Provinsi Banten yang menelan korban jiwa ratusan yang salah satu faktornya disebabkan ketiadaan peringatan tsunami akibat jenis gempa yang berbeda dari biasanya.
Mitigasi bencana adalah kerja bersama, bukan kerja satu institusi. Ke depan setidaknya ada beberapa agenda untuk mewujudkan mitigasi dan penanggulangan bencana yang efektif. Pertama, kurikulum pendidikan sejak dini. Pendidikan sejak dini sangat efektif untuk menanamkan sadar bencana di benak anak-anak. Kedua, peningkatan kewenangan BNPB dalam kebijakan mitigasi dan penanggulangan bencana. Ketiga, memberikan insentif bagi tumbuhnya sektor infrastruktur dan properti yang telah mengadopsi teknologi anti bencana seperti gempa.
(pur)