Daya Dukung Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

Rabu, 02 Januari 2019 - 08:05 WIB
Daya Dukung Lingkungan...
Daya Dukung Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
A A A
Rokhmin Dahuri,
Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB

DI era revolusi in­dus­tri ke-4 dan dunia yang saling ter­hu­bung­kan (highly in­ter­connected) di abad-21 ini, kehidupan manusia diwarnai de­ngan berbagai macam disrupsi, ketidakpastian, dan perubahan yang supercepat.

Namun, satu hal pasti adalah permintaan ma­­nusia terhadap barang dan ja­sa (goods and services) yang berkualitas bakal terus me­ning­kat seiring dengan per­tam­bah­an penduduk, meningkatnya da­ya beli, dan standar kehi­dup­an manusia. Ba­rang dan jasa itu be­rupa kebu­tuh­an dasar me­li­pu­ti pangan, san­dang, perumah­an, kesehatan, dan pend­i­dik­­an mau­pun sifatnya se­kun­der atau ter­sier, seperti sarana trans­portasi, komunikasi, ke­can­tikan, ke­bu­gar­an (wellness), hi­­buran, re­kre­asi, dan pariwisata.

Untuk memenuhi segenap ke­butuhan yang terus me­ning­kat itu, manusia melakukan ber­bagai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA (sumber da­ya alam), baik terdapat di da­rat mau­pun di laut. Kemudian SDA ter­sebut diolah dan dike­mas men­jadi berbagai macam pro­duk guna memenuhi be­ra­gam kebutuhan manusia di atas.

Selain mengandung be­ragam SDA, berbagai macam eko­sistem alam (hutan, rawa, su­ngai, danau, laut, dan at­mos­fer) yang menyusun planet bu­mi juga menyediakan jasa-jasa lingkungan (environmental ser­vices) berupa keindahan alam untuk rekreasi dan pariwisata, me­dia transportasi, kapasitas asi­milasi untuk menguraikan dan menetralisasi berbagai je­nis limbah, siklus hidrologi, si­klus biogeokimia, dan fungsi-fungsi penunjang kehidupan (life-supporting functions) lain­nya, yang membuat planet bumi ini cocok, nyaman, dan indah sebagai tempat tinggal dan hidup manusia.

Kerusakan Lingkungan
Persoalannya adalah daya du­kung (carrying capacity) eko­sistem alam dalam menye­dia­kan ruang kehidupan manusia (pemukiman), SDA, dan jasa-jasa lingkungan itu bersifat ter­batas. Namun, pola pem­ba­ngun­an, industrialisasi, dan ga­ya hidup manusia sejak revolusi industri-1 pada 1750-an ku­rang atau tidak ramah lingkung­an dan tidak mengindahkan ­keterbatasan daya dukung ling­kungan.

Akibatnya, pen­ce­mar­an, penggundulan hutan, over­fishing, terkikisnya ke­ane­ka­ra­gam­an hayati (biodiversity), ke­punahan jenis (species extin­c­tion), erosi, banjir, dan berbagai ben­tuk kerusakan lingkungan lainnya, terjadi hampir di se­lu­ruh penjuru dunia pada tingkat telah mengancam kapasitas ke­ber­lanjutan (sustainable capacity) ekosistem bumi untuk men­dukung pembangunan eko­no­mi dan kehidupan manusia.

Akumulasi dampak ling­ku­ng­an negatif akibat pem­ba­lak­an hutan; alih fungsi lahan rawa, gambut, estuari, dan ekos­istem lainnya untuk per­ta­nian, per­tam­bangan, pe­mu­kiman, ka­was­an industri, dan infra­struk­tur, serta pem­bu­angan limbah dan emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, dan NOx) oleh berbagai ke­­giatan industri (pabrik), trans­­por­tasi dan rumah tangga yang rakus serta semena-me­na telah meng­aki­batkan pema­nas­an global (glo­bal warming).

Se­lan­jutnya pe­n­ingkatan suhu bumi ini telah mengakibatkan mel­elehnya gu­nung es raksasa di Kutub Utara (Samudra Artik) dan Kutub Se­lat­an (Samudra An­tartika), pe­ning­katan per­mu­ka­an laut, ba­dai, banjir, kacaunya pola iklim, cuaca eks­trem, gel­ombang panas (heat wa­ves), pe­nurunan pro­duk­t­i­vi­tas per­ta­nian, ledakan wabah pe­nyakit yang merusak ba­ngun­an (pro­perty) dan in­fra­struk­tur, ser­ta menimbulkan ke­rugian eko­nomi ratusan mi­liar dolar dan me­renggut jutaan nyawa manusia.

Hal mencemaskan, sejak 1750-an hingga sekarang suhu bu­mi telah meningkat 10C. Pa­da­hal bila suhu bumi meningkat lebih dari 20C, niscaya segenap dampak negatifnya akan susah atau tidak bisa ditanggulangi (unmanageable ) dengan iptek yang kita miliki sekarang (IPCC, 2018). Jika laju emisi CO2 glo­bal seperti sekarang tidak se­ge­ra di­kurangi, maka dikha­wa­tir­kan su­hu bumi bakal meningkat sebe­sar 30C pada 2030 dan bisa meng­aki­batkan climate cata­s­trophe (ma­la­petaka iklim) glo­bal (IPCC, 2018).

Ekonomi Sirkuler
Pada dasarnya, kerusakan lingkungan seperti pen­ce­mar­an, kelebihan eksploitasi SDA, ke­punahan jenis, banjir, dan pe­manasan global itu terjadi, ka­re­na laju (intensitas) pem­ba­ngu­n­an berupa konversi ekosistem alam untuk berbagai macam peng­­gunaan lahan (land uses), eks­ploitasi SDA, pembuangan lim­bah, emisi GRK (gas ru­mah kaca), dan kegiatan manusia lain­nya me­lam­paui DDL (daya du­kung ling­kung­an) suatu wilayah.

Oleh sebab itu, dari pers­pek­tif eko­nomi-ekologi, pem­­­ba­ngun­­an ber­ke­lanjutan (sus­tai­na­ble deve­lop­ment) hanya dapat di­wu­jud­kan de­ngan memas­ti­kan bahwa laju pem­ba­ngunan di suatu wi­layah (kabu­pa­ten/ kota, propinsi, ne­ga­ra atau du­nia) ti­dak melampaui DDL wi­layah ter­maksud. La­ju pem­ba­ngun­an di sua­tu wilayah ber­gan­tung pa­­da jumlah pen­du­duk, kon­sum­si SDA per kapita, laju bu­angan limbah (emisi GRK) per kapita, serta ke­bu­tuhan lahan untuk pe­ru­mahan dan ruang untuk akti­vitas ke­hi­dupan manusia lain­nya per ka­pita.

Sementara DDL suatu wi­la­yah secara alamiah ditentukan oleh luas wilayah tersebut, po­tensi SDA-nya, kapasitasnya da­lam mengasimilasi limbah dan emisi GRK, keindahan alam, serta fungsi-fungsi pe­nun­jang kehidupan yang ter­dapat di dalamnya.

Menurut Brown (2003), DDL planet bumi secara ala­miah untuk dapat mendukung kehidupan umat manusia de­ng­an pendapatan per kapita rata-rata USD8.000 adalah sekitar 8 miliar orang. Untungnya, DDL ekosistem alam atau bumi bisa ditingkatkan dengan aplikasi teknologi dan manajemen. Mi­salnya, produktivitas sawah se­cara alamiah sekitar 1,5 ton/ ha/tahun.

Dengan menggunakan tek­no­logi, seperti bibit unggul, pe­mu­pukan, pengendalian hama dan penyakit, irigasi, dan pre­ci­sion farming dengan AI (artificial intelligent ), digital , IoT (internet of things), serta teknologi in­dus­tri 4.0 lainnya, pro­duk­ti­vi­tas­nya dapat ditingkatkan menjadi 10-15 ton/ha/tahun. Kendati demikian, DDL suatu wilayah tidak bisa ditingkatkan dengan teknologi tanpa batas.

Ada batas maksimumnya penggunaan tek­no­logi dalam me­ningkatkan DDL suatu wi­la­yah. Se­telah ter­ca­pai titik mak­si­mum, pening­kat­­an input tek­no­logi justru akan me­nu­­run­kan pro­duk­ti­vi­tas dan DDL sua­­tu wi­layah (law of di­mi­ni­shing re­turn). De­ngan in­ter­vensi tek­no­lo­gi dan ma­na­je­men, DDL bu­mi di­per­ki­ra­kan ha­nya mampu men­­dukung ke­hi­dupan pen­du­duk du­nia un­tuk sekitar 12 miliar orang, de­ngan rata-rata pen­da­pat­an per kapita USD8.000 (Har­vard Uni­versity, 2010).

Pada tataran praksis, DDL wilayah dapat dipelihara dan bahkan ditingkatkan dengan meng­implementasikan RTRW (rencana tata ruang wilayah) secara benar, konsisten, dan ber­kelanjutan. Minimal 30% da­ri luas total suatu wilayah mes­ti dijadikan sebagai ka­was­an lindung (protected areas) un­tuk menjamin kelestarian keanekaragaman hayati, plasma nutfah, dan fungsi-fungsi pe­nun­jang kehidupan.

Kawasan lindung tidak bo­leh dikonversi menjadi kawasan per­tambangan, perkebunan, in­dus­tri, dan peruntukan pem­ba­ngunan lainnya. Hanya ke­giat­an penelitian, pendidikan, dan eko­wi­sata yang boleh ada dalam ka­wasan lindung. Selain itu, kita ha­rus merehabilitasi hu­tan, danau, sungai, rawa, es­tua­ria, bakau, padang lamun, te­rumbu karang, dan ekosistem alam lain, yang telah mengalami kerusakan.

Selain perbaikan tata kelola produksi hutan alam dan pe­r­ikan­an tangkap. Untuk meme­nu­hi kebutuhan pangan, serat (bahan sandang), obat-obatan (farmasi), kayu, kertas, bio­ener­gy, dan komoditas SDA ha­yati lainnya yang terus naik, kita harus meningkatkan pro­duk­ti­vi­tas, efisiensi, daya saing, dan sus­tainability (kelestarian) dari se­mua usaha budi daya per­ta­ni­an tanaman pangan, hor­ti­kul­tu­ra, perkebunan, hutan tanaman industri, peternakan, dan perikanan yang ada saat ini.

Secara simultan, kita harus meng­ganti paradigma pem­ba­ngun­an ekonomi kapitalis (kon­vensional) yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan aku­mulasi kekayaan untuk ke­hi­dup­an konsumtif, mewah dan hedo­nis diri, keluarga, perusahaan, atau kelompoknya. Dengan pa­ra­digma pembangunan eko­no­mi sirkuler (circular economy) yang mendo­rong pertumbuhan ekonomi ber­kua­litas, inklusif, dan ramah ling­kung­an untuk du­nia lebih baik, se­jah­tera, damai, dan ber­ke­lan­jut­an.

Dalam konsep ekonomi sir­ku­ler, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan harus bisa me­nyejahterakan seluruh pen­duduk dunia secara ber­kead­il­an. Tidak seperti yang selama ini terjadi, ketimpangan sosial, baik dalam suatu negara ma­u­pun antarnegara cenderung se­makin melebar.

Pada 1800, perbedaan an­ta­ra total PDB negara-negara in­dus­tri maju di Eropa dan Ame­rika Utara dengan negara-ne­ga­ra berkembang (miskin) se­be­sar 90%. Pada 2000, per­be­da­an­nya melonjak secara fenomenal menjadi 750%. Selain itu, pada 2010 total kekayaan 388 orang terkaya di dunia lebih besar dari total kekayaan 50% penduduk dunia (3,3 miliar orang) kelas menengah-bawah.

Kemudian pada 2017, de­la­pan orang terkaya di dunia me­miliki total kekayaan melebihi total kekayaan 50% penduduk du­nia kelas menengah-bawah yang jumlahnya semakin naik menjadi 3,6 miliar jiwa (Oxfam International, 2017). Ke­tim­pa­ng­an sosial juga menjadi ma­sa­lah utama bangsa Indonesia, ka­rena 1% orang terkayanya me­miliki total kekayaan hampir 50% total kekayaan negara (Cre­dit Suisseís Global Wealth Report, 2016).

Penduduk atau bangsa yang kaya mengon­sumsi/meng­gu­na­kan SD­A dan membuang lim­bah serta emisi GRK jauh lebih besar ketimbang penduduk mis­kin atau negara ber­kem­bang. Contohnya, peng­gu­na­an/konsumsi SDA termasuk ba­ja dan konsumsi pangan (pro­tein, mineral, dan vitamin) di negara-negara industri maju itu 70 dan 20 kali lebih besar ke­timbang di negara-negara ber­kembang (WCED, 1987).

Negara-negara maju mem­buang (emisi) CO2 sebesar 10-20 ton/orang/hari. Sedangkan ne­gara-negara berkembang ha­nya 0,2-2 ton/orang/hari (W­a­ton, 2007). Dalam konteks ini, boleh jadi benar pernyataan profetik Mahatma Gandhi bah­wa “Bumi ini mampu untuk me­me­nuhi kebutuhan hidup seluruh umat manusia, tetapi dia tidak mung­kin mampu memenuhi ke­se­rakahan manusia “(Schu­ma­cher, 1973).

Oleh karena itu, pada ta­tar­an mondial, pembangunan ber­kelanjutan hanya bisa ter­wu­jud, bila negara-negara dengan pen­dapatan per kapita di atas USD12.000 rela mengerem laju per­tumbuhan ekonomi, pe­man­­­faatan SDA, serta pem­buang­an limbah dan emisi GRK-nya.

Pada saat yang sama, ne­ga­ra-negara maju membantu ne­gara-negara berkembang su­paya pen­du­duk­nya semua hi­dup sejahtera den­gan pen­da­pat­an per kapita rata-rata USD8.000. Kemudian ba­ngun sis­tem dan mekanisme per­­da­ga­ngan serta hubungan inter­na­sional lebih adil dan sa­ling menghormati sehingga meng­untungkan.

Pada tataran praksis, eko­no­mi sirkuler meng­arus­uta­ma­kan pembangunan ekonomi yang bersifat rendah/ tanpa lim­bah dan emisi GRK. Kemudian peng­gunaan SDA secara pro­duk­­tif dan efisien tidak me­le­bihi kemampuan lestari (sus­tai­na­ble capacity).

Selain itu, peng­gu­na­an produk (barang) untuk waktu lebih lama (extending pro­duct li­fe­time) dan penggunaan tek­no­logi 3R (reduce, reuse, dan recycle) untuk mengubah limbah men­jadi berkah, green de­sign and cons­truction, mitigasi dan adap­tasi bencana alam (glo­bal war­ming, tsunami, gempa bu­mi, dan banjir), serta pe­ning­katan nilai tambah serta daya saing produk secara berkelanjutan.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0739 seconds (0.1#10.140)