Daya Dukung Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
A
A
A
Rokhmin Dahuri,
Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB
DI era revolusi industri ke-4 dan dunia yang saling terhubungkan (highly interconnected) di abad-21 ini, kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai macam disrupsi, ketidakpastian, dan perubahan yang supercepat.
Namun, satu hal pasti adalah permintaan manusia terhadap barang dan jasa (goods and services) yang berkualitas bakal terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, meningkatnya daya beli, dan standar kehidupan manusia. Barang dan jasa itu berupa kebutuhan dasar meliputi pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan maupun sifatnya sekunder atau tersier, seperti sarana transportasi, komunikasi, kecantikan, kebugaran (wellness), hiburan, rekreasi, dan pariwisata.
Untuk memenuhi segenap kebutuhan yang terus meningkat itu, manusia melakukan berbagai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA (sumber daya alam), baik terdapat di darat maupun di laut. Kemudian SDA tersebut diolah dan dikemas menjadi berbagai macam produk guna memenuhi beragam kebutuhan manusia di atas.
Selain mengandung beragam SDA, berbagai macam ekosistem alam (hutan, rawa, sungai, danau, laut, dan atmosfer) yang menyusun planet bumi juga menyediakan jasa-jasa lingkungan (environmental services) berupa keindahan alam untuk rekreasi dan pariwisata, media transportasi, kapasitas asimilasi untuk menguraikan dan menetralisasi berbagai jenis limbah, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, dan fungsi-fungsi penunjang kehidupan (life-supporting functions) lainnya, yang membuat planet bumi ini cocok, nyaman, dan indah sebagai tempat tinggal dan hidup manusia.
Kerusakan Lingkungan
Persoalannya adalah daya dukung (carrying capacity) ekosistem alam dalam menyediakan ruang kehidupan manusia (pemukiman), SDA, dan jasa-jasa lingkungan itu bersifat terbatas. Namun, pola pembangunan, industrialisasi, dan gaya hidup manusia sejak revolusi industri-1 pada 1750-an kurang atau tidak ramah lingkungan dan tidak mengindahkan keterbatasan daya dukung lingkungan.
Akibatnya, pencemaran, penggundulan hutan, overfishing, terkikisnya keanekaragaman hayati (biodiversity), kepunahan jenis (species extinction), erosi, banjir, dan berbagai bentuk kerusakan lingkungan lainnya, terjadi hampir di seluruh penjuru dunia pada tingkat telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem bumi untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kehidupan manusia.
Akumulasi dampak lingkungan negatif akibat pembalakan hutan; alih fungsi lahan rawa, gambut, estuari, dan ekosistem lainnya untuk pertanian, pertambangan, pemukiman, kawasan industri, dan infrastruktur, serta pembuangan limbah dan emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, dan NOx) oleh berbagai kegiatan industri (pabrik), transportasi dan rumah tangga yang rakus serta semena-mena telah mengakibatkan pemanasan global (global warming).
Selanjutnya peningkatan suhu bumi ini telah mengakibatkan melelehnya gunung es raksasa di Kutub Utara (Samudra Artik) dan Kutub Selatan (Samudra Antartika), peningkatan permukaan laut, badai, banjir, kacaunya pola iklim, cuaca ekstrem, gelombang panas (heat waves), penurunan produktivitas pertanian, ledakan wabah penyakit yang merusak bangunan (property) dan infrastruktur, serta menimbulkan kerugian ekonomi ratusan miliar dolar dan merenggut jutaan nyawa manusia.
Hal mencemaskan, sejak 1750-an hingga sekarang suhu bumi telah meningkat 10C. Padahal bila suhu bumi meningkat lebih dari 20C, niscaya segenap dampak negatifnya akan susah atau tidak bisa ditanggulangi (unmanageable ) dengan iptek yang kita miliki sekarang (IPCC, 2018). Jika laju emisi CO2 global seperti sekarang tidak segera dikurangi, maka dikhawatirkan suhu bumi bakal meningkat sebesar 30C pada 2030 dan bisa mengakibatkan climate catastrophe (malapetaka iklim) global (IPCC, 2018).
Ekonomi Sirkuler
Pada dasarnya, kerusakan lingkungan seperti pencemaran, kelebihan eksploitasi SDA, kepunahan jenis, banjir, dan pemanasan global itu terjadi, karena laju (intensitas) pembangunan berupa konversi ekosistem alam untuk berbagai macam penggunaan lahan (land uses), eksploitasi SDA, pembuangan limbah, emisi GRK (gas rumah kaca), dan kegiatan manusia lainnya melampaui DDL (daya dukung lingkungan) suatu wilayah.
Oleh sebab itu, dari perspektif ekonomi-ekologi, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) hanya dapat diwujudkan dengan memastikan bahwa laju pembangunan di suatu wilayah (kabupaten/ kota, propinsi, negara atau dunia) tidak melampaui DDL wilayah termaksud. Laju pembangunan di suatu wilayah bergantung pada jumlah penduduk, konsumsi SDA per kapita, laju buangan limbah (emisi GRK) per kapita, serta kebutuhan lahan untuk perumahan dan ruang untuk aktivitas kehidupan manusia lainnya per kapita.
Sementara DDL suatu wilayah secara alamiah ditentukan oleh luas wilayah tersebut, potensi SDA-nya, kapasitasnya dalam mengasimilasi limbah dan emisi GRK, keindahan alam, serta fungsi-fungsi penunjang kehidupan yang terdapat di dalamnya.
Menurut Brown (2003), DDL planet bumi secara alamiah untuk dapat mendukung kehidupan umat manusia dengan pendapatan per kapita rata-rata USD8.000 adalah sekitar 8 miliar orang. Untungnya, DDL ekosistem alam atau bumi bisa ditingkatkan dengan aplikasi teknologi dan manajemen. Misalnya, produktivitas sawah secara alamiah sekitar 1,5 ton/ ha/tahun.
Dengan menggunakan teknologi, seperti bibit unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, irigasi, dan precision farming dengan AI (artificial intelligent ), digital , IoT (internet of things), serta teknologi industri 4.0 lainnya, produktivitasnya dapat ditingkatkan menjadi 10-15 ton/ha/tahun. Kendati demikian, DDL suatu wilayah tidak bisa ditingkatkan dengan teknologi tanpa batas.
Ada batas maksimumnya penggunaan teknologi dalam meningkatkan DDL suatu wilayah. Setelah tercapai titik maksimum, peningkatan input teknologi justru akan menurunkan produktivitas dan DDL suatu wilayah (law of diminishing return). Dengan intervensi teknologi dan manajemen, DDL bumi diperkirakan hanya mampu mendukung kehidupan penduduk dunia untuk sekitar 12 miliar orang, dengan rata-rata pendapatan per kapita USD8.000 (Harvard University, 2010).
Pada tataran praksis, DDL wilayah dapat dipelihara dan bahkan ditingkatkan dengan mengimplementasikan RTRW (rencana tata ruang wilayah) secara benar, konsisten, dan berkelanjutan. Minimal 30% dari luas total suatu wilayah mesti dijadikan sebagai kawasan lindung (protected areas) untuk menjamin kelestarian keanekaragaman hayati, plasma nutfah, dan fungsi-fungsi penunjang kehidupan.
Kawasan lindung tidak boleh dikonversi menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, industri, dan peruntukan pembangunan lainnya. Hanya kegiatan penelitian, pendidikan, dan ekowisata yang boleh ada dalam kawasan lindung. Selain itu, kita harus merehabilitasi hutan, danau, sungai, rawa, estuaria, bakau, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem alam lain, yang telah mengalami kerusakan.
Selain perbaikan tata kelola produksi hutan alam dan perikanan tangkap. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, serat (bahan sandang), obat-obatan (farmasi), kayu, kertas, bioenergy, dan komoditas SDA hayati lainnya yang terus naik, kita harus meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability (kelestarian) dari semua usaha budi daya pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, hutan tanaman industri, peternakan, dan perikanan yang ada saat ini.
Secara simultan, kita harus mengganti paradigma pembangunan ekonomi kapitalis (konvensional) yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kekayaan untuk kehidupan konsumtif, mewah dan hedonis diri, keluarga, perusahaan, atau kelompoknya. Dengan paradigma pembangunan ekonomi sirkuler (circular economy) yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkualitas, inklusif, dan ramah lingkungan untuk dunia lebih baik, sejahtera, damai, dan berkelanjutan.
Dalam konsep ekonomi sirkuler, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan harus bisa menyejahterakan seluruh penduduk dunia secara berkeadilan. Tidak seperti yang selama ini terjadi, ketimpangan sosial, baik dalam suatu negara maupun antarnegara cenderung semakin melebar.
Pada 1800, perbedaan antara total PDB negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika Utara dengan negara-negara berkembang (miskin) sebesar 90%. Pada 2000, perbedaannya melonjak secara fenomenal menjadi 750%. Selain itu, pada 2010 total kekayaan 388 orang terkaya di dunia lebih besar dari total kekayaan 50% penduduk dunia (3,3 miliar orang) kelas menengah-bawah.
Kemudian pada 2017, delapan orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan melebihi total kekayaan 50% penduduk dunia kelas menengah-bawah yang jumlahnya semakin naik menjadi 3,6 miliar jiwa (Oxfam International, 2017). Ketimpangan sosial juga menjadi masalah utama bangsa Indonesia, karena 1% orang terkayanya memiliki total kekayaan hampir 50% total kekayaan negara (Credit Suisseís Global Wealth Report, 2016).
Penduduk atau bangsa yang kaya mengonsumsi/menggunakan SDA dan membuang limbah serta emisi GRK jauh lebih besar ketimbang penduduk miskin atau negara berkembang. Contohnya, penggunaan/konsumsi SDA termasuk baja dan konsumsi pangan (protein, mineral, dan vitamin) di negara-negara industri maju itu 70 dan 20 kali lebih besar ketimbang di negara-negara berkembang (WCED, 1987).
Negara-negara maju membuang (emisi) CO2 sebesar 10-20 ton/orang/hari. Sedangkan negara-negara berkembang hanya 0,2-2 ton/orang/hari (Waton, 2007). Dalam konteks ini, boleh jadi benar pernyataan profetik Mahatma Gandhi bahwa “Bumi ini mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh umat manusia, tetapi dia tidak mungkin mampu memenuhi keserakahan manusia “(Schumacher, 1973).
Oleh karena itu, pada tataran mondial, pembangunan berkelanjutan hanya bisa terwujud, bila negara-negara dengan pendapatan per kapita di atas USD12.000 rela mengerem laju pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan SDA, serta pembuangan limbah dan emisi GRK-nya.
Pada saat yang sama, negara-negara maju membantu negara-negara berkembang supaya penduduknya semua hidup sejahtera dengan pendapatan per kapita rata-rata USD8.000. Kemudian bangun sistem dan mekanisme perdagangan serta hubungan internasional lebih adil dan saling menghormati sehingga menguntungkan.
Pada tataran praksis, ekonomi sirkuler mengarusutamakan pembangunan ekonomi yang bersifat rendah/ tanpa limbah dan emisi GRK. Kemudian penggunaan SDA secara produktif dan efisien tidak melebihi kemampuan lestari (sustainable capacity).
Selain itu, penggunaan produk (barang) untuk waktu lebih lama (extending product lifetime) dan penggunaan teknologi 3R (reduce, reuse, dan recycle) untuk mengubah limbah menjadi berkah, green design and construction, mitigasi dan adaptasi bencana alam (global warming, tsunami, gempa bumi, dan banjir), serta peningkatan nilai tambah serta daya saing produk secara berkelanjutan.
Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB
DI era revolusi industri ke-4 dan dunia yang saling terhubungkan (highly interconnected) di abad-21 ini, kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai macam disrupsi, ketidakpastian, dan perubahan yang supercepat.
Namun, satu hal pasti adalah permintaan manusia terhadap barang dan jasa (goods and services) yang berkualitas bakal terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, meningkatnya daya beli, dan standar kehidupan manusia. Barang dan jasa itu berupa kebutuhan dasar meliputi pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan maupun sifatnya sekunder atau tersier, seperti sarana transportasi, komunikasi, kecantikan, kebugaran (wellness), hiburan, rekreasi, dan pariwisata.
Untuk memenuhi segenap kebutuhan yang terus meningkat itu, manusia melakukan berbagai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA (sumber daya alam), baik terdapat di darat maupun di laut. Kemudian SDA tersebut diolah dan dikemas menjadi berbagai macam produk guna memenuhi beragam kebutuhan manusia di atas.
Selain mengandung beragam SDA, berbagai macam ekosistem alam (hutan, rawa, sungai, danau, laut, dan atmosfer) yang menyusun planet bumi juga menyediakan jasa-jasa lingkungan (environmental services) berupa keindahan alam untuk rekreasi dan pariwisata, media transportasi, kapasitas asimilasi untuk menguraikan dan menetralisasi berbagai jenis limbah, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, dan fungsi-fungsi penunjang kehidupan (life-supporting functions) lainnya, yang membuat planet bumi ini cocok, nyaman, dan indah sebagai tempat tinggal dan hidup manusia.
Kerusakan Lingkungan
Persoalannya adalah daya dukung (carrying capacity) ekosistem alam dalam menyediakan ruang kehidupan manusia (pemukiman), SDA, dan jasa-jasa lingkungan itu bersifat terbatas. Namun, pola pembangunan, industrialisasi, dan gaya hidup manusia sejak revolusi industri-1 pada 1750-an kurang atau tidak ramah lingkungan dan tidak mengindahkan keterbatasan daya dukung lingkungan.
Akibatnya, pencemaran, penggundulan hutan, overfishing, terkikisnya keanekaragaman hayati (biodiversity), kepunahan jenis (species extinction), erosi, banjir, dan berbagai bentuk kerusakan lingkungan lainnya, terjadi hampir di seluruh penjuru dunia pada tingkat telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem bumi untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kehidupan manusia.
Akumulasi dampak lingkungan negatif akibat pembalakan hutan; alih fungsi lahan rawa, gambut, estuari, dan ekosistem lainnya untuk pertanian, pertambangan, pemukiman, kawasan industri, dan infrastruktur, serta pembuangan limbah dan emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, dan NOx) oleh berbagai kegiatan industri (pabrik), transportasi dan rumah tangga yang rakus serta semena-mena telah mengakibatkan pemanasan global (global warming).
Selanjutnya peningkatan suhu bumi ini telah mengakibatkan melelehnya gunung es raksasa di Kutub Utara (Samudra Artik) dan Kutub Selatan (Samudra Antartika), peningkatan permukaan laut, badai, banjir, kacaunya pola iklim, cuaca ekstrem, gelombang panas (heat waves), penurunan produktivitas pertanian, ledakan wabah penyakit yang merusak bangunan (property) dan infrastruktur, serta menimbulkan kerugian ekonomi ratusan miliar dolar dan merenggut jutaan nyawa manusia.
Hal mencemaskan, sejak 1750-an hingga sekarang suhu bumi telah meningkat 10C. Padahal bila suhu bumi meningkat lebih dari 20C, niscaya segenap dampak negatifnya akan susah atau tidak bisa ditanggulangi (unmanageable ) dengan iptek yang kita miliki sekarang (IPCC, 2018). Jika laju emisi CO2 global seperti sekarang tidak segera dikurangi, maka dikhawatirkan suhu bumi bakal meningkat sebesar 30C pada 2030 dan bisa mengakibatkan climate catastrophe (malapetaka iklim) global (IPCC, 2018).
Ekonomi Sirkuler
Pada dasarnya, kerusakan lingkungan seperti pencemaran, kelebihan eksploitasi SDA, kepunahan jenis, banjir, dan pemanasan global itu terjadi, karena laju (intensitas) pembangunan berupa konversi ekosistem alam untuk berbagai macam penggunaan lahan (land uses), eksploitasi SDA, pembuangan limbah, emisi GRK (gas rumah kaca), dan kegiatan manusia lainnya melampaui DDL (daya dukung lingkungan) suatu wilayah.
Oleh sebab itu, dari perspektif ekonomi-ekologi, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) hanya dapat diwujudkan dengan memastikan bahwa laju pembangunan di suatu wilayah (kabupaten/ kota, propinsi, negara atau dunia) tidak melampaui DDL wilayah termaksud. Laju pembangunan di suatu wilayah bergantung pada jumlah penduduk, konsumsi SDA per kapita, laju buangan limbah (emisi GRK) per kapita, serta kebutuhan lahan untuk perumahan dan ruang untuk aktivitas kehidupan manusia lainnya per kapita.
Sementara DDL suatu wilayah secara alamiah ditentukan oleh luas wilayah tersebut, potensi SDA-nya, kapasitasnya dalam mengasimilasi limbah dan emisi GRK, keindahan alam, serta fungsi-fungsi penunjang kehidupan yang terdapat di dalamnya.
Menurut Brown (2003), DDL planet bumi secara alamiah untuk dapat mendukung kehidupan umat manusia dengan pendapatan per kapita rata-rata USD8.000 adalah sekitar 8 miliar orang. Untungnya, DDL ekosistem alam atau bumi bisa ditingkatkan dengan aplikasi teknologi dan manajemen. Misalnya, produktivitas sawah secara alamiah sekitar 1,5 ton/ ha/tahun.
Dengan menggunakan teknologi, seperti bibit unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, irigasi, dan precision farming dengan AI (artificial intelligent ), digital , IoT (internet of things), serta teknologi industri 4.0 lainnya, produktivitasnya dapat ditingkatkan menjadi 10-15 ton/ha/tahun. Kendati demikian, DDL suatu wilayah tidak bisa ditingkatkan dengan teknologi tanpa batas.
Ada batas maksimumnya penggunaan teknologi dalam meningkatkan DDL suatu wilayah. Setelah tercapai titik maksimum, peningkatan input teknologi justru akan menurunkan produktivitas dan DDL suatu wilayah (law of diminishing return). Dengan intervensi teknologi dan manajemen, DDL bumi diperkirakan hanya mampu mendukung kehidupan penduduk dunia untuk sekitar 12 miliar orang, dengan rata-rata pendapatan per kapita USD8.000 (Harvard University, 2010).
Pada tataran praksis, DDL wilayah dapat dipelihara dan bahkan ditingkatkan dengan mengimplementasikan RTRW (rencana tata ruang wilayah) secara benar, konsisten, dan berkelanjutan. Minimal 30% dari luas total suatu wilayah mesti dijadikan sebagai kawasan lindung (protected areas) untuk menjamin kelestarian keanekaragaman hayati, plasma nutfah, dan fungsi-fungsi penunjang kehidupan.
Kawasan lindung tidak boleh dikonversi menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, industri, dan peruntukan pembangunan lainnya. Hanya kegiatan penelitian, pendidikan, dan ekowisata yang boleh ada dalam kawasan lindung. Selain itu, kita harus merehabilitasi hutan, danau, sungai, rawa, estuaria, bakau, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem alam lain, yang telah mengalami kerusakan.
Selain perbaikan tata kelola produksi hutan alam dan perikanan tangkap. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, serat (bahan sandang), obat-obatan (farmasi), kayu, kertas, bioenergy, dan komoditas SDA hayati lainnya yang terus naik, kita harus meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability (kelestarian) dari semua usaha budi daya pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, hutan tanaman industri, peternakan, dan perikanan yang ada saat ini.
Secara simultan, kita harus mengganti paradigma pembangunan ekonomi kapitalis (konvensional) yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kekayaan untuk kehidupan konsumtif, mewah dan hedonis diri, keluarga, perusahaan, atau kelompoknya. Dengan paradigma pembangunan ekonomi sirkuler (circular economy) yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkualitas, inklusif, dan ramah lingkungan untuk dunia lebih baik, sejahtera, damai, dan berkelanjutan.
Dalam konsep ekonomi sirkuler, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan harus bisa menyejahterakan seluruh penduduk dunia secara berkeadilan. Tidak seperti yang selama ini terjadi, ketimpangan sosial, baik dalam suatu negara maupun antarnegara cenderung semakin melebar.
Pada 1800, perbedaan antara total PDB negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika Utara dengan negara-negara berkembang (miskin) sebesar 90%. Pada 2000, perbedaannya melonjak secara fenomenal menjadi 750%. Selain itu, pada 2010 total kekayaan 388 orang terkaya di dunia lebih besar dari total kekayaan 50% penduduk dunia (3,3 miliar orang) kelas menengah-bawah.
Kemudian pada 2017, delapan orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan melebihi total kekayaan 50% penduduk dunia kelas menengah-bawah yang jumlahnya semakin naik menjadi 3,6 miliar jiwa (Oxfam International, 2017). Ketimpangan sosial juga menjadi masalah utama bangsa Indonesia, karena 1% orang terkayanya memiliki total kekayaan hampir 50% total kekayaan negara (Credit Suisseís Global Wealth Report, 2016).
Penduduk atau bangsa yang kaya mengonsumsi/menggunakan SDA dan membuang limbah serta emisi GRK jauh lebih besar ketimbang penduduk miskin atau negara berkembang. Contohnya, penggunaan/konsumsi SDA termasuk baja dan konsumsi pangan (protein, mineral, dan vitamin) di negara-negara industri maju itu 70 dan 20 kali lebih besar ketimbang di negara-negara berkembang (WCED, 1987).
Negara-negara maju membuang (emisi) CO2 sebesar 10-20 ton/orang/hari. Sedangkan negara-negara berkembang hanya 0,2-2 ton/orang/hari (Waton, 2007). Dalam konteks ini, boleh jadi benar pernyataan profetik Mahatma Gandhi bahwa “Bumi ini mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh umat manusia, tetapi dia tidak mungkin mampu memenuhi keserakahan manusia “(Schumacher, 1973).
Oleh karena itu, pada tataran mondial, pembangunan berkelanjutan hanya bisa terwujud, bila negara-negara dengan pendapatan per kapita di atas USD12.000 rela mengerem laju pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan SDA, serta pembuangan limbah dan emisi GRK-nya.
Pada saat yang sama, negara-negara maju membantu negara-negara berkembang supaya penduduknya semua hidup sejahtera dengan pendapatan per kapita rata-rata USD8.000. Kemudian bangun sistem dan mekanisme perdagangan serta hubungan internasional lebih adil dan saling menghormati sehingga menguntungkan.
Pada tataran praksis, ekonomi sirkuler mengarusutamakan pembangunan ekonomi yang bersifat rendah/ tanpa limbah dan emisi GRK. Kemudian penggunaan SDA secara produktif dan efisien tidak melebihi kemampuan lestari (sustainable capacity).
Selain itu, penggunaan produk (barang) untuk waktu lebih lama (extending product lifetime) dan penggunaan teknologi 3R (reduce, reuse, dan recycle) untuk mengubah limbah menjadi berkah, green design and construction, mitigasi dan adaptasi bencana alam (global warming, tsunami, gempa bumi, dan banjir), serta peningkatan nilai tambah serta daya saing produk secara berkelanjutan.
(thm)