Mengurai Benang Kusut Stagnasi Industri Keuangan Syariah dan Halal
A
A
A
Ikhsan Abdullah
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch
KETIKA Komite Keuangan Syariah (KNKS) dikumandangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 dan diluncurkan pada 27 Juli 2017, kalangan masyarakat dan dunia usaha banyak menaruh ekspektasi (berharap) pertumbuhan industri keuangan yang berbasis syariah akan bertumbuh dengan pesat, sebagian yang lain berpengharapan dengan tumbuhnya industri keuangan syariah akan dapat menggerakkan industri halal di Indonesia.
Industri halal adalah kegiatan usaha yang menghasilkan barang dan jasa yang berbasis pada penggunaan bahan baku dan bahan pembantu serta proses produksi yang telah dijamin kehalalannya. Harapan itu semakin membesar ketika Presiden yang memimpin KNKS. Masyarakat lalu membayangkan Indonesia akan lebih cepat mengejar ketertinggalannya dari Malaysia dalam industri halal.
Masih segar pada ingatan kita tentunya ketika mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Dr Ahmad Zahid Kamidi periode 2017-2018 memegang kendali langsung industri halal dengan membangun berbagai infrastruktur industri halal dan halal hub pada 2017. Malaysia yang tertinggal jauh dari Indonesia dalam segala hal tiba-tiba pada era 2017 muncul sebagai negara terkemuka di industri halal. Ini sungguh mencengangkan.
Ketika KNKS dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi dan Presiden memberikan penugasan kepada Prof Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro PhD selaku kepala Bappenas periode 2016-2019 untuk menyusun master plan dan tata kelola serta standardisasi pembangunan industri halal, harapan itu semakin menguat.
Kurang Dukungan
Semangat Presiden Jokowi ternyata tidak banyak didukung oleh kementerian terkait, terutama oleh menko perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari tidak bergeraknya industri halal karena semua energi dikerahkan pada kegiatan yang berorientasi pada industri keuangan syariah. Di sisi lain industri halal tetap stagnan. Dari data Global Islamic Economy Report 2017/2018 ternyata Indonesia masih berada di peringkat kedelapan di dunia sebagai negara eksportir bidang farmasi dan kosmetik.
Hal ini menggambarkan kurang berkembangnya industri halal di Indonesia, padahal kita memiliki segenap potensi dan daya dukung, mulai dari jumlah penduduk muslim terbesar di dunia hingga potensi alam dan sumber daya.
Indonesia Satu-satunya Negara yang Mewajibkan Sertifikasi Halal
Orientasi pemangku kebijakan dari Bappenas, menko, hingga gubernur BI masih pada pertumbuhan industri keuangan syariah yang sebaliknya tidak terlihat pada keseriusan membangun dan membenahi infrastruktur industri halal. Ini menyebabkan tidak tumbuhnya kedua industri yang disebutkan di atas.
Indonesia tercatat sebagai negara satu-satunya di dunia yang mewajibkan sertifikasi halal untuk semua produk yang beredar berdasarkan Pasal 4 UU JPH. Akan tetapi, produk halal UMKM yang menurut data statistik berjumlah 3.79 juta produk sampai hari ini belum terjamah oleh sertifikasi halal karena kurangnya sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan masih minimnya kesadaran pelaku usaha UMKM untuk melakukan sertifikasi halal.
Memasuki era mandatori sertifikasi halal pada 2019, tetapi persiapan menuju masa wajib sertifikasi halal belum tampak jelas roadmap-nya. Sebut saja auditor halal yang ada baru 1200 orang. Itu pun dimiliki LPPOM MUI. Padahal, untuk melakukan sertifikasi halal bagi 3.79 juta produk UMKM diperlukan paling sedikit 35.000 sampai 40.000 auditor halal. Itu pun memerlukan waktu sekitar 35 tahun dengan asumsi 3.79 juta produk dibagi 35.000 orang auditor halal dan lamanya proses sertifikasi halal tiga bulan per produk sehingga masing-masing auditor memeriksa 105 produk.
Bila sertifikasi halal dapat diselesaikan rata-rata dalam tiga bulan per produk, waktu yang diperlukan adalah 317 bulan atau kurang lebih 26 tahun untuk menyelesaikan 3.79 juta produk UMKM. Tentu saja diperlukan upaya serius dan kecukupan anggaran dari pemerintah.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang Belum Siap
Pembentukan BPJPH pada 17 Oktober 2017 sesuai dengan UU JPH juga belum memberikan daya dorong bagi pertumbuhan industri halal di Tanah Air. Kondisinya tidak berubah dari 2017 Oktober sampai hari ini karena BPJPH sampai hari ini bahkan belum mampu mencetak satu auditor halal dan satu pun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Tentu saja ini merupakan kendala utama berkembangnya industri halal.
Dengan kondisi yang demikian, peran LPPOM MUI yang telah memiliki pengalaman lebih dari 25 tahun dengan daya dukung auditor halal sejumlah 1200 auditor halal dan perangkat laboratorium tentu masih harus diperkuat oleh pemerintah baik dari sisi organisasi maupun anggaran dalam rangka pelaksanaan mandatori sertifikasi halal sambil menunggu kesiapan BPJPH berfungsi.
Instrumen berupa peraturan presiden (perpres) kepada LPPOM MUI untuk menjalankan kewenangan melakukan sertifikasi halal sampai BPJPH berfungsi sebagaimana amanat Pasal 59 dan 60 UU JPH adalah yang paling reasonable untuk mempercepat pertumbuhan industri halal sesuai yang diharapkan.
Keberadaan BPJPH saat ini tidak dapat dipaksakan untuk berfungsi karena berbagai kendala yang membelitnya antara lain sampai saat ini belum terbit Peraturan Pelaksana (PP) UU JPH. Kalaupun PP diterbitkan, akan menimbulkan berbagai persoalan baru, di samping dianggap telah kedaluwarsa sesuai Pasal 65 UU JPH yang menyatakan bahwa PP sudah harus terbit dua tahun sejak Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 diundangkan (UU JPH diundangkan pada 17 Oktober 2014, saat ini UU JPH memasuki masa lima tahun).
Hambatan lain berupa belum terbitnya peraturan pelaksana mengenai standardisasi dan tarif sertifikasi halal sehingga kita harus merelakan bila kehadiran BPJPH ini masih perlu waktu beberapa tahun lagi untuk dapat berfungsi sebagai penyelenggara sistem jaminan produk halal. Perlunya perpres diberikan kepada LPPOM MUI dalam rangka untuk memberikan penguatan untuk memacu tumbuhnya produk halal besertifikasi, untuk pemenuhan kebutuhan domestik, dan juga didorong untuk ekspor.
Dengan capaian target jutaan produk yang disertifikasi halal, maka kebutuhan masyarakat terhadap produk halal yang meliputi makanan, minuman, obat, kosmetika, dan barang gunaan dapat terpenuhi dan dapat didorong untukekspor, mengingat Indonesia menempati peringkat pertama dari 10 negara sebagai pengonsumsi produk halal terbesar di dunia yang membelanjakan 170 M dolar AS (data Global Islamic Economy Report 2018/2019).
Kondisi Industri Halal dan Keuangan Syariah
Industri keuangan syariah di Indonesia tidak menggarap potensi industri yang berbasis pada produk halal. Sebaliknya, industri halal yang berbasis UMKM juga tidak maksimal menggunakan jasa perbankan syariah, bahkan industri halal sekelas Indofood dengan produk Indomienya yang telah diekspor ke berbagai negara juga belum maksimal memanfaatkan jasa keuangan syariah. Inilah gambaran buram yang masih mewarnai.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia Fery Warjiyo pada kesempatan silaturahmi Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Masyarakat Ekonomi Syariah yang menganalogikan bahwa hubungan industri keuangan syariah dengan industri halal seperti hubungan bus dan penumpangnya. Bus yang digambarkan sebagai bisnis keuangan syariah, penumpang diibaratkan sebagai industri produk halal.
Bus tidak akan pernah penuh penumpang karena penumpangnya tidak merasa harus menggunakan bus tersebut, tetapi masih banyak menggunakan bus lain yang dirasakan lebih mudah dan murah sehingga belum terjadi sinergi antara bus dan penumpang.
Mengintegrasikan Industri Halal dalam Industri Keuangan Syariah
Dalam pandangan penulis, mengintegrasikan industri halal dengan industri keuangan syariah adalah mutlak diperlukan dengan berbagai insentif dan instrumen baik berupa kemudahan, kemurahan, juga diperlukannya regulasi dan instrumen hukum mulai dari peraturan gubernur BI, peraturan menteri keuangan, peraturan menteri agama, hingga fatwa MUI yang bertujuan untuk menggerakkan terjadinya sinergi terebut.
Industri keuangan syariah mutlak diarahkan untuk membiayai kegiatan usaha UMKM dan medium enterprise yang berbasis pada produk halal, tidak untuk membiayai industri lain, atau kegiatan usaha lain. Sebaliknya, kegiatan usaha UMKM yang berbasis pada produk halal juga harus diarahkan untuk memanfaatkan jasa perbankan syariah sehingga terjadi relasi hubungan yang saling bersinergi sesuai dengan tujuan bahwa kegiatan usaha dan atau industri halal harus dibiayai dengan jasa keuangan syariah. Tidak seperti yang terjadi saat ini tidak adanya konsistensi yang dilakukan oleh kedua pelaku usaha tersebut sehingga tidak memacu pertumbuhan kedua industri sebagaimana dimaksud.
Padahal, dalam kegiatan syariah, dari hulu ke hilir proses yang dilakukan harus berbasis pada ketentuan syariah sehingga tidak menyimpang dari prinsip-prinsip industri keuangan syariah maupun industri halal. Diharapkan, dalam tahun 2019 akhir, master plan dan tata kelola industri keuangan syariah dan industri halal dapat diimplementasikan sehingga pada 2022 Indonesia dapat melecut menjadi industri keuangan syariah dan industri halal terkemuka di dunia.
Ini adalah tantangan yang tentu saja sangat berat sekaligus sangat menarik dan peluang bagi dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah sehingga mimpi Indonesia menjadi negara industri keuangan dan industri halal nomor satu di dunia tidak sekadar angan-angan.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch
KETIKA Komite Keuangan Syariah (KNKS) dikumandangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 dan diluncurkan pada 27 Juli 2017, kalangan masyarakat dan dunia usaha banyak menaruh ekspektasi (berharap) pertumbuhan industri keuangan yang berbasis syariah akan bertumbuh dengan pesat, sebagian yang lain berpengharapan dengan tumbuhnya industri keuangan syariah akan dapat menggerakkan industri halal di Indonesia.
Industri halal adalah kegiatan usaha yang menghasilkan barang dan jasa yang berbasis pada penggunaan bahan baku dan bahan pembantu serta proses produksi yang telah dijamin kehalalannya. Harapan itu semakin membesar ketika Presiden yang memimpin KNKS. Masyarakat lalu membayangkan Indonesia akan lebih cepat mengejar ketertinggalannya dari Malaysia dalam industri halal.
Masih segar pada ingatan kita tentunya ketika mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Dr Ahmad Zahid Kamidi periode 2017-2018 memegang kendali langsung industri halal dengan membangun berbagai infrastruktur industri halal dan halal hub pada 2017. Malaysia yang tertinggal jauh dari Indonesia dalam segala hal tiba-tiba pada era 2017 muncul sebagai negara terkemuka di industri halal. Ini sungguh mencengangkan.
Ketika KNKS dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi dan Presiden memberikan penugasan kepada Prof Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro PhD selaku kepala Bappenas periode 2016-2019 untuk menyusun master plan dan tata kelola serta standardisasi pembangunan industri halal, harapan itu semakin menguat.
Kurang Dukungan
Semangat Presiden Jokowi ternyata tidak banyak didukung oleh kementerian terkait, terutama oleh menko perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari tidak bergeraknya industri halal karena semua energi dikerahkan pada kegiatan yang berorientasi pada industri keuangan syariah. Di sisi lain industri halal tetap stagnan. Dari data Global Islamic Economy Report 2017/2018 ternyata Indonesia masih berada di peringkat kedelapan di dunia sebagai negara eksportir bidang farmasi dan kosmetik.
Hal ini menggambarkan kurang berkembangnya industri halal di Indonesia, padahal kita memiliki segenap potensi dan daya dukung, mulai dari jumlah penduduk muslim terbesar di dunia hingga potensi alam dan sumber daya.
Indonesia Satu-satunya Negara yang Mewajibkan Sertifikasi Halal
Orientasi pemangku kebijakan dari Bappenas, menko, hingga gubernur BI masih pada pertumbuhan industri keuangan syariah yang sebaliknya tidak terlihat pada keseriusan membangun dan membenahi infrastruktur industri halal. Ini menyebabkan tidak tumbuhnya kedua industri yang disebutkan di atas.
Indonesia tercatat sebagai negara satu-satunya di dunia yang mewajibkan sertifikasi halal untuk semua produk yang beredar berdasarkan Pasal 4 UU JPH. Akan tetapi, produk halal UMKM yang menurut data statistik berjumlah 3.79 juta produk sampai hari ini belum terjamah oleh sertifikasi halal karena kurangnya sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan masih minimnya kesadaran pelaku usaha UMKM untuk melakukan sertifikasi halal.
Memasuki era mandatori sertifikasi halal pada 2019, tetapi persiapan menuju masa wajib sertifikasi halal belum tampak jelas roadmap-nya. Sebut saja auditor halal yang ada baru 1200 orang. Itu pun dimiliki LPPOM MUI. Padahal, untuk melakukan sertifikasi halal bagi 3.79 juta produk UMKM diperlukan paling sedikit 35.000 sampai 40.000 auditor halal. Itu pun memerlukan waktu sekitar 35 tahun dengan asumsi 3.79 juta produk dibagi 35.000 orang auditor halal dan lamanya proses sertifikasi halal tiga bulan per produk sehingga masing-masing auditor memeriksa 105 produk.
Bila sertifikasi halal dapat diselesaikan rata-rata dalam tiga bulan per produk, waktu yang diperlukan adalah 317 bulan atau kurang lebih 26 tahun untuk menyelesaikan 3.79 juta produk UMKM. Tentu saja diperlukan upaya serius dan kecukupan anggaran dari pemerintah.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang Belum Siap
Pembentukan BPJPH pada 17 Oktober 2017 sesuai dengan UU JPH juga belum memberikan daya dorong bagi pertumbuhan industri halal di Tanah Air. Kondisinya tidak berubah dari 2017 Oktober sampai hari ini karena BPJPH sampai hari ini bahkan belum mampu mencetak satu auditor halal dan satu pun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Tentu saja ini merupakan kendala utama berkembangnya industri halal.
Dengan kondisi yang demikian, peran LPPOM MUI yang telah memiliki pengalaman lebih dari 25 tahun dengan daya dukung auditor halal sejumlah 1200 auditor halal dan perangkat laboratorium tentu masih harus diperkuat oleh pemerintah baik dari sisi organisasi maupun anggaran dalam rangka pelaksanaan mandatori sertifikasi halal sambil menunggu kesiapan BPJPH berfungsi.
Instrumen berupa peraturan presiden (perpres) kepada LPPOM MUI untuk menjalankan kewenangan melakukan sertifikasi halal sampai BPJPH berfungsi sebagaimana amanat Pasal 59 dan 60 UU JPH adalah yang paling reasonable untuk mempercepat pertumbuhan industri halal sesuai yang diharapkan.
Keberadaan BPJPH saat ini tidak dapat dipaksakan untuk berfungsi karena berbagai kendala yang membelitnya antara lain sampai saat ini belum terbit Peraturan Pelaksana (PP) UU JPH. Kalaupun PP diterbitkan, akan menimbulkan berbagai persoalan baru, di samping dianggap telah kedaluwarsa sesuai Pasal 65 UU JPH yang menyatakan bahwa PP sudah harus terbit dua tahun sejak Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 diundangkan (UU JPH diundangkan pada 17 Oktober 2014, saat ini UU JPH memasuki masa lima tahun).
Hambatan lain berupa belum terbitnya peraturan pelaksana mengenai standardisasi dan tarif sertifikasi halal sehingga kita harus merelakan bila kehadiran BPJPH ini masih perlu waktu beberapa tahun lagi untuk dapat berfungsi sebagai penyelenggara sistem jaminan produk halal. Perlunya perpres diberikan kepada LPPOM MUI dalam rangka untuk memberikan penguatan untuk memacu tumbuhnya produk halal besertifikasi, untuk pemenuhan kebutuhan domestik, dan juga didorong untuk ekspor.
Dengan capaian target jutaan produk yang disertifikasi halal, maka kebutuhan masyarakat terhadap produk halal yang meliputi makanan, minuman, obat, kosmetika, dan barang gunaan dapat terpenuhi dan dapat didorong untukekspor, mengingat Indonesia menempati peringkat pertama dari 10 negara sebagai pengonsumsi produk halal terbesar di dunia yang membelanjakan 170 M dolar AS (data Global Islamic Economy Report 2018/2019).
Kondisi Industri Halal dan Keuangan Syariah
Industri keuangan syariah di Indonesia tidak menggarap potensi industri yang berbasis pada produk halal. Sebaliknya, industri halal yang berbasis UMKM juga tidak maksimal menggunakan jasa perbankan syariah, bahkan industri halal sekelas Indofood dengan produk Indomienya yang telah diekspor ke berbagai negara juga belum maksimal memanfaatkan jasa keuangan syariah. Inilah gambaran buram yang masih mewarnai.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia Fery Warjiyo pada kesempatan silaturahmi Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Masyarakat Ekonomi Syariah yang menganalogikan bahwa hubungan industri keuangan syariah dengan industri halal seperti hubungan bus dan penumpangnya. Bus yang digambarkan sebagai bisnis keuangan syariah, penumpang diibaratkan sebagai industri produk halal.
Bus tidak akan pernah penuh penumpang karena penumpangnya tidak merasa harus menggunakan bus tersebut, tetapi masih banyak menggunakan bus lain yang dirasakan lebih mudah dan murah sehingga belum terjadi sinergi antara bus dan penumpang.
Mengintegrasikan Industri Halal dalam Industri Keuangan Syariah
Dalam pandangan penulis, mengintegrasikan industri halal dengan industri keuangan syariah adalah mutlak diperlukan dengan berbagai insentif dan instrumen baik berupa kemudahan, kemurahan, juga diperlukannya regulasi dan instrumen hukum mulai dari peraturan gubernur BI, peraturan menteri keuangan, peraturan menteri agama, hingga fatwa MUI yang bertujuan untuk menggerakkan terjadinya sinergi terebut.
Industri keuangan syariah mutlak diarahkan untuk membiayai kegiatan usaha UMKM dan medium enterprise yang berbasis pada produk halal, tidak untuk membiayai industri lain, atau kegiatan usaha lain. Sebaliknya, kegiatan usaha UMKM yang berbasis pada produk halal juga harus diarahkan untuk memanfaatkan jasa perbankan syariah sehingga terjadi relasi hubungan yang saling bersinergi sesuai dengan tujuan bahwa kegiatan usaha dan atau industri halal harus dibiayai dengan jasa keuangan syariah. Tidak seperti yang terjadi saat ini tidak adanya konsistensi yang dilakukan oleh kedua pelaku usaha tersebut sehingga tidak memacu pertumbuhan kedua industri sebagaimana dimaksud.
Padahal, dalam kegiatan syariah, dari hulu ke hilir proses yang dilakukan harus berbasis pada ketentuan syariah sehingga tidak menyimpang dari prinsip-prinsip industri keuangan syariah maupun industri halal. Diharapkan, dalam tahun 2019 akhir, master plan dan tata kelola industri keuangan syariah dan industri halal dapat diimplementasikan sehingga pada 2022 Indonesia dapat melecut menjadi industri keuangan syariah dan industri halal terkemuka di dunia.
Ini adalah tantangan yang tentu saja sangat berat sekaligus sangat menarik dan peluang bagi dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah sehingga mimpi Indonesia menjadi negara industri keuangan dan industri halal nomor satu di dunia tidak sekadar angan-angan.
(thm)