Kaleidoskop Politik Terheboh Sepanjang 2018

Minggu, 30 Desember 2018 - 11:23 WIB
Kaleidoskop Politik...
Kaleidoskop Politik Terheboh Sepanjang 2018
A A A
PANGI SYARWI CHANIAGO
Analis Politik, Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting

MEMASUKI tahun politik, tensi politik di 2018 mulai memanas. Partai politik mulai mengambil ancang-ancang untuk menyambut tahun politik 2019. Kalau kita cermati, pemilu 2019 adalah pemilu pertama dalam sejarah demokrasi kita di mana pilpres diselenggarakan bersamaan/serentak dengan pileg.

Bangsa ini belum punya pengalaman penyelenggaraan pilpres dan pileg serentak, apakah akan menguntungkan parpol yang mengusung kadernya menjadi capres karena efek ekor jas (coattaill effect) lalu bagaimana nasib parpol yang tidak punya tiket capres. Hal ini yang kita tunggu-tunggu terkait plus-minus pilpres dan pileg diselenggarakan secara serentak pada tahun 2019.

Yang jelas begini, bangsa ini masih mencari pola sistem pemilu yang ideal. Pertanyaan menarik misalnya apakah pilpres dan pileg serentak efektif/efisien menghemat/menekan biaya pemilu yang terlalu tinggi (high cost)?

Konstelasi politik disepanjang tahun 2018 termasuk bising, memekakkan ruang opini publik, wajar dan bagaimana tidak, tahun 2018 adalah tahun pemanasan, di mana parpol sudah mendaftar sebagai peserta pemilu, dilanjutkan dengan pendaftaran capres dan cawapres ke KPU dan serta penetapan DPT pilpres/pileg 2019 oleh KPU.

Ada beberapa fenomena politik yang hangat diperbincangkan sepanjang tahun 2019. Yang cukup riuh terkait pemberian Kartu Kuning untuk Jokowi dari BEM UI (02/02/18). Demontsrasi yang terbilang cukup kreatif dan unik, bentangan emperis selama ini kalau menyampaikan aspirasi, menyuarakan tuntutan umumnya dilakukan dengan melakukan aksi demontrasi dengan turun ke jalan. Namun menarik, demontrasi dengan mengangkat kartu kuning diberikan sebagai ekspresi karena presiden Jokowi dianggap gagal.

Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa memberikan kartu kuning kepada presiden Joko Widodo pada acara Dies Natalis Ke 68 UI. Peringatan dan evaluasi di tahun keempat pemerintahan Jokowi. Salah satu isu tersebut adalah soal gizi buruk di suku Asmat, isu penghidupan kembali dwifungsi TNI/Polri serta penerapan peraturan baru organisasi mahasiswa.

Selanjutnya, penetapan nomor urut partai politik peserta pemilu 2019 (18/02/18). Ini menjadi momen maha penting terutama bagi partai baru yang dinyatakan lolos seleksi. Ini langkah awal yang baik bagi parpol baru seperti partai Perindo, PSI, Partai Berkarya, partai Garuda yang dinyatakan resmi lolos sebagai partai peserta pemilu 2019.

Sementara, 2 partai yang sempat gagal melaju ke tahapan pemilu 2019 adalah Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Keduanya gagal karena dinyatakan tidak lolos verifikasi peserta peserta pemilu. Namun dengan perjuangannya, dua partai tersebut akhirnya lolos, memenuhi syarat verifikasi sebagai partai peserta pemilu.

Apakah partai baru tersebut bakal lolos parlementry threshold dan bakal mempunyai wakil rakyat di parlemen? menarik untuk kita tunggu-tunggu.

Kemudian, yang sempat menghebohkan terkait puisi Sukmawati dituduh lecehkan Islam (02/03/18). Membuat tensi politik cukup memanas, terus berlanjut dan tiada berhenti kasus penistaan agama, secara tak langsung merusak citra pemerintahan Jokowi. Harus kita akui bahwa di rezim pemerintahan Jokowi yang paling banyak terjadi kasus penistaan agama./

Puisi Sukmawati Soekarnoputri yang dibacakan dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week menuai kontroversi. Pasalnya, puisi tersebut dianggap menista agama karena menyinggung azan dan cadar.

Kecaman pun datang bertubi-tubi. Bahkan ia juga dilaporkan ke polisi karena penistaan agama. Namun, ini yang membuat umat Islam marah, karena pemerintah lambat, tak merespon cepat, seperti kasus penistaan Agama Victor Laiskodat, Guntur Romli dan Ade Armando. Namun giliran kubu sang penantang yang melakukan penistaan langsung diproses cepat alias tak membutuhkan waktu lama. Ini yang belakangan menurunkan elektabilitas dan citra Jokowi di mata umat Islam.

Selanjutnya, hal yang cukup menghentakkan ruang publik kita soal pidato Prabowo Indonesia Bubar 2030. Pidato yang cukup menghebohkan, video tersebut berdurasi 1 menit 13 detik. Banyak yang mengecam dan banyak yang membela.

Bagi kubu incumbent melihat konteks dan makna pidato Prabowo tak pantas dan Prabowo terkesan sebagai pemimpin yang pesimis, bukan membawa harapan.

Bagi kubu oposisi pidato tersebut ditanggapi wajar dan ngak perlu reaksioner meresponnya. Konteks pidato tersebut bahwa bumi, air, kekayaan alam yang ada dalam perut bumi Indonesia belum sepenuhnya berdaulat kita memilikinya, soal nasionalis dan bagaimana Indonesia berdiri di atas kaki sendiri, mandiri dan berdaulat secara politik dan ekonomi.

Tak kalah hebohnya, membuat tensi jagat politik memanas soal teka teki koalisi capres dan cawapres, akhirnya terjawab sudah. Prabowo mendeklarisan Sandiaga Uno sebagai cawapres (09/08/18). Sementara Jokowi menetapkan cawapresnya dari ulama.

Salah satu bukti keberpihakan Jokowi terhadap umat, menit-menit terahir (last minute) Jokowi memutuskan memilih ulama yaitu Kiyai Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden pendampingnya. Setelah sebelumnya nama Mahfud MD bakal digadang -gadang sebagai calon kuat pendamping Jokowi (09/08/18).

Pasangan capres dan cawapres banyak ditunggu-tunggu masyarakat, bagi parpol membangun koalisi capres dan cawapres sangat melelahkan dan cukup menguras tenaga. Karena mereka harus melakukan lobi tingkat tinggi dan melakukan komunikasi dan pertemuan berkali-kali sehingga keluar nama-nama tersebut, dari nama yg muncul terulang kembali pertarungan lama yaitu head to head Jokowi vs Prabowo dengan komposisi wakil yang baru.

Pada waktu bersamaan, cukup menghebohkan dan memantik polemik sejagat raya yaitu soal politisi "kardus" yang dilontarkan Andi Arief pasca penetapan pasangan Prabowo-Sandi (10/08/18). Ini cukup menjadi perbincangan hangat, dalam cuitannya di Twitter, Andi menggunakan istilah 'Jenderal Kardus' soal pernyataan mahar. Wasekjen Partai Demokrat (PD) tersebut menjelaskan perihal uang masing-masing Rp 500 M yang disebut dari Sandiaga Uno untuk menjinakkan PAN dan PKS yang sebelumnya ngotot dan ambisius kadernya jadi cawapres.

Setelah prosesi pendaftaran pasangan kandidat capres-cawapres, momen pengundian nomor urut juga menyedot perhatian publik, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin mendapat nomor urut 01 dan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno dengan nomor urut 02.

Yang tak kalah hehohnya, kasus Hoax Ratna Sarumpaet, (03/10/18). Hoaks yang dilakukan Ratna Sarumpaet menyebabkan "likuifaksi" terhadap partai-partai pendukung. Ratna pada akhirnya mengakui bahwa beliau pencipta hoax terbaik. Prabowo minta maaf ke publik soal Hoax Ratna sarumpaet karena Prabowo melakukan konfrerensi pers dan percaya, empati dan reaksioner terkait hoax penganiayaan babak belur wajah Ratna Sarumpaet yang belakangan hanya bekas operasi plastik (04/10/18).

Begitu juga memasuki masa kampanye publik disuguhkan drama saling serang dan saling sindir dari kedua kubu, mulai dari pidato yang cukup menghebohkan seperti pidato Prabowo "make Indonesia great again" (12/10/18). Pidato jokowi "Game of Thrones" (12/10/18). Politik dapur ala Sandiaga Uno tempe setipis ATM, chicken rice.

Jokowi Sebut banyak politisi sontoloyo (25/10/18). Pidato Prabowo "Tampang Boyolali" (05/11/18). Pidato Jokowi "politisi Genderuwo" (11/11/18). Pidato Prabowo "Tamat SMA jadi tukang ojek" (23/11/18). Pidato Jokowi soal saya tabok.

Kemudian pidato Prabowo pada Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul International Convention Center (SICC), Jawa Barat, Senin (17/12/2018), Prabowo mengatakan bahwa sistem ini kalau diteruskan akan mengakibatkan Indonesia lemah. Indonesia semakin miskin dan semakin tidak berdaya bahkan bisa punah, "Karena itu kita tidak bisa kalah. Kita tidak boleh kalah. Kalau kita kalah, negara ini bisa punah,". Prabowo tak pantas mengunakan diksi frasa tersebut, Prabowo tak pantas jadi presiden, karena diksi/frasa yang dipakai tidak mencerminkan bahasa kebijaksanaan.

Dari semua konten pidato Jokowi dan Prabowo yang menuai polemik dan kontroversial apakah itu bagian dari strategi politik? Mengunakan bahasa kelas bawah, sehingga diksi dan frasa yang keluar mudah dimengerti oleh rakyat yang ngak sekolah sekali-pun.

Namun sangat disayangkan, narasi dan konten pidato kampanye masih jauh dari substansi, sangat dangkal dan kering literasi. Perang kata-kata, perang urat saraf, diksi dan saling-sindir capres dan cawapres berselancar dengan isu murahan yang tak berbobot. Mulai dari frasa politik Gendoruwo, Sontoloyo, tampang Bayolali, budek/buta, tempe setipis ATM dan Tabok mendapat aksi reaksi yang memekakkan ruang opini publik.

Kemudian, isu politik tak kalah menariknya yakni memecah kebuntuan politik PKS menawarkan Janji politik akan hapus pajak motor dan berlakukan SIM seumur hidup (23/11/18). Janji politik PKS dalam rangka memenangkan hati rakyat, janji politik tersebut merupakan respon PKS terhadap situasi dan kondisi rill di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat, program ini langsung bersentuhan dengan masyarakat kelas bawah (miskin). Bentuk keberpihakan pada masyarakat yang lebih luas.

Yang paling menegangkan yaitu aksi reuni 212 (02/12/18). Apakah ada aroma politis dalam reuni 212? Saya katakan tentu ada, gerakan moral melawan kriminalisasi ulama, penistaan agama dan ghiroh persaudaraan, persatuan sesama umat adalah agenda utamanya. Sementara konsolidasi politik mengarah pada salah satu capres hanya bagian dari bonus saja.

Penolakan secara halus dengan pelbagai alasan penyelenggaraan reuni 212 sehingga tidak jadi mengundang Jokowi dalam reuni tersebut jelas kental bau amis aroma politisnya.

Prabowo hadir, apakah Prabowo diuntungkan secara elektoral? Prabowo mendapat panggung sehingga tercitrakan sebagai capres yang empati, peduli dan bagian dari umat, hadir memberikan semangat, menyapa dan menyalami massa reuni 212.

Prabowo angkat topi dan sangat bangga dengan persaudaraan dan persatuan umat Islam. Itu yang saya maksud bahwa Prabowo cukup berhasil memainkan, piawai dan cukup mahir mengelola perasaan sentimen dan isu umat.

Pertanyaan sederhana, seberapa besar pengaruh massa alumni 212 dalam Pilpres 2019? Benarkah suara mereka lebih cenderung memilih Prabowo? Sulit secara logika sehat massa reuni 212 memilih Jokowi. Yang jelas aksi moral reuni 212 berhasil dikelola, dikonsolidasi dan dimaintenance menjadi gerakan politik, terbukti pasca aksi 212 elektabilitas Prabowo- Sandi trend-nya naik sementara Jokowi- Ma,ruf justru stagnan kalau kita komparasi dari pelbagai lembaga survei elektabilitas.

Selanjutnya isu yang tak kalah bising-nya yaitu wacana TKN Prabowo-Sandi pindah ke Jawa Tengah (10/12/18). Turbulensi politik meninggi terkait pindahnya posko BPN Prabowo-Sandi ke Jawa Tengah, isu ini sempat mengusik kandang Banteng.

Kalau kita cermati, BPN Prabowo-Sandi sedang melakukan penetrasi dan ekspansi ke jantung lawan. Saya pikir ini adalah sesuatu yang normal, Prabowo-Sandi sedang berupaya memperkecil ketimpangan (margingap) elektoral khususnya di Jawa Tengah.

Paling tidak mencoba mengimbangi suara Jokowi di Jawa Tengah, syukur-syukur kalau menang, dan sulit memang karena medan tempurnya ngak mudah, unik dan punya tantangan tersendiri. Namun sepertinya BPN Prabowo-Sandi sedang melakukan cek ombak (testing the water).

Pada pilpres 2014 di Jawa Tengah, perolehan suara Jokowi-JK jauh lebih unggul sebesar 12.959.540 (66,65 persen) dibandingkan suara Prabowo-Hatta sebesar 6.485.720 (33,35 persen).

Kita sepakat bahwa Jawa adalah kunci, memenangkan kantong suara Jawa otomaticly memenangkan pilpres 2019. Prabowo harus kembali menghitung dan meng-kalkulasi ulang faktor kekalahannya di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada pilpres tahun 2014.

Kemudian, sempat membuat geger iklim politik soal La Nyalla Mattalitti "bertaubat" akui fitnah Jokowi. bergabung menjadi tim sukses Jokowi (12/12/18). Yang pernah ikut menyebarkan hoax terhadap Jokowi dengan mengaitkan dengan anggota PKI di pilpres 2014 dan tabloid Obor Rakyat, ketika itu La Nyalla masih menjadi kader Gerindra pimpinan Prabowo Subianto.

Beliau tidak diseret ke ranah hukum dan tidak mem-pidanakannya karena La Nyalla sudah meminta maaf ke Presiden Jokowi. Menurut pembacaan saya, Jokowi kembali melakukan blunder politik, citranya makin rusak. Hukum itu tidak selesai oleh permintaan maaf, terkesan Jokowi melindungi dan bekerjasama dengan pembuat hoax terbaik.

Apa bedanya ini dengan kasus Ratna Sarumpaet, yang beliau juga minta maaf mengakui pencipta hoax terbaik, lalu menggapa Ratna nasibnya berbeda nasibnya dengan La-Nyalla?

Bagaimana ceritanya Jokowi menerima La-Nyalla menjadi bagian tim sukses bekerjasama dengan Jokowi. Hukum tidak boleh dikelola sarampangan, hukum harus di atas kekuasaan, hukum tidak boleh tunduk pada kehendak dan realitas politik. Itu artinya La-Nyalla juga juga harus dihukum sama seperti kasus Ratna Sarumpaet.

Yang menarik lagi, ketika presiden Jokowi mengunjungi Jambi, rendahnya harga sawit dan karet, beliau minta petani menanam jengkol dan petai.

Presiden Joko Widodo menyarankan kepada masyarakat yang sebelumnya berkebun kelapa sawit agar beralih menanam jengkol dan petai. Harga jual kelapa sawit yang menurun drastis di Indonesia, menjadi alasan Jokowi meminta petani beralih ke komoditas dengan harga terjangkau.

Ide presiden Jokowi bagus dan ngak salah. Namun, di mana pasar jengkol dan petai? kalau kita cermati bahwa jengkol dan petai musim panennya dalam setahun hanya 2 kali, sementara kalau kita bandingkan dengan sawit dan karet, bisa panen setiap minggu, rakyat apakah mampu menunggu 6 bulan sebelum masa panen, bagaimana masyarakat mengakali makan kebutuhan sehari hari, sampai menunggu musim panen?

Alangkah baiknya presiden Jokowi menjelaskan ke petani karet dan Sawit misalnya kebijakan paket yang sudah ditempuh, upaya pemerintah dalam rangka menaikkan harga sawit dan karet, sejauh mana progres usaha pemerintah menaikkan harga komoditas tersebut, agenda dan langkah yang sudah ditempuh pemerintah dalam mengenjot harga karet dan sawit sehingga kembali normal.

Kalau presiden kemudian menyuruh petani menebang karet dan sawit lalu digantikan dengan menanam jengkol dan petai. Saya pikir ini langkah dan kebijakan yang keliru (bunuh diri politik), makin tak empati khususnya petani karet dan sawit ke Jokowi, rusak citra beliau, dugaan saya besar kemungkinan petani karet sawat tidak akan memilih beliau menjadi presiden dua periode karena solusi yang ditawarkan pemerintah mengecewakan, hampir tak ada harapan bagi mereka.

Yang paling terbaru, Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Alumunium (inalum) resmi menggenggam 51,23 persen saham PT. Freeport Indonesia dengan membayarkan US$3,85 miliar atau sekitar Rp56 triliun (kurs Rp14.500 per Dolar AS).

Pemerintah Indonesia berhasil dan membawa kejutan, lewat PT Inalum sudah lunas membayar, itu artinya PT Freeport Indonesia 51,2 persen sudah beralih ke PT Inalum.

Merupakan momen bersejarah sejak PT Freeport Indonesia pertama kali beroperasi di Indonesia pada 1973. Selama bertahun-tahun, Indonesia hanya mengempit sekitar 9,36 persen saham Freeport Indonesia.

Terlepas apakah ini kebijakan tersebut berbau amis aroma politis menjelang pilpres, namun yang jelas kebijakan berani tersebut patut kita apresiasi, diharapkan menguntungkan rakyat Papua khususnya dan Indonesia pada umumnya. Yang jelas bonusnya mengangkat citra dan elektabilitas Jokowi yang sebelumnya meragukan kemampuan/keberanian presiden Jokowi melakukan penguasaan aset strategis negara (nasionalisasi).

Desakan mundur terhadap dewan pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais oleh sebagian pendiri PAN menjadi perbincangan hangat menjelang pergantian tahun 2018.

Sebagian pendiri PAN mempersoalkan sikap Amien Rais yang mereka nilai telah melanggar nilai-nilai dan azaz perjuangan partai dan memanfaatkan agama demi kepentingan politik pribadi.

Pernyataan ini dibuat melalui surat terbuka yang ditandatangani oleh Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Goenawan Mohammad, Toeti Heraty Zumrotin, kini surat terbuka tersebut telah beredar luas dan menjadi perbincangan publik.

Patut diduga, kelima pendiri PAN di atas, yang sudah lama non aktif di pengurusan PAN dipakai untuk menjadi kaki tangan lawan politik untuk melemahkan/mematikan mesin dukungan PAN terhadap Prabowo-Sandi, kelima pendiri PAN tersebut ditanam lawan politik untuk melakukan operasi pembelahan dan dualisme pada kepengurusan PAN itu sendiri. Ini terjadi, tak bisa lepas dari pertarungan pilpres, melakukan permainan mengoreng PAN, sangat disayangkan berpolitik memecah belah dan melakukan pembelahan di internal PAN, sangat norak.

Surat terbuka tersebut mengindikasikan adanya kejanggalan dalam upaya mendongkel dan men-deligitimasi posisi Amin Rais dari struktur partai. Adanya manuver politik oleh mantan pendiri Partai. Manuver politik ini sangat jelas terbaca di mana adanya perbedaan pandangan dalam dukungan terhadap calon presiden.

Sikap Amien Rais yang memposisikan diri berseberangan dengan pemerintah dan dukungan pada Prabowo adalah pemicu utama dari kritik mantan pendiri PAN tersebut. Namun politik belah bambu ini nampaknya tak akan berhasil memecah PAN dari dalam, soliditas PAN dan kekuatan politik Amin Rais cukup kuat.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7540 seconds (0.1#10.140)