Democratic Policing dan Keamanan Nasional

Kamis, 27 Desember 2018 - 06:36 WIB
Democratic Policing dan Keamanan Nasional
Democratic Policing dan Keamanan Nasional
A A A
Muradi
Direktur Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung

DALAM setahun terakhir wacana Perpolisian Demokratik (Democratic Policing) menguat dan menjadi pembicaraan di institusi keamanan, baik TNI, Polri, maupun Badan Intelijen Negara (BIN) serta para peneliti dan kajian pertahanan dan keamanan. Bahkan dengan bantuan media sosial, wacana democratic policing tersebut viral ke banyak grup komunikasi dan keluar dari konteks democratic policing itu sendiri.
Bahkan, karena berdekatan dengan pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, wacana democratic policing dibaca dan dipahami secara liar sebagai upaya dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk menempatkan posisinya di semua level, mulai yang strategis hingga tahapan teknis. Hal tersebut menyudutkan Polri yang dianggap akan mengubah paradigma dan esensi keamanan nasional, yang mana kewenangan keamanan dan pertahanan sudah menjadi domain masing-masing institusi.
Padahal, konsep democratic policing secara harfiah adalah upaya mengintegrasikan institusi kepolisian dalam sistem demokrasi. Mengubah paradigma anggota kepolisian agar selaras dengan nilai-nilai demokrasi, menghormati hak asasi manusia (HAM), melindungi kebebasan berserikat, media yang lebih bebas. Bratton (1999) menegaskan, democratic policing terimplementasi dengan baik apabila peran kepolisian merupakan cerminan dari konsensus sosial, yang merupakan bagian dari sistem demokrasi. Artinya, democratic policing adalah bagian dari perubahan paradigma personel kepolisian, bukan mengubah paradigma dan esensi keamanan nasional sebagaimana yang kemudian diinterpretasikan secara liar.

Hakikat dari democratic policing adalah perubahan paradigma personel dan kemudian diikuti oleh penyesuaian institusi kepolisian agar dapat selaras dengan nilai dan sistem demokrasi. Di mana sebagai bagian dari institusi sipil, Polri dihadapkan berupaya untuk menguatkan paradigma demokratik di internal, agar dapat selaras dengan langkah gerak dari pemerintahan sipil. Sebab, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 2/2002 tentang Polri, Pasal 2 bahwa Polri menjalankan salah satu fungsi pemerintahan bidang keamanan yang mana tetap mengacu pada fungsi pemerintahan hasil pemilihan yang demokratik.

Karena itu, secara harfiah, wacana democratic policing justru menguatkan paradigma dan esensi keamanan nasional, bukan untuk menggeser peran aktor dan atau mengubah paradigma dan esensi keamanan nasional yang ada selama ini. Hal itu semata-mata adalah perubahan paradigma personel kepolisian dari paradigma lama kepada paradigma kepolisian demokratik yang tunduk dan patuh pada otoritas sipil beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya. Perdebatan peran dan fungsi TNI dan Polri yang mengemuka pasca-pemisahan kedua institusi tersebut tuntas saat kedua institusi tersebut fokus pada peran dan fungsinya, Polri fokus pada Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri) dan TNI lebih kepada peran dan fungsi pertahanan negara.

Namun demikian, pembagian peran dan fungsi tersebut, isu tentang upaya masing-masing institusi untuk berupaya mengambil peran dan fungsi yang bukan menjadi bagiannya terus mengemuka hingga saat ini. Tak heran apabila kemudian wacana democratic policing dikemas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab seolah-olah ada ambisi besar Polri untuk mengubah paradigma dan esensi dari keamanan nasional, yang mana akan mereduksi peran dan fungsi TNI sebagai bagian dari perubahan paradigma tersebut.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Polri, berkaitan dengan keberadaan dan posisi Polri di bawah langsung presiden yang terus dipertanyakan. Hal itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak yang tidak ingin agar TNI dan Polri dapat berbagi peran dalam menjaga dan merawat Indonesia, termasuk wacana democratic policing yang dikemas seolah akan mengubah paradigma dan esensi keamanan nasional.

Ada tiga hal yang menegaskan bahwa democratic policing adalah perubahan paradigma personel Polri agar dapat selaras dengan nilai dan sistem demokrasi untuk memperkuat bingkai keamanan nasional, yakni pertama, wacana democratic policing tidak menawarkan gambaran lintas institusi sebagaimana paradigma dan esensi keamanan nasional, ini lebih pada batasan dan arahan agar personel kepolisian menjalankan aktivitasnya dengan nilai dan bingkai demokratik.

Kedua, democratic policing tidak bersifat menyeluruh dan mengikat semua institusi keamanan. Sebagaimana namanya, democratic policing hanya melingkupi institusi kepolisian dan personel di dalamnya. Karena itu, jika kemudian mengemuka wacana democratic policing adalah upaya Polri untuk bisa menempatkan personelnya di semua level dari yang strategis hingga operasional adalah tidak benar. Betapa pun hal tersebut dirasionalisasi, namun jika hal tersebut dilakukan, maka hal tersebut berlawanan dengan esensi dari democratic policing itu sendiri. Karena itu, menjadi janggal jika wacana democratic policing tersebut dipahami sebagai upaya Polri untuk menguasai semua posisi strategis ataupun operasional.

Ketiga, konsep democratic policing menentang tumpang tindih peran institusi. Sebab, democratic policing mensyaratkan profesionalisme dalam menjalankan peran dan fungsinya. Karena itu, tumpang tindih dan perluasan peran akan membuat kontrol dan pengawasan kepolisian tidak efektif. Sebagaimana penamaannya, democratic policing adalah bagian dari integrasi dan reintegrasi institusi serta personel kepolisian agar bisa mengacu pada nilai-nilai demokratik dalam menjalankan peran dan fungsinya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4374 seconds (0.1#10.140)