Beradaptasi dengan Bencana
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
"Jangan pergi, jangan dahulu pergi. Ku menyerah, Ku membutuhkanmu, Ku bergelut dengan rasa sedih, Ku kan selalu merindukanmu" (Grup Band Seventeen). Mengawali artikel ini dengan petikan lagu berjudul Jangan Dulu Pergi yang dinyanyikan grup band Seventeen membawa kita pada kabar duka.
Pada Sabtu (22/12), kembali terjadi bencana di Tanah Air, kali ini tsunami melanda sebagian wilayah Banten dan pesisir Lampung dengan korban meninggal dunia lebih dari 400 orang (termasuk 3 dari 4 anggota band Seventeen meninggal pada bencana ini). Ribuan orang terluka serta menderita kerugian ekonomi akibat kehilangan tempat tinggal dan harta benda lainnya.
Bencana ini menyusul rentetan bencana gempa dan tsunami di Palu, Donggala, Sulawesi Tengah, dan sebelumnya bencana di Lombok, NTB. Pascamusibah tersebut, banyak instansi berlomba-lomba menjelaskan alasan teknis penyebab gempa.
Bahkan, ironisnya jauh-jauh hari, banyak instansi pemerintah telah memiliki peta daerah rawan bencana beserta tingkat potensi risiko terjadinya bencana mulai dari gempa, tsunami, gunung meletus, dan lainnya. Namun faktanya, peringatan terjadinya bencana sering kali tidak bisa melindungi masyarakat dari amukan bencana alam.
Memang harus diapresiasi upaya-upaya yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat setiap kali terjadi bencana, tetapi untuk negeri yang akrab dengan bencana, maka perlu dibuat role model penanganan bencana yang lebih patut.
Bencana gempa memang dipahami sebagai peristiwa alam dan publik sering memahaminya dengan mengklasifikasikan gempa sebagai keadaan kahar disebabkan karena alam (force majeur). Keadaan kahar inilah kemudian menjadikan dasar permakluman terjadinya kekacauan masyarakat setiap kali bencana terjadi.
Indonesia memang rawan bencana, mengingat posisinya berada di tiga lempeng benua (Euro Asia, Indo Australia, dan Pasifik) serta dilintasi jalur cincin api (ring of fire).
Guna mengantisipasi hal itu memang Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dengan mengevaluasi serangkaian bencana yang terjadi akhir-akhir ini, maka perlu ada penyempurnaan dan reorientasi terhadap UU Penanggulangan Bencana.
Penyempurnaan tersebut perlu dilakukan, contohnya melihat penanganan gempa Palu yang berubah menjadi isu penjarahan karena ada miskomunikasi antara pusat dan daerah. Tim tanggap darurat yang semestinya sudah memiliki patron penanganan bencana kerap kali menunjukkan “gagap” darurat, baik di peristiwa Lombok maupun Palu.
UU Penanggulangan Bencana tampaknya belum optimal digunakan sebagai pedoman penangan bencana. Hal ini tampak bahwa, baik tim dari pemerintah pusat dan daerah, bergerak tanpa koordinasi sehingga penanganan bencana menjadi sporadik dan selalu terulang penanganan yang sama.
Arah Penyempurnaan Regulasi
UU Nomor 24/2007 dari segi substansi lebih berisi pada koordinasi penanganan bencana, sedangkan saat ini dengan melihat frekuensi bencana yang terjadi di Tanah Air, maka muatan UU tersebut perlu disempurnakan terutama untuk mengakomodasi pada aspek pencegahan.
Aspek pencegahan penting diakomodasikan karena pada sisi inilah kita bisa membangun masyarakat untuk menghadapi dan mengurangi risiko bencana (early warning system).
Dengan terakomodasinya aspek pencegahan pada UU Penanggulangan Bncana, maka negara akan memiliki road map mitigasi bencana yang disosialisasikan kepada masyarakat luas sehingga ketika musibah terjadi, rencana kontingensi telah tersusun matang dan tidak lagi “compang-camping”.
Jika mengacu pada Hyogo Frame Work Action yang menjadi cikal bakal UU Nomor 24/2007 disebutkan bahwa pembentukan kesadaran kolektif masyarakat akan membuahkan capaian memadai dalam kesiapsiagaan menghadapi dan menanggulangi bencana. Artinya, mengacu pada Hyogo Frame Work Action, ketahanan terhadap bencana akan terbentuk melalui aspek pencegahan dan mitigasi yang diakomodasi dalam road map penanganan bencana.
Dengan penyempurnaan UU Nomor 24/2007, maka peran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tidak hanya fokus pada tanggap darurat lalu rehabilitasi dan rekonstruksi.
Arah penyempurnaan UU Nomor 24/2007 nanti pada perluasan peran BNPB dan BPBD sebagai implementator kesiapsiagaan menghadapi bencana, termasuk dalam hal ini mendesain peringatan dini (early warning system) melalui kesadaran kolektif akan potensi bahaya bencana. Seluruh tahapan itu nanti akan diberi payung hukum berupa peraturan pemerintah (PP) untuk melengkapi UU Nomor 24/2007 di tingkat operasional.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
"Jangan pergi, jangan dahulu pergi. Ku menyerah, Ku membutuhkanmu, Ku bergelut dengan rasa sedih, Ku kan selalu merindukanmu" (Grup Band Seventeen). Mengawali artikel ini dengan petikan lagu berjudul Jangan Dulu Pergi yang dinyanyikan grup band Seventeen membawa kita pada kabar duka.
Pada Sabtu (22/12), kembali terjadi bencana di Tanah Air, kali ini tsunami melanda sebagian wilayah Banten dan pesisir Lampung dengan korban meninggal dunia lebih dari 400 orang (termasuk 3 dari 4 anggota band Seventeen meninggal pada bencana ini). Ribuan orang terluka serta menderita kerugian ekonomi akibat kehilangan tempat tinggal dan harta benda lainnya.
Bencana ini menyusul rentetan bencana gempa dan tsunami di Palu, Donggala, Sulawesi Tengah, dan sebelumnya bencana di Lombok, NTB. Pascamusibah tersebut, banyak instansi berlomba-lomba menjelaskan alasan teknis penyebab gempa.
Bahkan, ironisnya jauh-jauh hari, banyak instansi pemerintah telah memiliki peta daerah rawan bencana beserta tingkat potensi risiko terjadinya bencana mulai dari gempa, tsunami, gunung meletus, dan lainnya. Namun faktanya, peringatan terjadinya bencana sering kali tidak bisa melindungi masyarakat dari amukan bencana alam.
Memang harus diapresiasi upaya-upaya yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat setiap kali terjadi bencana, tetapi untuk negeri yang akrab dengan bencana, maka perlu dibuat role model penanganan bencana yang lebih patut.
Bencana gempa memang dipahami sebagai peristiwa alam dan publik sering memahaminya dengan mengklasifikasikan gempa sebagai keadaan kahar disebabkan karena alam (force majeur). Keadaan kahar inilah kemudian menjadikan dasar permakluman terjadinya kekacauan masyarakat setiap kali bencana terjadi.
Indonesia memang rawan bencana, mengingat posisinya berada di tiga lempeng benua (Euro Asia, Indo Australia, dan Pasifik) serta dilintasi jalur cincin api (ring of fire).
Guna mengantisipasi hal itu memang Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dengan mengevaluasi serangkaian bencana yang terjadi akhir-akhir ini, maka perlu ada penyempurnaan dan reorientasi terhadap UU Penanggulangan Bencana.
Penyempurnaan tersebut perlu dilakukan, contohnya melihat penanganan gempa Palu yang berubah menjadi isu penjarahan karena ada miskomunikasi antara pusat dan daerah. Tim tanggap darurat yang semestinya sudah memiliki patron penanganan bencana kerap kali menunjukkan “gagap” darurat, baik di peristiwa Lombok maupun Palu.
UU Penanggulangan Bencana tampaknya belum optimal digunakan sebagai pedoman penangan bencana. Hal ini tampak bahwa, baik tim dari pemerintah pusat dan daerah, bergerak tanpa koordinasi sehingga penanganan bencana menjadi sporadik dan selalu terulang penanganan yang sama.
Arah Penyempurnaan Regulasi
UU Nomor 24/2007 dari segi substansi lebih berisi pada koordinasi penanganan bencana, sedangkan saat ini dengan melihat frekuensi bencana yang terjadi di Tanah Air, maka muatan UU tersebut perlu disempurnakan terutama untuk mengakomodasi pada aspek pencegahan.
Aspek pencegahan penting diakomodasikan karena pada sisi inilah kita bisa membangun masyarakat untuk menghadapi dan mengurangi risiko bencana (early warning system).
Dengan terakomodasinya aspek pencegahan pada UU Penanggulangan Bncana, maka negara akan memiliki road map mitigasi bencana yang disosialisasikan kepada masyarakat luas sehingga ketika musibah terjadi, rencana kontingensi telah tersusun matang dan tidak lagi “compang-camping”.
Jika mengacu pada Hyogo Frame Work Action yang menjadi cikal bakal UU Nomor 24/2007 disebutkan bahwa pembentukan kesadaran kolektif masyarakat akan membuahkan capaian memadai dalam kesiapsiagaan menghadapi dan menanggulangi bencana. Artinya, mengacu pada Hyogo Frame Work Action, ketahanan terhadap bencana akan terbentuk melalui aspek pencegahan dan mitigasi yang diakomodasi dalam road map penanganan bencana.
Dengan penyempurnaan UU Nomor 24/2007, maka peran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tidak hanya fokus pada tanggap darurat lalu rehabilitasi dan rekonstruksi.
Arah penyempurnaan UU Nomor 24/2007 nanti pada perluasan peran BNPB dan BPBD sebagai implementator kesiapsiagaan menghadapi bencana, termasuk dalam hal ini mendesain peringatan dini (early warning system) melalui kesadaran kolektif akan potensi bahaya bencana. Seluruh tahapan itu nanti akan diberi payung hukum berupa peraturan pemerintah (PP) untuk melengkapi UU Nomor 24/2007 di tingkat operasional.
(nag)