Momentum OTT KPK

Rabu, 19 Desember 2018 - 07:31 WIB
Momentum OTT KPK
Momentum OTT KPK
A A A
Nabhan AiqaniAlumnus Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas,

Founder Kerinci Institute

MARAKNYA kepala daerah yang terlibat kasus korupsi merupakan visualisasi utuh tentang realita sosial politik Indonesia yang sarat dengan patologi birokrasi. Praktis dalam tahun ini saja, sudah puluhan kepala daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak peduli mereka yang hanya berjarak seperseratusan kilometer dari pusat Ibu Kota ataupun daerah-daerah yang berada nun jauh di pelosok Nusantara, semua hampir kebagian jatah. Persoalannya soal waktunya saja kapan KPK akan turun menyergap.Hal ini sejalan dengan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan bahwa tren OTT yang dilakukan KPK meningkat drastis pada 2018 ini. Berbeda dengan jumlah OTT di tahun-tahun sebelumnya yang relatif lebih rendah. Pada 2014, menurut catatan ICW, KPK melakukan 14 OTT. Angka itu menciut menjadi empat kasus pada 2015. Lalu, jumlahnya meningkat sedikit menjadi sembilan dan delapan, masing-masing pada 2016 dan 2017. Barulah pada 2018, OTT mencapai puncaknya, dengan 28 kasus, setidaknya hingga 12 Desember dengan tertangkapnya Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar.
Tren OTT KPK yang meningkat menurut Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar disebabkan adanya pergeseran road map KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo yang lebih berfokus pada penangan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, berbeda dengan kepemimpinan KPK sebelumnya yang lebih menyasar aparat penegak hukum. Hal itu wajar dilakukan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan KPK itu sendiri.
Kegagalan Memahami Sistem
Sementara itu, serangkaian kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah tersebut tentu menyisakan tanda tanya mendalam tentang sejauh mana sistem politik yang ada mampu menghambat peluang terjadinya korupsi. Analisis Vedi R Hadiz, peneliti terkemuka tentang Indonesia, yang menyatakan bahwa meningkatnya korupsi di Indonesia terjadi akibat dari proses demokratisasi yang pada awalnya bertujuan meruntuhkan jejaring korupsi terpusat. Namun, karena tidak dikawal dengan baik dan jauh dari pendekatan moralitas sehingga kesempatan ini memberikan jalan bagi korupsi yang lebih korosif dan terdesentralisasi untuk semua bisa menjadi salah satu variabel dalam mengelaborasi maraknya kasus korupsi kepala daerah.
Sistem politik pascareformasi yang menghasilkan otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi menjadi salah satu jalan merembesnya kasus korupsi hingga ke daerah-daerah. Namun, bukan berarti reformasi itu buruk dan sistem Orde Baru jauh lebih baik. Kasus korupsi yang terjadi dalam bingkai reformasi merupakan cerminan bahwa desentralisasi yang diberlakukan tidak diiringi oleh manajemen pengawasan yang baik, dari segi aparat penegak hukum maupun regulasi yang dibentuk. Alhasil, istilah "raja-raja kecil" adalah anekdot tepat untuk menggambarkan begitu berkuasanya kepala daerah saat ini.
Padahal, amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 telah secara eksplisit menyatakan tujuan dari pemerintahan daerah bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, UU hanyalah dipandang sebagai suatu konsep ideal yang kadang sering kontradiktif dengan kondisi riil yang terjadi. Maraknya praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah merupakan kontradiksi yang dimaksud. Elan pemerintahan daerah sebagaimana termaktub dalam UU akan semakin jauh dari cita-cita tentang kesejahteraan masyarakat, yang terjadi justru terwujudnya kesejahteraan bagi para oligarki politik. Satu hal yang ironis, di tengah kondisi ekonomi masyarakat daerah yang terbilang masih terkategori menengah ke bawah.
Konsekuensi Politik Berbiaya Tinggi
Selain itu, realita sistem politik Indonesia saat ini justru menjadi impuls yang mengaktifkan hasrat untuk melakukan korupsi di kalangan kepala daerah. Pada proses pemilihan, mereka dihadapkan pada kondisi politik berbiaya mahal dan transaksional. Oleh karenanya, tidak sedikit pula yang melacurkan diri pada investor politik bermodal besar yang memiliki kepentingan. Ironisnya, pola seperti ini semakin jamak terjadi dan mengkristal sehingga mau tidak mau akan menyeret kepala daerah ke dalam lingkaran setan korupsi. Pengawasan yang tidak maksimal dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu pun membuat semua bisa bebas bermain, tanpa takut terendus belangnya.

Meskipun sudah ada pembenahan dengan meminta pelaporan dana kampanye, penyediaan APK (Alat Peraga Kampanye) oleh KPU serta membolehkan sumbangan dari perorangan tidak lebih dari Rp75 juta maupun swasta yang dibatasi hanya boleh sampai Rp750 juta. Tapi, tetap saja tidak bisa dimungkiri politik dengan biaya besar (hight cost) akan memiliki risiko tinggi bagi terjadinya korupsi. Laporan Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa calon bupati atau wali kota butuh dana Rp20 hingga Rp100 miliar untuk memenangi pilkada. Tentu angka yang tidak sedikit dengan beragamnya latar belakang calon kepala daerah yang ada. Bisa dihitung berapa orang saja calon kepala daerah yang mampu memenuhi kebutuhan angka yang sedemikian besar itu.

Di samping itu, opini masyarakat perihal OTT KPK tengah mengerucut pada dua pandangan. Pertama , pandangan yang menyatakan bahwa maraknya OTT KPK merupakan indikasi bahwa korupsi semakin masif dan merajalela. Kedua, momentum ini memperlihatkan bahwa KPK tengah membuka "tabir" praktik korupsi kepala daerah yang selama ini terkubur tanpa pernah terendus sama sekali. Kedua asumsi ini adalah benar adanya, memiliki keberimbangan dan porsi masing-masing. Namun, yang paling penting dari upaya KPK saat ini adalah dukungan dari masyarakat. Apresiasi penuh mesti diberikan, masyarakat harus proaktif. OTT KPK seharusnya menjadi momentum untuk pemberantasan korupsi secara komprehensif. Pola yang dijalankan KPK terbukti cukup ampuh dalam membangun psikologi massa. Dengan semakin masifnya KPK turun ke daerah-daerah akan menimbulkan ketakutan tersendiri di kalangan politisi, birokrat, dan aparat penyelenggara negara di daerah-daerah yang merasa jauh dari jeratan hukum. Alhasil, pemberantasan korupsi yang bersifat bottom-up dapat menjadi formulasi tepat dalam mengatasi kasus korupsi di Indonesia.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8776 seconds (0.1#10.140)