Sikap PSI Menolak Poligami

Selasa, 18 Desember 2018 - 02:46 WIB
Sikap PSI Menolak Poligami
Sikap PSI Menolak Poligami
A A A
Bagong Suyanto

Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlang

PIDATO terbaru Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie memicu perdebatan karena menolak praktik poligami. Dia secara terbuka menyatakan tidak akan merestui kader, pengurus, dan anggota legislatif dari PSI mempraktikkan poligami. PSI menegaskan tidak akan pernah mendukung poligami, karena praktik tersebut dinilai salah satu sumber ketidakadilan bagi perempuan.

Janji yang dilontarkan Ketua PSI jika wakil dari partainya lolos masuk parlemen, salah satunya adalah memperjuangkan diberlakukannya larangan poligami bagi pejabat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta aparatur sipil negara.

Terlepas apakah sikap politik PSI ini kembali akan menjadi polemik, bahkan kontroversi, yang menarik didiskusikan adalah apa sebetulnya yang terjadi di balik praktik poligami yang masih sering terjadi di Indonesia? Sebagai sebuah isu sosial––bukan isu agama, sejauh mana sikap menolak poligami memang pantas diperjuangkan, diapresiasi, dan karena itu mampu menarik simpati dari masyarakat terhadap partai yang memperjuangkannya.

Poligami

Dengan mengutip hasil studi yang dilakukan LBH APIK tentang poligami, PSI meyakini bahwa pada umumnya praktik poligami menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan yang disakiti dan anak yang ditelantarkan. Walaupun dalam kenyataan ada keluarga-keluarga tertentu yang mempraktikkan poligami tidak mengalami masalah, dan para istri yang ada juga tidak menjadi korban tindak kekerasan. Namun demikian, banyak kasus membuktikan bahwa poligami sesungguhnya rawan memicu munculnya berbagai masalah, tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi kelangsungan proses tumbuh-kembang anak secara wajar. Sejumlah masalah yang sering kali timbul akibat praktik poligami di masyarakat adalah:




Pertama, poligami sesungguhnya adalah bentuk penindasan dan subordinasi posisi perempuan di hadapan laki-laki. Berbagai studi menemukan bahwa nyaris tidak ada perempuan di dunia ini yang sepakat atau paling-tidak nyaman jika pasangannya melakukan praktik poligami. Tetapi karena tafsir agama kerap dipergunakan sebagai dasar legitimasi melakukan praktik poligami, tidak banyak perempuan yang berani menolak secara terbuka tindakan suaminya yang sebenarnya menyakiti hatinya itu.




Kedua, poligami rawan memicu munculnya berbagai kasus tindak kekerasan terhadap perempuan. Studi yang dilakukan LBH APIK yang mewawancarai 107 istri yang dipoligami oleh suaminya menemukan, sebanyak 37 istri mengaku tidak diberi nafkah suaminya, 21 orang mengalami tekanan psikis, 23 orang mengaku ditelantarkan suami, 11 pisah ranjang, 7 istri mengalami penganiayaan fisik, 6 istri kemudian diceraikan oleh suami, dan 2 perempuan korban poligami mendapat teror dari istri kedua.

Di keluarga-keluarga yang melakukan praktik poligami, diakui atau tidak, risiko kemungkinan terjadinya percekcokan yang berujung pada tindak kekerasan cenderung lebih besar. Gara-gara dipicu kecemburuan antaristri, ketidakmampuan suami memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, ketidakadilan memperlakukan pasangan satu dengan yang lain, dan lain-lain, semuanya sering kali menstimulasi terjadinya KDRT dalam keluarga yang poligami. Jangankan berbicara di keluarga yang secara ekonomi miskin, di keluarga-keluarga yang mapan pun, praktik poligami rawan memicu terjadinya tindak kekerasan karena tekanan sosial dan psikologis yang muncul dalam perkawinan yang kompleks.

Ketiga, praktik poligami secara langsung maupun tidak langsung anak lebih berpotensi menyebabkan anak-anak menjadi korban dan mengalami proses tumbuh-kembang yang tidak sehat. Tidak menutup kemungkinan anak-anak yang lahir dalam keluarga yang poligami kemudian rentan ditelantarkan, bahkan rentan menjadi korban child abuse.

Di kalangan laki-laki miskin namun tetap memaksakan melakukan praktik poligami, bisa dipastikan masa depan dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya akan terganggu karena ketidakmampuan sosok ayah sebagai pencari nafkah keluarga. Di sisi lain, anak-anak yang lahir dari keluarga yang melakukan poligami, tidak sekali-dua kali mereka juga berpotensi menjadi korban bullying di masyarakat karena status orang tuanya yang melakukan poligami.

Perempuan sebagai Subjek

Selama ini, harus diakui tidak banyak partai politik yang memiliki keberanian untuk bersikap, terutama ketika menghadapi isu-isu yang sensitif di masyarakat. Meskipun di hadapan kelompok masyarakat tertentu, sikap PSI ini bakal memperoleh tentangan, bahkan hujatan, tetapi bagi kelompok masyarakat lain, sikap politik PSI menolak poligami tidak menutup kemungkinan akan mendulang simpati dan apresiasi.

Tantangan bagi PSI sekarang adalah bagaimana menerjemahkan sikap politiknya dalam bentuk program yang terukur dan membumi. Menolak poligami tentu tidak cukup hanya dilakukan sebagai sikap ideologis. Menolak poligami perlu ditindaklanjuti dalam bentuk strategi dan tindakan yang tidak kontraproduktif.

Kepedulian PSI terhadap nasib perempuan yang teraniaya, jangan sampai menjadi bumerang karena kekeliruan dalam menerjemahkannya di lapangan. Lebih dari sekadar produk undang-undang, atau ketentuan payung hukum lain, mencegah perempuan menjadi korban ideologi patriarkis dan praktik poligami harus dilakukan dengan menempatkan perempuan itu sendiri sebagai subjek perubahan dan pencerahan. Bagaimana pendapat Anda?
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6072 seconds (0.1#10.140)