Pembangunan Kilang Nasional: Mari Lawan Mafia!
A
A
A
Marwan Batubara
Direktur Eksekutif Indonesian
Resources Studies (IRESS )
Karena lambatnya pembangunan kilang, pemerintah meminta Pertamina melakukan percepatan revitalisasi dan pembangunan kilang baru agar impor BBM bisa berkurang. Concern pemerintah kembali muncul saat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan tampil sebagai pembicara pada "Pertamina Energy Forum" (29/11/2018) dan menyebut pembangunan kilang untuk mengolah minyak di dalam negeri berjalan lambat. Kata Luhut: "Presiden pun galau karena sudah empat tahun jadi presiden belum ada yang jadi pembangunan kilang".
Presiden Jokowi memang telah merencanakan pembangunan kilang BBM sejak awal masa jabatan. Rencana tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 146/2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.
Kemudian sikap tersebut dipertegas Perpres Nomor 58/2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam Perpres Nomor 58/2017 tercantum PSN pembangunan kilang baru Bontang dan Tuban (Grass Root Refinery/GRR), serta PSN revitalisasi lima kilang di Balikpapan, Balongan, Cilacap, Dumai, dan Plaju yang dikenal sebagai proyek Refinery Development Master Plan (RDMP).
Berdasar rencana awal, target selesai revitalisasi dan pembangunan kilang adalah: Balikpapan 2019, Balongan 2020, Cilacap 2021, Dumai 2023, Bontang 2024, dan Tuban 2021. Belakangan, karena berbagai kendala dan perkembangan dalam industri energi, termasuk yang terkait mobil listrik, target penyelesaian kilang menjadi: Balikpapan 2021, Balongan 2025, Cilacap 2023, Dumai dan Plaju 2023, Bontang 2025, dan Tuban 2024. Mundurnya target penyelesaian mayoritas pembangunan kilang di atas tentu layak menjadi keprihatinan kita, terutama karena beberapa hal seperti diuraikan berikut.
Setelah direncanakan sejak 2015, ternyata baru proyek kilang Balikpapanlah yang menunjukkan progres berarti, yakni masuk tahap kesepakatan Enginering Procurement and Construction pada Desember 2018, total biaya Rp57,8 triliun, dan waktu penyelesaian 53 bulan.
Kita tidak paham apa yang menjadi penyebab utama terlambat atau (akan) gagalnya pembangunan (sebagian) kilang. Karena itu, muncul pertanyaan: seriuskah pemerintah dengan sikap prihatin atas terlambatnya pembangunan kilang-kilang tersebut?
Untuk membahas soal "kesadaran" di atas, kita perlu sedikit mengulang bahwa biaya pembangunan kilang BBM memang sangat besar, sementara margin keuntungan sangat kecil. Karena itu, perusahaan-perusahaan minyak negara (NOCs) berkembang umumnya memperoleh dukungan dana dan insentif fiskal dari pemerintah, atas dasar bahwa kilang dibangun terutama demi meningkatkan ketahanan energi nasional.
Dalam 10 tahun terakhir, negara-negara seperti India, Thailand, Malaysia, Cina, dan sebagainya, umumnya telah membangun kilang-kilang baru dengan memperoleh insentif dan dukungan dana pemerintah.
Ternyata, apa yang dialami oleh Pertamina justru sebaliknya. Bukan saja dukungan dana APBN tidak didapat (misalnya dengan pembebasan lahan), malah Pertamina juga harus menanggung kerugian akibat kebijakan pemerintah menahan harga BBM pada level yang jauh di bawah harga keekonomian. Tahun lalu beban yang ditanggung sekitar Rp25 triliun. Tahun ini kerugian tersebut bisa mencapai Rp56 triliun.
Kalau besar dan kebijakan subsidi tidak berubah, memang pemerintah dapat saja mengompensasi beban tersebut di kemudian hari. Namun, pada laporan keuangan awal, penugasan pemerintah tersebut tetap saja menjadi beban keuangan korporasi.
Pada kesempatan berdialog dengan salah satu direktur yang dilengserkan bersamaan dengan pelengseran Elia Massa Manik dari posisi dirut pada April 2018, IRESS memperoleh jawaban tentang sebab terus diundurnya pembangunan proyek RDMP Cilacap dengan Saudi Aramco.
Sang direktur mengatakan, Pertamina memang sengaja mengulur waktu pembahasan pembangunan karena kesulitan keuangan. Dikatakan, jika dilaksanakan sesuai jadwal, maka Pertamina harus setor dana sesuai porsi saham. Padahal, keuangan Pertamina sedang bermasalah akibat kebijakan harga BBM yang dibekukan sejak April 2016 di tengah harga minyak dunia yang kembali naik. Maka itu, mundurlah pembangunan RDMP Cilacap.
Dalam diskusi dengan beberapa pakar migas, IRESS memperoleh informasi bahwa ada sejumlah pihak yang tidak senang dengan rencana Pertamina membangun kilang.
Karena itu, pihak-pihak swasta yang bisnisnya terganggu akibat rencana tersebut terus berupaya menghambat pembangunan kilang dengan memengaruhi oknum-oknum yang menentukan, termasuk oknum-oknum pejabat dan pimpinan partai.
Tujuannya agar Indonesia tetap menjadi pengimpor BBM dalam volume besar, terutama dari Singapura. Saat ini di Singapura ada tiga kilang besar yang dimiliki ExxonMobil (605.000 bph), Shell (500.000 bph), dan Singapore Refinery Corporation (SRC, 290.000 bph).
Di samping Singapura, dalam waktu dekat akan berproduksi pula sejumlah kilang baru di ASEAN yang otomatis mengakibatkan berkurang atau hilangnya impor BBM dari Singapura sehingga tinggallah Indonesia kelak sebagai pasar potensial terbesar produksi kilang Singapura. Oleh pihak asing potensi tersebut harus dipertahankan.
Di sisi lain, ExxonMobil telah mulai merambah bisnis BBM di Indonesia. Bersama patner domestik, Indomobil Prima Energi (milik Grup Salim, penerima Rp52 triliun BLBI dari negara), ExxonMobil telah membangun sejumlah SPBU mini. Dalam fase pilot project , ExxonMobil membangun 11 SPBU mini yang beroperasi di Purwakarta. BBM yang dijual di SPBU tersebut berjenis Ron 92 dengan merek Mobil 92R.
Ternyata pemerintah memang sudah memberi izin ExxonMobil merambah bisnis BBM nasional. Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, ExxonMobil akan membangun SPBU mini di seluruh Indonesia yang jumlahnya dapat mencapai 10.000 SPBU.
Sementara itu, Pertamina masih berkutat dengan masalah keuangan akibat beban pencitraan politik dari pemerintah. Pertamina pun harus menanggung beban subsidi penyediaan BBM di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), serta kebijakan BBM satu harga puluhan triliun yang luput disubsidi APBN.
Di sisi lain, pihak asing seperti Total, BP, Exxon, dan lain-lain dibiarkan terus menggerogoti pasar "gemuk" Pertamina, tanpa kewajiban melayani pasar 3T yang "kurus". Utang sudah menggunung, sekitar Rp522 triliun. Bahkan untuk mengelola blok-blok migas yang kontraknya berakhir, yang diamanatkan konstitusi dan dijamin cuma-cuma, Pertamina pun dipaksa membayar sinatory bonus puluhan triliun rupiah.
Khusus untuk mengelola Blok Rokan, Pertamina harus menerbitkan surat utang sebesar USD784 juta atau sekitar Rp11,25 triliun pada awal November 2018 dengan kupon 6,5%!
Dengan kondisi perlakuan antara asing dan BUMN yang sangat kontras dan zalim di atas, maka tidak heran jika pembangunan kilang-kilang GRR dan RDMP sulit terealisasi.
Pertamina akan sangat sulit bersaing untuk menangkal dominasi asing ExxonMobil di pasar BBM domestik, serta yang jauh lebih penting, Pertamina akan semakin sulit meningkatkan ketahanan energi nasional yang sudah sangat terpuruk. Karena itu, kita kembali memberikan warning tentang ihwal strategis yang perlu dicamkan oleh penguasa ini.
Pertama, Indonesia berada pada posisi ke-71 dari 125 buruk berdasarkan trilema energi yang meliputi aspek ketahanan, keadilan, dan lingkungan (WEC, 2018). Dalam aspek ketahanan, kita tergantung pada minyak, gas, dan BBM impor, serta situasi geopolitik.
Dari sisi keadilan, sistem subsidi melalui barang membuat subsidi sekitar 65%-an tidak tepat sasaran. Dari sisi lingkungan, lebih dari 80% energi yang kita gunakan adalah energi fosil yang tidak ramah lingkungan. Secara keseluruhan keterlambatan di atas akan membuat ketahanan energi akan tetap buruk.
Kedua, dengan besarnya impor BBM, defisit neraca berjalan (current account deficit , CAD) akan terus terjadi dan melebar. Padahal, CAD antara lain telah menyebabkan turunnya kurs rupiah terhadap USD dan mata uang lainnya.
Dengan begitu, kondisi ekonomi nasional memburuk, beban utang negara dan BUMN otomatis bertambah walau tidak membuat utang baru, dan kehidupan rakyat semakin sulit akibat kenaikan harga-harga barang dan jasa. Pemerintah mengakui salah satu penyebab CAD melebar adalah impor BBM yang besar karena kilang tidak terbangun. Tetapi, kenapa kebijakannya justru menghambat pembangunan kilang?
Ketiga, dengan terus tertundanya pembangunan kilang, maka Indonesia kehilangan kesempatan memperoleh nilai tambah dari proses pengolahan minyak mentah dan gas menjadi BBM dan produk-produk petrokimia. Indonesia akan terus mengeluarkan devisa besar untuk mengimpor produk petrokimia. Pada 2017 nilanya adalah USD15 miliar!
Dengan uraian di atas, kita menjadi ragu apakah keprihatinan pemerintah atas keterlambatan kilang memang benar diungkap secara sadar, serta bebas dari pengaruh mafia dan kepentingan asing? Terserah sadar atau tidak, kami sebagai anak bangsa menuntut agar seluruh kebijakan yang menghambat, terutama beban subsidi demi pencitraan dan signatory bonus yang inkonstitusional harus segera dikoreksi.
Yang juga penting dan mendesak adalah koreksi atas kebijakan yang mempermudah asing menjalankan bisnis di dalam negeri sambil membunuh secara perlahan usaha BUMN milik bangsa yang eksistensinya dijamin konstitusi.
Jadi, jika kita tidak mampu membangun kilang selama bertahun-tahun atau kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing, tampaknya itu disebabkan oleh sebagian dari kita sendiri.
Kita di sini dapat berarti: oknum-oknum yang pragmatis, oknum-oknum yang siap "bekerja sama" dengan asing dan oknum-oknum pengkhianat, yang rela menyiapkan kepalanya untuk diinjak dan negaranya terus dijajah.
Anda termasuk golongan yang mana? Buktikan kalau Anda memang benar-benar Pancasila dan Anda NKRI dalam kata dan tindakan, bukan sekadar dalam slogan yang marak dalam beberapa tahun terakhir.
Direktur Eksekutif Indonesian
Resources Studies (IRESS )
Karena lambatnya pembangunan kilang, pemerintah meminta Pertamina melakukan percepatan revitalisasi dan pembangunan kilang baru agar impor BBM bisa berkurang. Concern pemerintah kembali muncul saat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan tampil sebagai pembicara pada "Pertamina Energy Forum" (29/11/2018) dan menyebut pembangunan kilang untuk mengolah minyak di dalam negeri berjalan lambat. Kata Luhut: "Presiden pun galau karena sudah empat tahun jadi presiden belum ada yang jadi pembangunan kilang".
Presiden Jokowi memang telah merencanakan pembangunan kilang BBM sejak awal masa jabatan. Rencana tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 146/2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.
Kemudian sikap tersebut dipertegas Perpres Nomor 58/2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam Perpres Nomor 58/2017 tercantum PSN pembangunan kilang baru Bontang dan Tuban (Grass Root Refinery/GRR), serta PSN revitalisasi lima kilang di Balikpapan, Balongan, Cilacap, Dumai, dan Plaju yang dikenal sebagai proyek Refinery Development Master Plan (RDMP).
Berdasar rencana awal, target selesai revitalisasi dan pembangunan kilang adalah: Balikpapan 2019, Balongan 2020, Cilacap 2021, Dumai 2023, Bontang 2024, dan Tuban 2021. Belakangan, karena berbagai kendala dan perkembangan dalam industri energi, termasuk yang terkait mobil listrik, target penyelesaian kilang menjadi: Balikpapan 2021, Balongan 2025, Cilacap 2023, Dumai dan Plaju 2023, Bontang 2025, dan Tuban 2024. Mundurnya target penyelesaian mayoritas pembangunan kilang di atas tentu layak menjadi keprihatinan kita, terutama karena beberapa hal seperti diuraikan berikut.
Setelah direncanakan sejak 2015, ternyata baru proyek kilang Balikpapanlah yang menunjukkan progres berarti, yakni masuk tahap kesepakatan Enginering Procurement and Construction pada Desember 2018, total biaya Rp57,8 triliun, dan waktu penyelesaian 53 bulan.
Kita tidak paham apa yang menjadi penyebab utama terlambat atau (akan) gagalnya pembangunan (sebagian) kilang. Karena itu, muncul pertanyaan: seriuskah pemerintah dengan sikap prihatin atas terlambatnya pembangunan kilang-kilang tersebut?
Untuk membahas soal "kesadaran" di atas, kita perlu sedikit mengulang bahwa biaya pembangunan kilang BBM memang sangat besar, sementara margin keuntungan sangat kecil. Karena itu, perusahaan-perusahaan minyak negara (NOCs) berkembang umumnya memperoleh dukungan dana dan insentif fiskal dari pemerintah, atas dasar bahwa kilang dibangun terutama demi meningkatkan ketahanan energi nasional.
Dalam 10 tahun terakhir, negara-negara seperti India, Thailand, Malaysia, Cina, dan sebagainya, umumnya telah membangun kilang-kilang baru dengan memperoleh insentif dan dukungan dana pemerintah.
Ternyata, apa yang dialami oleh Pertamina justru sebaliknya. Bukan saja dukungan dana APBN tidak didapat (misalnya dengan pembebasan lahan), malah Pertamina juga harus menanggung kerugian akibat kebijakan pemerintah menahan harga BBM pada level yang jauh di bawah harga keekonomian. Tahun lalu beban yang ditanggung sekitar Rp25 triliun. Tahun ini kerugian tersebut bisa mencapai Rp56 triliun.
Kalau besar dan kebijakan subsidi tidak berubah, memang pemerintah dapat saja mengompensasi beban tersebut di kemudian hari. Namun, pada laporan keuangan awal, penugasan pemerintah tersebut tetap saja menjadi beban keuangan korporasi.
Pada kesempatan berdialog dengan salah satu direktur yang dilengserkan bersamaan dengan pelengseran Elia Massa Manik dari posisi dirut pada April 2018, IRESS memperoleh jawaban tentang sebab terus diundurnya pembangunan proyek RDMP Cilacap dengan Saudi Aramco.
Sang direktur mengatakan, Pertamina memang sengaja mengulur waktu pembahasan pembangunan karena kesulitan keuangan. Dikatakan, jika dilaksanakan sesuai jadwal, maka Pertamina harus setor dana sesuai porsi saham. Padahal, keuangan Pertamina sedang bermasalah akibat kebijakan harga BBM yang dibekukan sejak April 2016 di tengah harga minyak dunia yang kembali naik. Maka itu, mundurlah pembangunan RDMP Cilacap.
Dalam diskusi dengan beberapa pakar migas, IRESS memperoleh informasi bahwa ada sejumlah pihak yang tidak senang dengan rencana Pertamina membangun kilang.
Karena itu, pihak-pihak swasta yang bisnisnya terganggu akibat rencana tersebut terus berupaya menghambat pembangunan kilang dengan memengaruhi oknum-oknum yang menentukan, termasuk oknum-oknum pejabat dan pimpinan partai.
Tujuannya agar Indonesia tetap menjadi pengimpor BBM dalam volume besar, terutama dari Singapura. Saat ini di Singapura ada tiga kilang besar yang dimiliki ExxonMobil (605.000 bph), Shell (500.000 bph), dan Singapore Refinery Corporation (SRC, 290.000 bph).
Di samping Singapura, dalam waktu dekat akan berproduksi pula sejumlah kilang baru di ASEAN yang otomatis mengakibatkan berkurang atau hilangnya impor BBM dari Singapura sehingga tinggallah Indonesia kelak sebagai pasar potensial terbesar produksi kilang Singapura. Oleh pihak asing potensi tersebut harus dipertahankan.
Di sisi lain, ExxonMobil telah mulai merambah bisnis BBM di Indonesia. Bersama patner domestik, Indomobil Prima Energi (milik Grup Salim, penerima Rp52 triliun BLBI dari negara), ExxonMobil telah membangun sejumlah SPBU mini. Dalam fase pilot project , ExxonMobil membangun 11 SPBU mini yang beroperasi di Purwakarta. BBM yang dijual di SPBU tersebut berjenis Ron 92 dengan merek Mobil 92R.
Ternyata pemerintah memang sudah memberi izin ExxonMobil merambah bisnis BBM nasional. Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, ExxonMobil akan membangun SPBU mini di seluruh Indonesia yang jumlahnya dapat mencapai 10.000 SPBU.
Sementara itu, Pertamina masih berkutat dengan masalah keuangan akibat beban pencitraan politik dari pemerintah. Pertamina pun harus menanggung beban subsidi penyediaan BBM di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), serta kebijakan BBM satu harga puluhan triliun yang luput disubsidi APBN.
Di sisi lain, pihak asing seperti Total, BP, Exxon, dan lain-lain dibiarkan terus menggerogoti pasar "gemuk" Pertamina, tanpa kewajiban melayani pasar 3T yang "kurus". Utang sudah menggunung, sekitar Rp522 triliun. Bahkan untuk mengelola blok-blok migas yang kontraknya berakhir, yang diamanatkan konstitusi dan dijamin cuma-cuma, Pertamina pun dipaksa membayar sinatory bonus puluhan triliun rupiah.
Khusus untuk mengelola Blok Rokan, Pertamina harus menerbitkan surat utang sebesar USD784 juta atau sekitar Rp11,25 triliun pada awal November 2018 dengan kupon 6,5%!
Dengan kondisi perlakuan antara asing dan BUMN yang sangat kontras dan zalim di atas, maka tidak heran jika pembangunan kilang-kilang GRR dan RDMP sulit terealisasi.
Pertamina akan sangat sulit bersaing untuk menangkal dominasi asing ExxonMobil di pasar BBM domestik, serta yang jauh lebih penting, Pertamina akan semakin sulit meningkatkan ketahanan energi nasional yang sudah sangat terpuruk. Karena itu, kita kembali memberikan warning tentang ihwal strategis yang perlu dicamkan oleh penguasa ini.
Pertama, Indonesia berada pada posisi ke-71 dari 125 buruk berdasarkan trilema energi yang meliputi aspek ketahanan, keadilan, dan lingkungan (WEC, 2018). Dalam aspek ketahanan, kita tergantung pada minyak, gas, dan BBM impor, serta situasi geopolitik.
Dari sisi keadilan, sistem subsidi melalui barang membuat subsidi sekitar 65%-an tidak tepat sasaran. Dari sisi lingkungan, lebih dari 80% energi yang kita gunakan adalah energi fosil yang tidak ramah lingkungan. Secara keseluruhan keterlambatan di atas akan membuat ketahanan energi akan tetap buruk.
Kedua, dengan besarnya impor BBM, defisit neraca berjalan (current account deficit , CAD) akan terus terjadi dan melebar. Padahal, CAD antara lain telah menyebabkan turunnya kurs rupiah terhadap USD dan mata uang lainnya.
Dengan begitu, kondisi ekonomi nasional memburuk, beban utang negara dan BUMN otomatis bertambah walau tidak membuat utang baru, dan kehidupan rakyat semakin sulit akibat kenaikan harga-harga barang dan jasa. Pemerintah mengakui salah satu penyebab CAD melebar adalah impor BBM yang besar karena kilang tidak terbangun. Tetapi, kenapa kebijakannya justru menghambat pembangunan kilang?
Ketiga, dengan terus tertundanya pembangunan kilang, maka Indonesia kehilangan kesempatan memperoleh nilai tambah dari proses pengolahan minyak mentah dan gas menjadi BBM dan produk-produk petrokimia. Indonesia akan terus mengeluarkan devisa besar untuk mengimpor produk petrokimia. Pada 2017 nilanya adalah USD15 miliar!
Dengan uraian di atas, kita menjadi ragu apakah keprihatinan pemerintah atas keterlambatan kilang memang benar diungkap secara sadar, serta bebas dari pengaruh mafia dan kepentingan asing? Terserah sadar atau tidak, kami sebagai anak bangsa menuntut agar seluruh kebijakan yang menghambat, terutama beban subsidi demi pencitraan dan signatory bonus yang inkonstitusional harus segera dikoreksi.
Yang juga penting dan mendesak adalah koreksi atas kebijakan yang mempermudah asing menjalankan bisnis di dalam negeri sambil membunuh secara perlahan usaha BUMN milik bangsa yang eksistensinya dijamin konstitusi.
Jadi, jika kita tidak mampu membangun kilang selama bertahun-tahun atau kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing, tampaknya itu disebabkan oleh sebagian dari kita sendiri.
Kita di sini dapat berarti: oknum-oknum yang pragmatis, oknum-oknum yang siap "bekerja sama" dengan asing dan oknum-oknum pengkhianat, yang rela menyiapkan kepalanya untuk diinjak dan negaranya terus dijajah.
Anda termasuk golongan yang mana? Buktikan kalau Anda memang benar-benar Pancasila dan Anda NKRI dalam kata dan tindakan, bukan sekadar dalam slogan yang marak dalam beberapa tahun terakhir.
(nag)