Tersisihnya Isu-isu HAM (Catatan 14 Tahun Kasus Munir)
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Salah Satu Penulis Buku "Munir, Sebuah Kitab Melawan Lupa" (Mizan, 2004)
TIDAK terasa, sudah 14 tahun lebih Munir dibunuh. Seperti diketahui, Munir diracun dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Munir naik pesawat GA-974 yang berangkat dari Jakarta pada 6 September 2004, pukul 21.55 WIB, tiba di Singapura pada 7 September 2004 pukul 00.40 waktu setempat. Munir meninggal sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, pada pukul 08.10 waktu setempat, 7 September 2004. Dari hasil autopsi Lembaga Forensik Belanda (NFI), ditemukan dosis arsenik yang mematikan dalam jasad Munir.
Sebenarnya sudah ada proses peradilan atas pembunuh Munir. Pengadilan telah menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang berada dalam penerbangan yang sama dengan Munir, sebagai pelaku pembunuhan Munir. Fakta persidangan juga menyebut dugaan keterlibatan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN).
Namun pada 13 Desember 2008, mantan Deputi V BIN Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini justru divonis bebas. Inilah yang membuat Suciwati, istri Munir, dan kalangan aktivis HAM tidak puas. Maka sejak kematiannya, tiap tahun pada 7 September, juga pada tiap ultah Munir pada 8 Desember, selalu digelar peringatan oleh teman-teman Munir serta siapa pun yang pedudi hak asasi manusia (HAM). Peringatan ini merupakan perjuangan melawan lupa (Milan Kundera).
Tersisihnya HAM
Selain itu peringatan demikian juga punya beberapa makna atau pesan penting yang perlu kita refleksikan. Pesan pertama, kematian Munir selalu menjadi utang besar bagi bangsa, pemerintah, dan kita semua. Ternyata membangun kehidupan atau peradaban pro hak asasi manusia itu tidak mudah.
Di balik sukses di berbagai bidang, rezim sekarang terus terang gagal dalam menegakkan HAM. Isu-isu HAM kerap tersisih. Simak saja dari Aceh hingga Papua, masih kerap terjadi beragam pelanggaran HAM. Atas nama investasi atau eksplorasi tambang, ada banyak HAM warga sipil diabaikan. Bahkan aktivis yang berani menyuarakan pelanggaran HAM bisa dikriminalisasi atau dibunuh seperti Munir. Kita ingat kasus pembunuhan Salim Kancil di Lumajang oleh aparat desa pada 26 September 2015 karena berani menentang penambangan pasir di desanya. Salim dikeroyok 40 preman suruhan Haryono, Kades Selok Awar-Awar.
Kemudian pesan penting berikut tentu saja agar pemerintah berani mengusut tuntas dan mengungkap siapa dalang sesungguhnya di balik pembunuhan Munir. Dalang sesungguhnya harus diadili.
Jalan Terjal
Pesan lain yang penting, kematian Munir selalu mengingatkan kita pada kematian para pejuang keadilan di bumi ini, mulai dari tokoh Palestina seperti Arafat, yang konon juga tewas diracun hingga Uskup Kolombia Isaias Duarte Cancino yang tewas ditembak di Cali (16/3/2002).
Beberapa hari sebelum ditembak, Uskup Duarte mengatakan "Tak ada jalan nyaman yang harus dilewati oleh siapa pun yang berkomitmen pada perjuangan penegakan keadilan, bahkan sering kali harus melewati jalan terjal dan tragis!". Kalimat itu terasa relevan untuk menggambarkan akhir hidup Munir. Itulah akhir mengenaskan bagi sosok yang selama era Soeharto hingga Megawati selalu peduli pada hak asasi sesamanya.
Sekadar flashback, Munir lahir pada 8 Desember 1965, suatu periode ketika negeri ini banjir darah akibat tragedi 1965. Konon tragedi itu merenggut sejuta korban manusia Indonesia. Hingga kini Tragedi 1965 tetap mennjadi kasus pelanggaran HAM terberat. Tragedi 1965 rupanya ikut memengaruhi hidup Munir.
Memang minat Munir pada isu-isu HAM tampak mulai tergugah sejak ia menjadi mahasiswa di Malang pada era 1980-an. Skripsinya saja soal nasib kaum buruh. Visi HAM-nya tampak pada nama yang diberikan kepada anak pertamanya Sulthan Alif Allende. Idola Munir adalah Nabi Muhammad SAW yang tampak pada nama Alif. Munir menganggap Nabi Muhammad adalah pemimpin umat Islam yang berusaha menegakkan masyarakat madani dengan membebaskan para budak.
Munir juga mengagumi Salvador Allende, mantan Presiden Cile dari Partai Sosialis, yang digulingkan dan tewas ketika Jenderal Pinochet mengudeta Allende. Visi itu bukan jadi teori, tapi sungguh terimplementasi di sepanjang hidup Munir. Ia dikenal sebagai sosok yang berani. Ia tidak pernah mundur dalam perjuangannya membela para korban pelanggaran HAM dari Aceh hingga Papua.
Meski cara kematian Munir yang tak wajar itu amat kita sesali, tetapi justru dengan kematiannya, Munir benar-benar layak menyandang sebutan sebagai pejuang HAM sejati. Sebab kematian Munir itu menjadi simbol bahwa dia menyatu dengan para korban, khususnya mereka yang sudah mati akibat kekerasan oleh negara sejak Orba mulai berkuasa pada 1965 silam.
Dengan kematiannya, Munir terhindar dari sebutan pejuang HAM palsu. Simak kadang ada yang mengklaim sebagai pejuang HAM, tetapi maaf, perjuangan itu hanya sekadar "alat" untuk menutupi "motif-motif pribadi". Kasarnya, ada pihak yang suka menjual isu HAM demi kepentingan perut sendiri.
Dengan kematiannya, Munir juga terhindar dari sebutan "teoretikus" HAM. Sebab berapa banyak orang suka berwacana tentang HAM, tetapi ketika menghadapi sesamanya yang diinjak-injak martabatnya, mereka diam. Munir selalu rela memperjuangkan setiap korban HAM. Integritas dan kesederhanaannya juga patut diteladani. Meski sering diiming-imingi sesuatu, Munir tetap loyal di jalurnya dalam penegakan HAM dan keadilan.
Tidak mengherankan jika kemudian perjuangan Munir diapresiasi banyak kalangan. Sudah puluhan penghargaan diterima Suciwati, istri Munir. Bahkan Pemerintah Kota Den Haag di Belanda pernah mendedikasikan sebuah jalan dengan nama Munir, yakni Munirpad. Ini sebuah jalan khusus bagi para pengendara sepeda dan pejalan kaki yang mengabadikan nama Munir pada Selasa, 14 April 2015.
Pemerintah Presiden SBY dan Jokowi pernah menjanjikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Inilah pengadilan yang memiliki kompetensi dan otoritas mengadili berbagai bentuk pelanggaran HAM masa silam, termasuk kasus Munir.
Namun hingga kini pembentukan pengadilan HAM ad hoc tidak pernah terwujud. Jadi ternyata tidak mudah membangun kehidupan berbangsa dan bernegara pro-HAM. Maka ultah Munir pada 8 Desember serta peringatan Hari HAM Sedunia pada 10 Desember semoga menjadi momentum bagi kita untuk tidak menyerah dalam memperjuangkan peradaban yang memanusiakan manusia atau menghargai HAM.
Salah Satu Penulis Buku "Munir, Sebuah Kitab Melawan Lupa" (Mizan, 2004)
TIDAK terasa, sudah 14 tahun lebih Munir dibunuh. Seperti diketahui, Munir diracun dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Munir naik pesawat GA-974 yang berangkat dari Jakarta pada 6 September 2004, pukul 21.55 WIB, tiba di Singapura pada 7 September 2004 pukul 00.40 waktu setempat. Munir meninggal sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, pada pukul 08.10 waktu setempat, 7 September 2004. Dari hasil autopsi Lembaga Forensik Belanda (NFI), ditemukan dosis arsenik yang mematikan dalam jasad Munir.
Sebenarnya sudah ada proses peradilan atas pembunuh Munir. Pengadilan telah menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang berada dalam penerbangan yang sama dengan Munir, sebagai pelaku pembunuhan Munir. Fakta persidangan juga menyebut dugaan keterlibatan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN).
Namun pada 13 Desember 2008, mantan Deputi V BIN Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini justru divonis bebas. Inilah yang membuat Suciwati, istri Munir, dan kalangan aktivis HAM tidak puas. Maka sejak kematiannya, tiap tahun pada 7 September, juga pada tiap ultah Munir pada 8 Desember, selalu digelar peringatan oleh teman-teman Munir serta siapa pun yang pedudi hak asasi manusia (HAM). Peringatan ini merupakan perjuangan melawan lupa (Milan Kundera).
Tersisihnya HAM
Selain itu peringatan demikian juga punya beberapa makna atau pesan penting yang perlu kita refleksikan. Pesan pertama, kematian Munir selalu menjadi utang besar bagi bangsa, pemerintah, dan kita semua. Ternyata membangun kehidupan atau peradaban pro hak asasi manusia itu tidak mudah.
Di balik sukses di berbagai bidang, rezim sekarang terus terang gagal dalam menegakkan HAM. Isu-isu HAM kerap tersisih. Simak saja dari Aceh hingga Papua, masih kerap terjadi beragam pelanggaran HAM. Atas nama investasi atau eksplorasi tambang, ada banyak HAM warga sipil diabaikan. Bahkan aktivis yang berani menyuarakan pelanggaran HAM bisa dikriminalisasi atau dibunuh seperti Munir. Kita ingat kasus pembunuhan Salim Kancil di Lumajang oleh aparat desa pada 26 September 2015 karena berani menentang penambangan pasir di desanya. Salim dikeroyok 40 preman suruhan Haryono, Kades Selok Awar-Awar.
Kemudian pesan penting berikut tentu saja agar pemerintah berani mengusut tuntas dan mengungkap siapa dalang sesungguhnya di balik pembunuhan Munir. Dalang sesungguhnya harus diadili.
Jalan Terjal
Pesan lain yang penting, kematian Munir selalu mengingatkan kita pada kematian para pejuang keadilan di bumi ini, mulai dari tokoh Palestina seperti Arafat, yang konon juga tewas diracun hingga Uskup Kolombia Isaias Duarte Cancino yang tewas ditembak di Cali (16/3/2002).
Beberapa hari sebelum ditembak, Uskup Duarte mengatakan "Tak ada jalan nyaman yang harus dilewati oleh siapa pun yang berkomitmen pada perjuangan penegakan keadilan, bahkan sering kali harus melewati jalan terjal dan tragis!". Kalimat itu terasa relevan untuk menggambarkan akhir hidup Munir. Itulah akhir mengenaskan bagi sosok yang selama era Soeharto hingga Megawati selalu peduli pada hak asasi sesamanya.
Sekadar flashback, Munir lahir pada 8 Desember 1965, suatu periode ketika negeri ini banjir darah akibat tragedi 1965. Konon tragedi itu merenggut sejuta korban manusia Indonesia. Hingga kini Tragedi 1965 tetap mennjadi kasus pelanggaran HAM terberat. Tragedi 1965 rupanya ikut memengaruhi hidup Munir.
Memang minat Munir pada isu-isu HAM tampak mulai tergugah sejak ia menjadi mahasiswa di Malang pada era 1980-an. Skripsinya saja soal nasib kaum buruh. Visi HAM-nya tampak pada nama yang diberikan kepada anak pertamanya Sulthan Alif Allende. Idola Munir adalah Nabi Muhammad SAW yang tampak pada nama Alif. Munir menganggap Nabi Muhammad adalah pemimpin umat Islam yang berusaha menegakkan masyarakat madani dengan membebaskan para budak.
Munir juga mengagumi Salvador Allende, mantan Presiden Cile dari Partai Sosialis, yang digulingkan dan tewas ketika Jenderal Pinochet mengudeta Allende. Visi itu bukan jadi teori, tapi sungguh terimplementasi di sepanjang hidup Munir. Ia dikenal sebagai sosok yang berani. Ia tidak pernah mundur dalam perjuangannya membela para korban pelanggaran HAM dari Aceh hingga Papua.
Meski cara kematian Munir yang tak wajar itu amat kita sesali, tetapi justru dengan kematiannya, Munir benar-benar layak menyandang sebutan sebagai pejuang HAM sejati. Sebab kematian Munir itu menjadi simbol bahwa dia menyatu dengan para korban, khususnya mereka yang sudah mati akibat kekerasan oleh negara sejak Orba mulai berkuasa pada 1965 silam.
Dengan kematiannya, Munir terhindar dari sebutan pejuang HAM palsu. Simak kadang ada yang mengklaim sebagai pejuang HAM, tetapi maaf, perjuangan itu hanya sekadar "alat" untuk menutupi "motif-motif pribadi". Kasarnya, ada pihak yang suka menjual isu HAM demi kepentingan perut sendiri.
Dengan kematiannya, Munir juga terhindar dari sebutan "teoretikus" HAM. Sebab berapa banyak orang suka berwacana tentang HAM, tetapi ketika menghadapi sesamanya yang diinjak-injak martabatnya, mereka diam. Munir selalu rela memperjuangkan setiap korban HAM. Integritas dan kesederhanaannya juga patut diteladani. Meski sering diiming-imingi sesuatu, Munir tetap loyal di jalurnya dalam penegakan HAM dan keadilan.
Tidak mengherankan jika kemudian perjuangan Munir diapresiasi banyak kalangan. Sudah puluhan penghargaan diterima Suciwati, istri Munir. Bahkan Pemerintah Kota Den Haag di Belanda pernah mendedikasikan sebuah jalan dengan nama Munir, yakni Munirpad. Ini sebuah jalan khusus bagi para pengendara sepeda dan pejalan kaki yang mengabadikan nama Munir pada Selasa, 14 April 2015.
Pemerintah Presiden SBY dan Jokowi pernah menjanjikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Inilah pengadilan yang memiliki kompetensi dan otoritas mengadili berbagai bentuk pelanggaran HAM masa silam, termasuk kasus Munir.
Namun hingga kini pembentukan pengadilan HAM ad hoc tidak pernah terwujud. Jadi ternyata tidak mudah membangun kehidupan berbangsa dan bernegara pro-HAM. Maka ultah Munir pada 8 Desember serta peringatan Hari HAM Sedunia pada 10 Desember semoga menjadi momentum bagi kita untuk tidak menyerah dalam memperjuangkan peradaban yang memanusiakan manusia atau menghargai HAM.
(thm)