Vonis untuk Zumi Zola
A
A
A
ADA tren menarik mengenai vonis para terdakwa politisi akhir-akhir ini. Di samping memberikan vonis penjara kurungan dan denda, majelis hakim juga menghukum para terpidana dengan mencabut hak politiknya selama waktu tertentu. Kemarin, misalnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Gubernur Jambi nonaktif Zumi Zola Zulkifli dengan pidana tambahan pencabutan hak politik selama 5 tahun.
Sebagai hukuman pokok, majelis hakim memutuskan menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Hukuman tersebut sebagai konsekuensi Zumi Zola yang telah terbukti menerima gratifikasi sekitar Rp40 miliaran dan Zola terbukti memberikan suap “uang ketok palu” dengan total Rp16,34 miliar ke lebih 53 anggota dan pimpinan DPRD Provinsi Jambi.
Sebelumnya, pada Rabu (21/11), majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Franki Tambuwun memvonis Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I dan anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Golkar dengan pidana tambahan pencabutan hak politik selama 5 tahun, pidana penjara 8 tahun, dan sebesar Rp1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
Fayakhun terbukti menerima suap dengan total USD911.480 pada 2016 atau setara saat itu Rp12 miliar. Suap tersebut terbukti karena Fayakhun mengawal dan mengurus pembahasan dan pengesahan di DPR atas anggaran satelit monitoring dan drone dengan total Rp1,22 triliun pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam APBN Perubahan 2016.
Di tengah maraknya korupsi yang makin mengkhawatirkan di negara ini, apakah hukuman tersebut sudah cukup pantas bagi mereka? Pertanyaan kedua adalah seberapa efektifkah vonis tambahan berupa pencabutan hak politik tersebut untuk memberikan efek jera bagi pemberantasan korupsi di Indonesia? Apalagi sanksi pencabutan politik tersebut hanya 5 tahun. Bahkan, beberapa terdakwa korupsi sebelumnya hanya dicabut hak politiknya antara 2 sampai 3 tahun.
Hukuman penjara yang hanya 6 sampai 8 tahun yang dijatuhkan kepada Zumi Zola dan Fayakhun tersebut masih tergolong ringan. Adanya tambahan hukuman pencabutan hak politik dinilai tak akan memberikan pengaruh yang banyak bagi pemberantasan korupsi. Karena pencabutan hak politik yang waktunya hanya 2 tahun atau 5 tahun tersebut tidak membuat orang takut untuk tidak korupsi.
Sudah seharusnya para penegak hukum ini sadar bahwa vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor selama ini masih terlampau rendah sehingga vonis-vonis tersebut tidak menimbulkan efek jera maupun membuat takut para koruptor. Hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017 menyebutkan bahwa hukuman yang diterima para koruptor dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi di tingkat Mahkamah Agung sangat ringan, rata-rata hanya 2 tahun 2 bulan penjara.
Secara lebih detail, untuk pengadilan negeri hukumannya rata-rata 2 tahun 1 bulan. Di tingkat banding, yakni di pengadilan tinggi, vonisnya rata-rata 2 tahun 2 bulan. Ada ketimpangan yang cukup signifikan di tingkat MA, yaitu mereka mengganjar para koruptor dengan hukuman yang lebih berat dengan rata-rata hukuman 5 tahun.
Dari hasil penelitian ICW di atas kita sudah bisa mengambil simpulan bahwa sangat wajar kalau pemberantasan korupsi di Indonesia bisa dikatakan gagal, terutama dari segi pencegahannya. Padahal, KPK sering menyebut pencegahan menjadi prioritas dalam pemberantasan korupsi. Ini bisa kita lihat bagaimana begitu gampangnya KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap para kepala daerah.
Selama KPK berdiri pada 2002 sudah lebih dari 100 kepala daerah yang diproses hukum karena terjerat kasus korupsi. Bahkan trennya bertambah banyak. Untuk 2018 saja sudah lebih dari 22 kepala daerah yang terjaring KPK karena korupsi. Hal ini menunjukkan penegakan hukum kasus korupsi selama ini tidak menimbulkan efek jera.
Hal inilah seharusnya menjadikan penegak hukum untuk meninjau ulang kebijakannya terutama adalah terkait minimnya hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor. Selama vonis yang dijatuhkan masih rendah jangan berharap korupsi bisa dienyahkan dari Bumi Pertiwi.
Sebagai hukuman pokok, majelis hakim memutuskan menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Hukuman tersebut sebagai konsekuensi Zumi Zola yang telah terbukti menerima gratifikasi sekitar Rp40 miliaran dan Zola terbukti memberikan suap “uang ketok palu” dengan total Rp16,34 miliar ke lebih 53 anggota dan pimpinan DPRD Provinsi Jambi.
Sebelumnya, pada Rabu (21/11), majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Franki Tambuwun memvonis Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I dan anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Golkar dengan pidana tambahan pencabutan hak politik selama 5 tahun, pidana penjara 8 tahun, dan sebesar Rp1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
Fayakhun terbukti menerima suap dengan total USD911.480 pada 2016 atau setara saat itu Rp12 miliar. Suap tersebut terbukti karena Fayakhun mengawal dan mengurus pembahasan dan pengesahan di DPR atas anggaran satelit monitoring dan drone dengan total Rp1,22 triliun pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam APBN Perubahan 2016.
Di tengah maraknya korupsi yang makin mengkhawatirkan di negara ini, apakah hukuman tersebut sudah cukup pantas bagi mereka? Pertanyaan kedua adalah seberapa efektifkah vonis tambahan berupa pencabutan hak politik tersebut untuk memberikan efek jera bagi pemberantasan korupsi di Indonesia? Apalagi sanksi pencabutan politik tersebut hanya 5 tahun. Bahkan, beberapa terdakwa korupsi sebelumnya hanya dicabut hak politiknya antara 2 sampai 3 tahun.
Hukuman penjara yang hanya 6 sampai 8 tahun yang dijatuhkan kepada Zumi Zola dan Fayakhun tersebut masih tergolong ringan. Adanya tambahan hukuman pencabutan hak politik dinilai tak akan memberikan pengaruh yang banyak bagi pemberantasan korupsi. Karena pencabutan hak politik yang waktunya hanya 2 tahun atau 5 tahun tersebut tidak membuat orang takut untuk tidak korupsi.
Sudah seharusnya para penegak hukum ini sadar bahwa vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor selama ini masih terlampau rendah sehingga vonis-vonis tersebut tidak menimbulkan efek jera maupun membuat takut para koruptor. Hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017 menyebutkan bahwa hukuman yang diterima para koruptor dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi di tingkat Mahkamah Agung sangat ringan, rata-rata hanya 2 tahun 2 bulan penjara.
Secara lebih detail, untuk pengadilan negeri hukumannya rata-rata 2 tahun 1 bulan. Di tingkat banding, yakni di pengadilan tinggi, vonisnya rata-rata 2 tahun 2 bulan. Ada ketimpangan yang cukup signifikan di tingkat MA, yaitu mereka mengganjar para koruptor dengan hukuman yang lebih berat dengan rata-rata hukuman 5 tahun.
Dari hasil penelitian ICW di atas kita sudah bisa mengambil simpulan bahwa sangat wajar kalau pemberantasan korupsi di Indonesia bisa dikatakan gagal, terutama dari segi pencegahannya. Padahal, KPK sering menyebut pencegahan menjadi prioritas dalam pemberantasan korupsi. Ini bisa kita lihat bagaimana begitu gampangnya KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap para kepala daerah.
Selama KPK berdiri pada 2002 sudah lebih dari 100 kepala daerah yang diproses hukum karena terjerat kasus korupsi. Bahkan trennya bertambah banyak. Untuk 2018 saja sudah lebih dari 22 kepala daerah yang terjaring KPK karena korupsi. Hal ini menunjukkan penegakan hukum kasus korupsi selama ini tidak menimbulkan efek jera.
Hal inilah seharusnya menjadikan penegak hukum untuk meninjau ulang kebijakannya terutama adalah terkait minimnya hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor. Selama vonis yang dijatuhkan masih rendah jangan berharap korupsi bisa dienyahkan dari Bumi Pertiwi.
(thm)