Penugasan Infrastruktur dan Manajemen Risiko BUMN
A
A
A
Muhammad RomliAnalis Pembiayaan Investasi pada Badan Kebijakan Fiskal,
Komite Manajemen Risiko BUMN
PADA Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2018 beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyampaikan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur empat tahun terakhir. Presiden juga menjelaskan berbagai infrastruktur yang siap diresmikan pada akhir 2018 hingga 2019 nanti. Pada pengujung 2018 akan diresmikan Jalan Tol Trans Jawa, sementara proyek yang akan diresmikan pada 2019 di antaranya runway III Bandara Soekarno Hatta yang kini tengah digarap serius oleh PT Angkasa Pura II (Persero).
Kita patut menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas kerja keras pemerintah dalam pembangunan infrastruktur. Pasalnya, bertambahnya infrastruktur menciptakan banyak manfaat dan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Mobilitas masyarakat dalam menjalankan aktivitas ekonomi dan transaksi bisnis juga semakin mudah serta cepat. Kondisi ini diharapkan bisa mendorong pemerataan dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Dalam APBN 2019, infrastruktur masih menjadi top branding pemerintah. Indikasinya, belanja infrastruktur semakin meningkat menjadi Rp415 triliun. Selain melalui belanja, dukungan infrastruktur juga disalurkan melalui pembiayaan, baik untuk BUMN maupun Badan Layanan Umum (BLU) dengan total lebih dari Rp45 triliun. Hal istimewa, meskipun APBN 2019 tetap ekspansif dengan belanja infrastruktur tinggi, namun disertai mitigasi risiko lebih baik. Ini tercermin dari rasio defisit terhadap PDB yang semakin rendah, yakni 1,84% (Rp297,2 triliun) atau terendah sejak 2013.
Kini PR pemerintah adalah memantau kesehatan dan kesinambungan BUMN agar bisa merampungkan penugasan infrastruktur melalui penguatan strategi, tata kelola, dan manajemen risiko (MR) yang baik. Standar MR pada BUMN yang melaksanakan penugasan infrastruktur harus didesain lebih tinggi sejalan dengan karakteristik proyek infrastruktur high risk high return. Selain itu, karena nature infrastruktur yang ditugaskan pada BUMN biasanya tidak layak secara investasi finansial dan membutuhkan leveraging besar sehingga eksposur risiko bawaannya juga lebih tinggi.
Penguatan Manajemen Risiko
Bagi sebuah korporasi termasuk BUMN, MR sejatinya merupakan instrumen dalam sistem pengendalian internal yang membantu pencapaian sasaran perusahaan. MR juga menjadi persyaratan minimal menuju praktik tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Sementara risiko bisa diterjemahkan sebagai segala ketidakpastian yang berpotensi menciptakan deviasi dalam pencapaian sasaran, baik secara langsung maupun tidak. Dengan pendekatan tertentu, setiap risiko harus bisa diukur, baik dari sisi dampak maupun kemungkinan terjadinya (likelihood)Untuk dampak risiko tidak selamanya negatif, tapi bisa menjadi positif ketika mendapatkan perlakuan risiko yang tepat.
Merujuk pada standar ISO 31000 (2018), ada lima tahapan berurutan dalam proses MR, yaitu (1) komunikasi dan konsultasi, (2) penetapan lingkup, konteks dan kriteria, (3) asesmen risiko, (4) perlakuan risiko serta, (5) monitoring dan review. Salah satu tahapan penting adalah asesmen risiko yang terdiri dari identifikasi, analisis, dan evaluasi risiko secara terintegrasi. Untuk metode asesmen bisa dilakukan dari cara sederhana, seperti brainstorming, what if analysis, dan cost benefit analysis, hingga dengan metode kompleks, seperti Markov Analysis dan Monte Carlo Simulation.
Dalam praktiknya, masih terjadi persepsi keliru dalam pemahaman terhadap MR. Sering kali MR dipandang hanya sebatas kewajiban perseroan dalam menyusun risk profile, yaitu daftar panjang berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dari waktu ke waktu. Tentu ini belum cukup karena risk profile hanya satu bagian dari keseluruhan tahapan dalam proses MR yang saling terintegrasi dan sekuensial. Setelah penyusunan risk profile, perusahaan masih perlu menyiapkan langkah selanjutnya, seperti kebijakan mitigasi, perlakuan risiko, dan sistem informasi pemantauannya.
Persepsi keliru lainnya, pengelolaan MR kerap dipandang hanya sebagai tanggung jawab departemen MR dan bukan tanggung jawab departemen teknis. Tentu pandangan ini keliru karena MR sejatinya merupakan tanggung jawab bersama seluruh pegawai perusahaan selaku pemilik risiko termasuk pada divisi teknis hingga level terendah sekalipun. Dalam konteks ini, penyusunan asesmen risiko bisa dilakukan sederhana sesuai dengan besarnya tanggung jawab di masing-masing pegawai. Di sini departemen MR berperan sebagai pelatih (coaching) agar penerapan MR berjalan baik dan benar.
Sementara itu, muara dari penerapan MR adalah membentuk risk culture di perusahaan, yaitu sistem kinerja yang sudah menyertakan asesmen risiko sebagai bagian tak terpisahkan dari prosedur di setiap proses bisnis pada level apapun. Ketika risk culture sudah terbentuk, maka setiap pegawai akan mempunyai kesadaran sama akan pentingnya asesmen risiko dalam setiap proses bisnis. Untuk membentuk risk culture ini, syarat utamanya adalah dengan membangun komunikasi efektif antara divisi MR dan divisi teknis secara formal maupun informal.
Dalam konteks penugasan infrastruktur dewasa ini, BUMN sebagai agent of development memang harus menjalankan penugasan sebaik-baiknya. Namun di sisi lain, BUMN juga tetap perlu memperhatikan praktik GCG serta mampu menjaga kesehatan dan sustainabilitas jangka panjangnya (going concern). Pertemuan dua kutub inilah menyebabkan penerapan MR menjadi sangat penting bagi BUMN dalam mendukung pencapaian sasaran secara seimbang. Rule of thumb-nya adalah ketika ketidakpastian menciptakan dampak semakin besar dalam penugasan, maka standar mitigasi risiko yang diterapkan juga harus semakin tinggi pula.
Selanjutnya satu strategi penting untuk mendukung efektivitas penugasan infrastruktur adalah BUMN harus matang pada tatanan perencanaan. Ini artinya, perseroan harus mampu menerjemahkan arah penugasan dari tiga aspek, yaitu (1) studi kelayakan atau feasibility study (FS), (2) asesmen risiko, dan (3) rencana bisnis jangka menengah. Untuk hasil FS harus secara eksplisit dan terukur mampu menyimpulkan layak tidaknya proyek infrastruktur, baik secara finansial maupun ekonomi. Selain itu, FS juga harus bisa merumuskan kebijakan perseroan dalam menjalankan penugasan terutama dari sisi operasional maupun finansial.
Sementara itu, untuk asesmen risiko perlu memperhatikan volatilitas global, tren ekonomi domestik, kebijakan industri, dan dinamisasi internal. Asesmen risiko juga harus bisa menjelaskan struktur risiko hingga level spesifik disertai strategi mitigasinya. Terkait rencana bisnis jangka menengah, poin pentingnya adalah BUMN harus mampu merumuskan strategi kreatif agar aset tetap dan infrastruktur yang mulai beroperasi tidak hanya menjadi cost centre namun harus mampu menambah cash inflow perusahaan. Ini penting untuk menjaga efisiensi dan sustainabilitas finansial.
Sebagai catatan, pemerintah selaku pemilik risiko infrastruktur harus mempunyai dasar pertimbangan kuat sebelum memberikan penugasan pada BUMN, terutama dari aspek risiko yang akan dihadapi APBN maupun BUMN pada masa hingga pascapenugasan. Selain itu, pemerintah perlu membangun Early Warning System (EWS) sebagai instrumen pengendali risiko sekaligus pemantau perkembangan infrastruktur di seluruh Tanah Air. Terakhir, agar pembangunan infrastruktur berjalan lebih efektif dan efisien, tentu dibutuhkan dukungan dari segenap masyarakat.
Komite Manajemen Risiko BUMN
PADA Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2018 beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyampaikan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur empat tahun terakhir. Presiden juga menjelaskan berbagai infrastruktur yang siap diresmikan pada akhir 2018 hingga 2019 nanti. Pada pengujung 2018 akan diresmikan Jalan Tol Trans Jawa, sementara proyek yang akan diresmikan pada 2019 di antaranya runway III Bandara Soekarno Hatta yang kini tengah digarap serius oleh PT Angkasa Pura II (Persero).
Kita patut menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas kerja keras pemerintah dalam pembangunan infrastruktur. Pasalnya, bertambahnya infrastruktur menciptakan banyak manfaat dan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Mobilitas masyarakat dalam menjalankan aktivitas ekonomi dan transaksi bisnis juga semakin mudah serta cepat. Kondisi ini diharapkan bisa mendorong pemerataan dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Dalam APBN 2019, infrastruktur masih menjadi top branding pemerintah. Indikasinya, belanja infrastruktur semakin meningkat menjadi Rp415 triliun. Selain melalui belanja, dukungan infrastruktur juga disalurkan melalui pembiayaan, baik untuk BUMN maupun Badan Layanan Umum (BLU) dengan total lebih dari Rp45 triliun. Hal istimewa, meskipun APBN 2019 tetap ekspansif dengan belanja infrastruktur tinggi, namun disertai mitigasi risiko lebih baik. Ini tercermin dari rasio defisit terhadap PDB yang semakin rendah, yakni 1,84% (Rp297,2 triliun) atau terendah sejak 2013.
Kini PR pemerintah adalah memantau kesehatan dan kesinambungan BUMN agar bisa merampungkan penugasan infrastruktur melalui penguatan strategi, tata kelola, dan manajemen risiko (MR) yang baik. Standar MR pada BUMN yang melaksanakan penugasan infrastruktur harus didesain lebih tinggi sejalan dengan karakteristik proyek infrastruktur high risk high return. Selain itu, karena nature infrastruktur yang ditugaskan pada BUMN biasanya tidak layak secara investasi finansial dan membutuhkan leveraging besar sehingga eksposur risiko bawaannya juga lebih tinggi.
Penguatan Manajemen Risiko
Bagi sebuah korporasi termasuk BUMN, MR sejatinya merupakan instrumen dalam sistem pengendalian internal yang membantu pencapaian sasaran perusahaan. MR juga menjadi persyaratan minimal menuju praktik tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Sementara risiko bisa diterjemahkan sebagai segala ketidakpastian yang berpotensi menciptakan deviasi dalam pencapaian sasaran, baik secara langsung maupun tidak. Dengan pendekatan tertentu, setiap risiko harus bisa diukur, baik dari sisi dampak maupun kemungkinan terjadinya (likelihood)Untuk dampak risiko tidak selamanya negatif, tapi bisa menjadi positif ketika mendapatkan perlakuan risiko yang tepat.
Merujuk pada standar ISO 31000 (2018), ada lima tahapan berurutan dalam proses MR, yaitu (1) komunikasi dan konsultasi, (2) penetapan lingkup, konteks dan kriteria, (3) asesmen risiko, (4) perlakuan risiko serta, (5) monitoring dan review. Salah satu tahapan penting adalah asesmen risiko yang terdiri dari identifikasi, analisis, dan evaluasi risiko secara terintegrasi. Untuk metode asesmen bisa dilakukan dari cara sederhana, seperti brainstorming, what if analysis, dan cost benefit analysis, hingga dengan metode kompleks, seperti Markov Analysis dan Monte Carlo Simulation.
Dalam praktiknya, masih terjadi persepsi keliru dalam pemahaman terhadap MR. Sering kali MR dipandang hanya sebatas kewajiban perseroan dalam menyusun risk profile, yaitu daftar panjang berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dari waktu ke waktu. Tentu ini belum cukup karena risk profile hanya satu bagian dari keseluruhan tahapan dalam proses MR yang saling terintegrasi dan sekuensial. Setelah penyusunan risk profile, perusahaan masih perlu menyiapkan langkah selanjutnya, seperti kebijakan mitigasi, perlakuan risiko, dan sistem informasi pemantauannya.
Persepsi keliru lainnya, pengelolaan MR kerap dipandang hanya sebagai tanggung jawab departemen MR dan bukan tanggung jawab departemen teknis. Tentu pandangan ini keliru karena MR sejatinya merupakan tanggung jawab bersama seluruh pegawai perusahaan selaku pemilik risiko termasuk pada divisi teknis hingga level terendah sekalipun. Dalam konteks ini, penyusunan asesmen risiko bisa dilakukan sederhana sesuai dengan besarnya tanggung jawab di masing-masing pegawai. Di sini departemen MR berperan sebagai pelatih (coaching) agar penerapan MR berjalan baik dan benar.
Sementara itu, muara dari penerapan MR adalah membentuk risk culture di perusahaan, yaitu sistem kinerja yang sudah menyertakan asesmen risiko sebagai bagian tak terpisahkan dari prosedur di setiap proses bisnis pada level apapun. Ketika risk culture sudah terbentuk, maka setiap pegawai akan mempunyai kesadaran sama akan pentingnya asesmen risiko dalam setiap proses bisnis. Untuk membentuk risk culture ini, syarat utamanya adalah dengan membangun komunikasi efektif antara divisi MR dan divisi teknis secara formal maupun informal.
Dalam konteks penugasan infrastruktur dewasa ini, BUMN sebagai agent of development memang harus menjalankan penugasan sebaik-baiknya. Namun di sisi lain, BUMN juga tetap perlu memperhatikan praktik GCG serta mampu menjaga kesehatan dan sustainabilitas jangka panjangnya (going concern). Pertemuan dua kutub inilah menyebabkan penerapan MR menjadi sangat penting bagi BUMN dalam mendukung pencapaian sasaran secara seimbang. Rule of thumb-nya adalah ketika ketidakpastian menciptakan dampak semakin besar dalam penugasan, maka standar mitigasi risiko yang diterapkan juga harus semakin tinggi pula.
Selanjutnya satu strategi penting untuk mendukung efektivitas penugasan infrastruktur adalah BUMN harus matang pada tatanan perencanaan. Ini artinya, perseroan harus mampu menerjemahkan arah penugasan dari tiga aspek, yaitu (1) studi kelayakan atau feasibility study (FS), (2) asesmen risiko, dan (3) rencana bisnis jangka menengah. Untuk hasil FS harus secara eksplisit dan terukur mampu menyimpulkan layak tidaknya proyek infrastruktur, baik secara finansial maupun ekonomi. Selain itu, FS juga harus bisa merumuskan kebijakan perseroan dalam menjalankan penugasan terutama dari sisi operasional maupun finansial.
Sementara itu, untuk asesmen risiko perlu memperhatikan volatilitas global, tren ekonomi domestik, kebijakan industri, dan dinamisasi internal. Asesmen risiko juga harus bisa menjelaskan struktur risiko hingga level spesifik disertai strategi mitigasinya. Terkait rencana bisnis jangka menengah, poin pentingnya adalah BUMN harus mampu merumuskan strategi kreatif agar aset tetap dan infrastruktur yang mulai beroperasi tidak hanya menjadi cost centre namun harus mampu menambah cash inflow perusahaan. Ini penting untuk menjaga efisiensi dan sustainabilitas finansial.
Sebagai catatan, pemerintah selaku pemilik risiko infrastruktur harus mempunyai dasar pertimbangan kuat sebelum memberikan penugasan pada BUMN, terutama dari aspek risiko yang akan dihadapi APBN maupun BUMN pada masa hingga pascapenugasan. Selain itu, pemerintah perlu membangun Early Warning System (EWS) sebagai instrumen pengendali risiko sekaligus pemantau perkembangan infrastruktur di seluruh Tanah Air. Terakhir, agar pembangunan infrastruktur berjalan lebih efektif dan efisien, tentu dibutuhkan dukungan dari segenap masyarakat.
(kri)