Perbuatan Cabul dalam Konteks

Jum'at, 23 November 2018 - 08:59 WIB
Perbuatan Cabul dalam Konteks
Perbuatan Cabul dalam Konteks
A A A
Muhammad Fatahillah AkbarDosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

JUDEX Herbere debet duos sales, salem sapientiae, ne sit insipidus, et salem conscientiae, ne sit diabolus (seorang hakim harus mem­punyai dua hal: suatu kebijakan, kecuali dia adalah orang yang bodoh; dan hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam).Adagium tersebut pada dasarnya di­tujukan bagi se­orang hakim. Na­mun dalam per­kem­­bang­an­n­ya postulat terse­but berlaku pula pada setiap penegak hu­kum dan pengambil kebijakan dalam membentuk se­­buah ke­bijakan. Berkaitan de­ngan hal tersebut, dalam bebe­rapa hari terakhir publik cukup direpot­kan dengan persoalan dugaan perbuatan cabul di ling­kungan suatu universitas.Diskusi yang lahir kemu­dian adalah mengenai proses dalam menangani masalah ter­sebut. Tindakan represif ke­mu­dian menjadi saran utama publik dan publisitas viral ter­hadap kasus tersebut menjadi tidak terhin­darkan. Apakah hasil tersebut menjadi hasil yang pro­duktif bagi pena­ngan­an kasus itu?Bagaimana dampaknya ter­ha­dap korban, pelaku dan institusi yang terlibat? Tulisan ini ber­maksud menjelaskan bagai­mana perbuatan cabul dalam hukum pidana dan ba­gai­­mana seharusnya mena­ngani masa­lah tersebut. Tulisan ini juga akan memberikan rekomen­dasi ke­pada institusi pen­didik­an da­lam menangani masalah seperti ini.Perbuatan cabul diatur di dalam Bab XIV KUHP menge­nai kejahatan terhadap ke­susi­la­an bersamaan dengan per­kosa­an dan juga perzinaan. Ke­jahatan kesusilaan itu memiliki makna yang cukup luas. Bah­kan, menurut R Soesilo, pe­lang­garan terhadap kesusilaan melekat pada etika di suatu masyarakat yang bisa berbeda di antara satu daerah dengan daerah lainnya.Sebagai con­toh, di Bali dikenal tindakan lokika sanggraha yang ber­makna cu­kup luas mengenai pelang­gar­an kesusilaan seperti per­zina­an di luar ikatan per­kawinan dan tindak asusila lain.Dengan level yang berbeda, di Aceh dikenal tindak pidana khalwat, yakni perbuatan ber­dua dengan lawan jenis pada suatu ruangan juga dianggap sebagai pelang­gar­an kesusilaan. Per­kem­bangan di Aceh juga dida­sar­kan pada hukum Islam yang kuat di daerah tersebut. Ini men­jadi­kan batasan kesusilaan men­jadi bergantung pada ke­susilaan menurut masyarakat setempat.Terlebih, dalam pengaturan tindak pidana kesusilaan sen­diri terdapat berbagai jenis di dalam­nya, termasuk perbuatan cabul. R Soesilo, di dalam buku KUHP Serta Komentar-komentar­­nya, menyebut, “Yang dimaksudkan dengan “per­buat­an cabul” ialah segala perbuatan yang melang­gar kesusilaan (ke­sopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-cium­an, maraba-raba anggota ke­malu­an, meraba-raba buah dada, dan sebagainya."Pada dasarnya definisi “perbuatan cabul” cukup luas dan merupakan konsep perlindungan masyarakat dari kekerasan seksual. Dalam KUHP, perbuatan cabul dengan kekerasan atau ancaman keke­rasan dipidana menggunakan Pasal 289 KUHP, bahkan per­buatan cabul terhadap sese­orang yang pingsan atau tidak berdaya juga diancam pidana Pasal 290 ayat (1) KUHP.Namun, peng­aturan perbuatan cabul ini masih sangat luas dan sulit dalam penegakannya. Perbuatan cabul dalam RUU KUHP maupun RUU Penghapusan Kekerasan Sek­sual lebih detail dan spesifik se­hingga memudahkan pene­gak­an hukum.Pada dasarnya, pengaturan perbuatan cabul adalah untuk melindungi setiap orang dari segala bentuk kekerasan sek­sual. Ini berkaitan dengan per­kosaan yang berbeda dengan perbuatan cabul di mana per­kosaan lebih sempit ke perse­tubuhan, sedangkan per­buat­an cabul lebih luas dan tidak ter­batas.Penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan juga menjadi kunci dalam per­buat­an cabul. Namun, hal yang meng­hambat penegakan hu­kum­nya adalah korban keke­rasan seksual sering kali ter­pojok dan mengalami re-victimization oleh penegak hukum itu sendiri.Victim blaming sudah biasa terjadi, di mana pertanyaan-pertanyaan terhadap korban terkesan menyalahkan korban dalam berbagai kasus kekeras­an seksual. Karena itu, saat ini sudah dibentuk berbagai lem­baga pendampingan ter­hadap kaum rentan terutama perem­puan dan anak yang menjadi kor­ban tindak pidana. Lembaga-lembaga tersebut bertugas mem­berikan informasi-infor­m­asi penting bagi korban dan menyiapkan korban untuk meng­hadapi proses hukum, tentunya dengan menjaga ke­rahasiaan identitas korban.Dalam kasus kekerasan sek­sual, penyelesaian secara keke­luargaan atau menggunakan kebijakan internal suatu lem­baga tidaklah cukup. Keterlibat­an pihak yang memiliki kom­petensi terhadap hal tersebut juga menjadi sangat penting se­bagaimana dijelaskan sebe­lum­nya.Namun, harus dipahami publisitas kasus kekerasan seksual harus dikendalikan dan dikurangi. Dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP seluruh persidang­an dalam hukum acara pidana harus dibuka untuk umum, ke­cuali dalam perkara kesusilaan dan anak-anak. Legal spirit dari diaturnya tertutup untuk umum adalah untuk melin­dungi korban dan mengurangi tekanan terhadap korban. Prinsip ini juga bahkan berlaku sejak penyelidikan sampai selu­ruh tahapan lainnya. Karena itu, publisitas terhadap kasus ke­kerasan seksual harus dikon­trol dengan lebih baik oleh pe­negak hukum.Kondisi darurat kekerasan seksual ini seharusnya menjadi momentum disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Sek­sual. Dalam rancangan ter­sebut terdapat berbagai ke-khususan yang dibutuhkan dalam pena­nganan kekerasan seksual, se­perti pengaturan khusus me­nge­nai alat bukti yang lebih sederhana dan per­lindungan korban yang kuat.Di sana juga korban diper­lal­u­kan sebagai subjek dan di­beri­kan hak-hak yang lebih kom­pre­hensif. De­ngan diperkuat­nya sistem hu­kum kekerasan seksual, maka penurunan angka kekerasan seksual akan meningkat.Dalam data Komnas Perem­puan 2017 dinyatakan, pada 2016 setiap harinya 53 perem­puan mengalami kekerasan sek­sual. Angka tersebut me­nun­jukkan bobroknya perlin­dung­an terhadap kekerasan sek­sual. Dalam hal ini keter­libatan lembaga-lembaga pen­didikan diperlukan mengingat kekeras­an seksual dapat terjadi pada murid atau mahasiswa yang juga merupakan kaum ren­tan.Karena itu, setiap lembaga pendidikan harus memiliki standard operating procedure (SOP) dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Salah satu SOP utama adalah melibat­kan lembaga pendampingan kor­ban eksternal untuk mem­per­siapkan korban dalam me­lakukan pelaporan dan menjaga kerahasiaan identitas korban sehingga kekerasan seksual da­pat dikurangi, bahkan sepe­nuh­nya dihapuskan. Sebagai me­nutup harus dinyatakan kem­bali, hukum itu lahir sebagai penyembuh sebagaimana se­buah adagium: lex semper dabit remidium, yang bermakna hu­kum sebagai obat.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3295 seconds (0.1#10.140)