Perbuatan Cabul dalam Konteks
A
A
A
Muhammad Fatahillah AkbarDosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
JUDEX Herbere debet duos sales, salem sapientiae, ne sit insipidus, et salem conscientiae, ne sit diabolus (seorang hakim harus mempunyai dua hal: suatu kebijakan, kecuali dia adalah orang yang bodoh; dan hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam).Adagium tersebut pada dasarnya ditujukan bagi seorang hakim. Namun dalam perkembangannya postulat tersebut berlaku pula pada setiap penegak hukum dan pengambil kebijakan dalam membentuk sebuah kebijakan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam beberapa hari terakhir publik cukup direpotkan dengan persoalan dugaan perbuatan cabul di lingkungan suatu universitas.Diskusi yang lahir kemudian adalah mengenai proses dalam menangani masalah tersebut. Tindakan represif kemudian menjadi saran utama publik dan publisitas viral terhadap kasus tersebut menjadi tidak terhindarkan. Apakah hasil tersebut menjadi hasil yang produktif bagi penanganan kasus itu?Bagaimana dampaknya terhadap korban, pelaku dan institusi yang terlibat? Tulisan ini bermaksud menjelaskan bagaimana perbuatan cabul dalam hukum pidana dan bagaimana seharusnya menangani masalah tersebut. Tulisan ini juga akan memberikan rekomendasi kepada institusi pendidikan dalam menangani masalah seperti ini.Perbuatan cabul diatur di dalam Bab XIV KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan bersamaan dengan perkosaan dan juga perzinaan. Kejahatan kesusilaan itu memiliki makna yang cukup luas. Bahkan, menurut R Soesilo, pelanggaran terhadap kesusilaan melekat pada etika di suatu masyarakat yang bisa berbeda di antara satu daerah dengan daerah lainnya.Sebagai contoh, di Bali dikenal tindakan lokika sanggraha yang bermakna cukup luas mengenai pelanggaran kesusilaan seperti perzinaan di luar ikatan perkawinan dan tindak asusila lain.Dengan level yang berbeda, di Aceh dikenal tindak pidana khalwat, yakni perbuatan berdua dengan lawan jenis pada suatu ruangan juga dianggap sebagai pelanggaran kesusilaan. Perkembangan di Aceh juga didasarkan pada hukum Islam yang kuat di daerah tersebut. Ini menjadikan batasan kesusilaan menjadi bergantung pada kesusilaan menurut masyarakat setempat.Terlebih, dalam pengaturan tindak pidana kesusilaan sendiri terdapat berbagai jenis di dalamnya, termasuk perbuatan cabul. R Soesilo, di dalam buku KUHP Serta Komentar-komentarnya, menyebut, “Yang dimaksudkan dengan “perbuatan cabul” ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, maraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya."Pada dasarnya definisi “perbuatan cabul” cukup luas dan merupakan konsep perlindungan masyarakat dari kekerasan seksual. Dalam KUHP, perbuatan cabul dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dipidana menggunakan Pasal 289 KUHP, bahkan perbuatan cabul terhadap seseorang yang pingsan atau tidak berdaya juga diancam pidana Pasal 290 ayat (1) KUHP.Namun, pengaturan perbuatan cabul ini masih sangat luas dan sulit dalam penegakannya. Perbuatan cabul dalam RUU KUHP maupun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lebih detail dan spesifik sehingga memudahkan penegakan hukum.Pada dasarnya, pengaturan perbuatan cabul adalah untuk melindungi setiap orang dari segala bentuk kekerasan seksual. Ini berkaitan dengan perkosaan yang berbeda dengan perbuatan cabul di mana perkosaan lebih sempit ke persetubuhan, sedangkan perbuatan cabul lebih luas dan tidak terbatas.Penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan juga menjadi kunci dalam perbuatan cabul. Namun, hal yang menghambat penegakan hukumnya adalah korban kekerasan seksual sering kali terpojok dan mengalami re-victimization oleh penegak hukum itu sendiri.Victim blaming sudah biasa terjadi, di mana pertanyaan-pertanyaan terhadap korban terkesan menyalahkan korban dalam berbagai kasus kekerasan seksual. Karena itu, saat ini sudah dibentuk berbagai lembaga pendampingan terhadap kaum rentan terutama perempuan dan anak yang menjadi korban tindak pidana. Lembaga-lembaga tersebut bertugas memberikan informasi-informasi penting bagi korban dan menyiapkan korban untuk menghadapi proses hukum, tentunya dengan menjaga kerahasiaan identitas korban.Dalam kasus kekerasan seksual, penyelesaian secara kekeluargaan atau menggunakan kebijakan internal suatu lembaga tidaklah cukup. Keterlibatan pihak yang memiliki kompetensi terhadap hal tersebut juga menjadi sangat penting sebagaimana dijelaskan sebelumnya.Namun, harus dipahami publisitas kasus kekerasan seksual harus dikendalikan dan dikurangi. Dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP seluruh persidangan dalam hukum acara pidana harus dibuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan dan anak-anak. Legal spirit dari diaturnya tertutup untuk umum adalah untuk melindungi korban dan mengurangi tekanan terhadap korban. Prinsip ini juga bahkan berlaku sejak penyelidikan sampai seluruh tahapan lainnya. Karena itu, publisitas terhadap kasus kekerasan seksual harus dikontrol dengan lebih baik oleh penegak hukum.Kondisi darurat kekerasan seksual ini seharusnya menjadi momentum disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dalam rancangan tersebut terdapat berbagai ke-khususan yang dibutuhkan dalam penanganan kekerasan seksual, seperti pengaturan khusus mengenai alat bukti yang lebih sederhana dan perlindungan korban yang kuat.Di sana juga korban diperlalukan sebagai subjek dan diberikan hak-hak yang lebih komprehensif. Dengan diperkuatnya sistem hukum kekerasan seksual, maka penurunan angka kekerasan seksual akan meningkat.Dalam data Komnas Perempuan 2017 dinyatakan, pada 2016 setiap harinya 53 perempuan mengalami kekerasan seksual. Angka tersebut menunjukkan bobroknya perlindungan terhadap kekerasan seksual. Dalam hal ini keterlibatan lembaga-lembaga pendidikan diperlukan mengingat kekerasan seksual dapat terjadi pada murid atau mahasiswa yang juga merupakan kaum rentan.Karena itu, setiap lembaga pendidikan harus memiliki standard operating procedure (SOP) dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Salah satu SOP utama adalah melibatkan lembaga pendampingan korban eksternal untuk mempersiapkan korban dalam melakukan pelaporan dan menjaga kerahasiaan identitas korban sehingga kekerasan seksual dapat dikurangi, bahkan sepenuhnya dihapuskan. Sebagai menutup harus dinyatakan kembali, hukum itu lahir sebagai penyembuh sebagaimana sebuah adagium: lex semper dabit remidium, yang bermakna hukum sebagai obat.
JUDEX Herbere debet duos sales, salem sapientiae, ne sit insipidus, et salem conscientiae, ne sit diabolus (seorang hakim harus mempunyai dua hal: suatu kebijakan, kecuali dia adalah orang yang bodoh; dan hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam).Adagium tersebut pada dasarnya ditujukan bagi seorang hakim. Namun dalam perkembangannya postulat tersebut berlaku pula pada setiap penegak hukum dan pengambil kebijakan dalam membentuk sebuah kebijakan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam beberapa hari terakhir publik cukup direpotkan dengan persoalan dugaan perbuatan cabul di lingkungan suatu universitas.Diskusi yang lahir kemudian adalah mengenai proses dalam menangani masalah tersebut. Tindakan represif kemudian menjadi saran utama publik dan publisitas viral terhadap kasus tersebut menjadi tidak terhindarkan. Apakah hasil tersebut menjadi hasil yang produktif bagi penanganan kasus itu?Bagaimana dampaknya terhadap korban, pelaku dan institusi yang terlibat? Tulisan ini bermaksud menjelaskan bagaimana perbuatan cabul dalam hukum pidana dan bagaimana seharusnya menangani masalah tersebut. Tulisan ini juga akan memberikan rekomendasi kepada institusi pendidikan dalam menangani masalah seperti ini.Perbuatan cabul diatur di dalam Bab XIV KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan bersamaan dengan perkosaan dan juga perzinaan. Kejahatan kesusilaan itu memiliki makna yang cukup luas. Bahkan, menurut R Soesilo, pelanggaran terhadap kesusilaan melekat pada etika di suatu masyarakat yang bisa berbeda di antara satu daerah dengan daerah lainnya.Sebagai contoh, di Bali dikenal tindakan lokika sanggraha yang bermakna cukup luas mengenai pelanggaran kesusilaan seperti perzinaan di luar ikatan perkawinan dan tindak asusila lain.Dengan level yang berbeda, di Aceh dikenal tindak pidana khalwat, yakni perbuatan berdua dengan lawan jenis pada suatu ruangan juga dianggap sebagai pelanggaran kesusilaan. Perkembangan di Aceh juga didasarkan pada hukum Islam yang kuat di daerah tersebut. Ini menjadikan batasan kesusilaan menjadi bergantung pada kesusilaan menurut masyarakat setempat.Terlebih, dalam pengaturan tindak pidana kesusilaan sendiri terdapat berbagai jenis di dalamnya, termasuk perbuatan cabul. R Soesilo, di dalam buku KUHP Serta Komentar-komentarnya, menyebut, “Yang dimaksudkan dengan “perbuatan cabul” ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, maraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya."Pada dasarnya definisi “perbuatan cabul” cukup luas dan merupakan konsep perlindungan masyarakat dari kekerasan seksual. Dalam KUHP, perbuatan cabul dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dipidana menggunakan Pasal 289 KUHP, bahkan perbuatan cabul terhadap seseorang yang pingsan atau tidak berdaya juga diancam pidana Pasal 290 ayat (1) KUHP.Namun, pengaturan perbuatan cabul ini masih sangat luas dan sulit dalam penegakannya. Perbuatan cabul dalam RUU KUHP maupun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lebih detail dan spesifik sehingga memudahkan penegakan hukum.Pada dasarnya, pengaturan perbuatan cabul adalah untuk melindungi setiap orang dari segala bentuk kekerasan seksual. Ini berkaitan dengan perkosaan yang berbeda dengan perbuatan cabul di mana perkosaan lebih sempit ke persetubuhan, sedangkan perbuatan cabul lebih luas dan tidak terbatas.Penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan juga menjadi kunci dalam perbuatan cabul. Namun, hal yang menghambat penegakan hukumnya adalah korban kekerasan seksual sering kali terpojok dan mengalami re-victimization oleh penegak hukum itu sendiri.Victim blaming sudah biasa terjadi, di mana pertanyaan-pertanyaan terhadap korban terkesan menyalahkan korban dalam berbagai kasus kekerasan seksual. Karena itu, saat ini sudah dibentuk berbagai lembaga pendampingan terhadap kaum rentan terutama perempuan dan anak yang menjadi korban tindak pidana. Lembaga-lembaga tersebut bertugas memberikan informasi-informasi penting bagi korban dan menyiapkan korban untuk menghadapi proses hukum, tentunya dengan menjaga kerahasiaan identitas korban.Dalam kasus kekerasan seksual, penyelesaian secara kekeluargaan atau menggunakan kebijakan internal suatu lembaga tidaklah cukup. Keterlibatan pihak yang memiliki kompetensi terhadap hal tersebut juga menjadi sangat penting sebagaimana dijelaskan sebelumnya.Namun, harus dipahami publisitas kasus kekerasan seksual harus dikendalikan dan dikurangi. Dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP seluruh persidangan dalam hukum acara pidana harus dibuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan dan anak-anak. Legal spirit dari diaturnya tertutup untuk umum adalah untuk melindungi korban dan mengurangi tekanan terhadap korban. Prinsip ini juga bahkan berlaku sejak penyelidikan sampai seluruh tahapan lainnya. Karena itu, publisitas terhadap kasus kekerasan seksual harus dikontrol dengan lebih baik oleh penegak hukum.Kondisi darurat kekerasan seksual ini seharusnya menjadi momentum disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dalam rancangan tersebut terdapat berbagai ke-khususan yang dibutuhkan dalam penanganan kekerasan seksual, seperti pengaturan khusus mengenai alat bukti yang lebih sederhana dan perlindungan korban yang kuat.Di sana juga korban diperlalukan sebagai subjek dan diberikan hak-hak yang lebih komprehensif. Dengan diperkuatnya sistem hukum kekerasan seksual, maka penurunan angka kekerasan seksual akan meningkat.Dalam data Komnas Perempuan 2017 dinyatakan, pada 2016 setiap harinya 53 perempuan mengalami kekerasan seksual. Angka tersebut menunjukkan bobroknya perlindungan terhadap kekerasan seksual. Dalam hal ini keterlibatan lembaga-lembaga pendidikan diperlukan mengingat kekerasan seksual dapat terjadi pada murid atau mahasiswa yang juga merupakan kaum rentan.Karena itu, setiap lembaga pendidikan harus memiliki standard operating procedure (SOP) dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Salah satu SOP utama adalah melibatkan lembaga pendampingan korban eksternal untuk mempersiapkan korban dalam melakukan pelaporan dan menjaga kerahasiaan identitas korban sehingga kekerasan seksual dapat dikurangi, bahkan sepenuhnya dihapuskan. Sebagai menutup harus dinyatakan kembali, hukum itu lahir sebagai penyembuh sebagaimana sebuah adagium: lex semper dabit remidium, yang bermakna hukum sebagai obat.
(maf)