Narasi Ke(tidak)adilan Gender

Senin, 19 November 2018 - 09:05 WIB
Narasi Ke(tidak)adilan Gender
Narasi Ke(tidak)adilan Gender
A A A
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

“…Ditakdirkan bahwa pria berkuasa, adapun wanita lemah lembut manja, wanita dijajah pria sejak dulu…”

SAYA mengawali ar­ti­kel ini dengan po­tongan lagu yang menggambarkan na­rasi penegakan hukum di Indonesia yang masih bias gender sejak Indonesia mer­de­ka hingga saat ini. Sejak dari za­man kasus yang dikenal dengan kasus Sum Kuning di Yog­ya­karta pada 1970; korban per­ko­sa­an yang justru dijadikan tersangka pemberian keterangan palsu.

Perkembangan terbaru Mah­­kamah Agung (MA) baru saja menjatuhkan hukuman pi­dana penjara dan denda Rp500 juta rupiah kepada seorang gu­ru honorer perempuan di Ma­ta­ram, NTB karena melanggar UU ITE. Ihwal diseretnya guru ho­norer perempuan ini ke meja hijau adalah ketika guru ho­no­rer tersebut merekam pem­bi­ca­raan mesum kepala sekolah se­laku atasannya. Justru ketika gu­ru honorer tersebut ingin membongkar perilaku ata­san­nya tersebut dia diadili di meja hijau.

Bukan kali ini saja peradilan Indonesia meletakkan korban sebagai tersangka, belum lama ini menjadi isu nasional dan menjadi headline di media masa internasional ketika peng­adil­an negeri Muara Bulian menjatuhkan pidana penjara kepada seorang anak perempuan di bawah umur yang melakukan aborsi di awal kehamilannya ka­rena diperkosa kakak kan­dung­nya. Praktik-praktik peradilan bias gender masih sering terjadi, sehingga korban yang se­mes­tinya mendapat perlin­dung­an hukum justru dihukum dengan alasan unsur yang di­dak­wakan jaksa telah terbukti. Ini merupakan contoh posi­ti­visme hukum yang sempit pada praktik peradilan di Indonesia dan pada akhirnya selalu me­nem­patkan perempuan sebagai korban.

Dalam konteks peradilan yang berkeadilan gender, kini peradilan sebagai tempat men­cari keadilan justru menjadi sumber ketidakadilan yang di­se­babkan oleh bias gender. B­e­tapa melukai perasaan keadilan masyarakat ketika kepala se­ko­lah sebagai pimpinan institusi pendidikan yang khawatir per­cakapan mesumnya ter­bong­kar justru diposisikan sebagai kor­ban. Ironisnya lagi anak buah perempuannya yang merekam percakapan tersebut karena tidak nyaman dan merasa ter­le­cehkan dengan sikap kepala se­kolah justru diposisikan sebagai pelaku kejahatan.

Fenomena di atas justru mengukuhkan pentingnya meng­introdusir model pende­kat­an feminisme jurisprudence da­lam praktik peradilan di Indo­n­esia. Sebenarnya MA telah memiliki pedoman me­la­lui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman meng­adili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum.

Perma tersebut lahir sebagai bentuk konkret pelaksanaan Konvensi Penghapusan Dis­kri­minasi terhadap Wanita, na­mun pada faktanya praktik per­adilan di Indonesia di segala level masih belum menun­juk­kan sensitivitas gender dalam mewujudkan keadilan. Dengan melihat pada banyaknya feno­me­na bias gender dalam praktik peradilan maka Komnas Pe­rem­puan perlu mengawal kon­sis­tensi pendekatan feminisme jurisprudence pada praktik pe­negakan hukum di pengadilan.

Legisme Tanpa Makna
Ciri dari sistem peradilan yang dibangun zaman kolonial Belanda adalah menempatkan hakim sebagai corong undang-undang. Sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) yang di­bawa Belanda ke Indonesia dan berlaku hingga saat ini me­ning­gal­kan jejak legisme yang kuat. Meuwissen (1967), menye­but­kan bahwa aliran legisme (po­si­tivis) menganggap semua hu­kum ada dalam undang-undang sehingga tidak ada hukum di luar peraturan perundang-undangan.

Gustaf Radbruch (1981), me­nyebut sebaik-baiknya pera­dilan tidak akan bermakna jika tidak mampu mewujudkan ke­adilan, kepastian dan ke­man­faatan hukum sehingga kepu­tus­an hakim harus berorientasi pada keseimbangan ketiganya, peraturan perundangan hanya berlaku sebagai pedoman saja. Urgensi inisiasi feminisme ju­risprudence dalam praktik pe­ra­dilan di Indonesia adalah untuk mewujudkan keadilan kodrati pada perempuan dalam kon­teks penegakan hukum.

Mengacu pada putusan MA Nomor 1604 K/Pdt/2004, MA merumuskan paradigma femi­nisme jurisprudence sebagai para­digma yang memandang kesetaraan hukum antara laki-laki dan perempuan ber­da­sar­kan sifat kodrati dan hak-hak natural yang timbul olehnya, artinya keadilan kodrati ber­be­da antara laki-laki dan perempu­an berdasarkan sifat na­tu­ral­nya. Timbangan keadilan ko­drati itulah yang dinamakan sen­sitivitas gender.

Sebagai contoh pada kasus-kasus yang terjadi sebagaimana diuraikan pada bagian awal arti­kel ini jika hakim yang memutus perkara ini mengunakan tim­bangan sensitivitas gender maka terdakwa seharusnya diposisikan sebagai korban dalam perspektif keadilan kodrati model feminisme jurisprudence.

Kini setelah banyaknya per­soalan yang menempatkan wa­nita sebagai pelaku mes­ki­pun seharusnya diposisikan sebagai korban, MA seharusnya me­ning­galkan model penegakan hukum legisme buta. Sebagaimana dinyatakan oleh mantan hakim dan guru besar ilmu hu­kum Soedikno Mertokusumo (2000), bahwa pekerjaan hakim adalah menciptakan hukum (judge made law).

Artinya hakim dapat meng­abaikan peraturan perun­dang­an berdasarkan keyakinannya untuk memenuhi rasa keadilan di dalam masyarakat. Maka to­lok ukur dari baik atau bu­ruk­nya putusan pengadilan adalah makna putusan pengadilan itu bagi pencari keadilan. Maka kini pertanyaan reflektifnya ada­lah apa makna dan manfaat pu­tusan pengadilan yang meng­­hukum guru honorer pe­rempuan maupun anak perem­pu­an di bawah umur yang se­ha­rusnya diposisikan sebagai kor­ban.Putusan putusan tersebut justru sulit diterima dalam logika akal sehat dan hati nurani.

Sensitifitas Gender
Penegakan hukum ber­pres­pektif gender adalah dalam meng­adili suatu perkara hakim harus melihat kronologis per­ka­ra secara utuh pada posisi masing-masing sehingga dapat merumuskan putusan yang memenuhi rasa keadilan, ke­man­faatan maupun kepastian hu­kum. Salah konstruksi kor­ban sebagai pelaku dan se­ba­lik­nya pada perkara yang me­li­bat­kan perempuan dan laki-laki merupakan bukti bahwa pera­dilan di Indonesia belum meng­gunakan tolak ukur sensitifitas gender.

MA harus berani melakukan koreksi atas putusan jajarannya demi mewujudkan keadilan dan membersihkan lembaga pe­ra­dilan dari praktek bias gender pada penegakan hu­kum. Model penegakan hukum feminisme jurisprudence ada­lah melepaskan perempuan pa­da posisinya sebagai subor­di­na­si laki-laki. Kini banyak putus­an-putusan lembaga peradilan yang justru melanggengkan status quo subordinasi laki-laki atas perempuan.

Dengan posisi perempuan tidak dibawah subordinasi laki-laki maka hukum akan secara lebih jernih dapat menilai posisi perempuan dan laki-laki, ka­re­na penegakan hukum berbasis sensitifitas gender meletakkan baik laki-laki dan perempuan sebagai subjek hukum sehingga memiliki nilai yang sama untuk dilindungi, dalam kondisi demi­kian akan terwujud equality before the law.

Para penegak hukum dan MA sebagai benteng peradilan dan muara dari segala pene­gakan hukum harus mening­gal­kan paradigma yang mele­tak­kan perempuan sebagai objek. Dalam melakukan penegakan hukumharus ditinggalkan patron patriarki peninggalan za­man kolonial yang me­nem­patkan perempuan sebagai su­bordinasi laki-laki. Pada akhir­nya hukum tanpa logika sama artinya dengan menggunakan kekuasaan secara buta dan menimbulkan kesewenang-wenangan, maka MA harus se­gera mengoreksi putusan-pu­tus­an yang bias gender.

MA dan institusi terkait ha­rus menghindarkan kese­we­nang-wenangan dengan me­nem­patkan pelaku sebagai kor­­ban dan korban sebagai pe­laku. Bangsa Indonesia sudah harus mengakhiri penegakan hukum tanpa logika karena pada akhir­nya sebenarnya se­mangat pene­gakan hukum adalah me­lindungi seluruh tumpah darah Indonesia seba­gaimana men­ja­di cita-cita ke­merdekaan bang­sa Indo­nesia yang tertuang da­lam pem­bu­kaan UUD 1945.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8883 seconds (0.1#10.140)