Tingginya Pengangguran Lulusan SMK
A
A
A
Eko Setiobudi
Dosen STIE Tribuana Bekasi
BADAN Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa angka pegangguran di Indonesia adalah sebesar 7,001 juta orang. Dari jumlah tersebut, pengangguran dari pendidikan SMK sebesar 11,24%, lulusan SMA 7,95%, lulusan diploma I/II/III 6,02%, lulusan universitas 5,89%, lulusan SMP 4,80% dan lulusan SD 2,43%.
Besarnya angka lulusan SMK sebagai penyumbang terbesar pengangguran tentunya menjadi ironi. Pasalnya desain dan model pendidikan SMK adalah pendidikan formal yang diarahkan pada penguatan kompetensi teknis dan skill peserta didik sehingga lulusannya adalah SDM yang siap kerja dan mampu terserap secara langsung oleh pasar tenaga kerja. Hal ini juga sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dalam rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia (SDM) yang dikeluarkan pada 9 September 2016.
Dengan demikian, wajar jika banyak kalangan yang mempertanyakan dan mengkritik pengelolaan SMK-SMK di Indonesia, baik itu SMK negeri maupun swasta. Kritik tersebut, di antaranya adalah meliputi sistem pengajaran, kurikulum dan kompetensi yang diajarkan, pendekatan praktik kerja lapangan termasuk metodologi kerja praktik yang dianggap hanya sebagai seremoni untuk memenuhi persyaratan lulus sekolah semata.
Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK agar berdaya saing dan memiliki kompetensi sebenarnya sudah dilakukan melalui beberapa kebijakan. Di antaranya adalah dengan mengeluarkan (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dalam rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia (SDM). Implementasi kebijakan ini paling tidak sudah dilakukan pemerintah melalui penggabungan SMK-SMK khususnya SMK yang sepi peminat, serta mendorong peningkatan kompetensi dan kualitas pengajar (guru) melalui skema pemberlakukan guru produktif, baik melalui program magang di industri, menyekolahkan guru pada level keahlian berbasis kompetensi teknis dan skill, maupun magang atau supervisi pelaku industri untuk memberikan pengajaran di sekolah.
Sementara Kementerian Perindustrian, juga mengeluarkan regulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No 3/2017 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan Berbasis Kompetensi yang Link and Match dengan Industri.
Melalui kebijakan ini, diharapkan akan tersedia tenaga kerja terampil yang siap pakai oleh industri yang berasal dari lulusan SMK. Permenperin No 3/2017, menyebutkan bahwa peran SMK, antara lain melakukan penyusunan kurikulum yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau standar internasional. Upaya ini akan melibatkan pelaku dan asosiasi industri. Sedangkan, peran industri, antara lain adalah memberikan masukan untuk penyelarasan kurikulum di SMK, memfasilitasi praktik kerja bagi siswa SMK dan magang bagi guru sesuai dengan program keahlian, menyediakan instruktur sebagai pembimbing praktek kerja dan magang, serta mengeluarkan sertifikat bagi siswa SMK dan guru.
Bukan hanya itu, Permenperin No 3/2017 juga menghendaki agar industri-industri memiliki SMK-SMK binaan yang berada di sekitar industri. Sehingga proses penerapan dan implementasi Link and Match, baik kurikulum, pembinaan, supervisi, dan lain sebagainya dapat dilakukan secara efektif. Hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kemenperin dengan menfasilitasi penandatanganan MoU (Kerjasama) antara industri dengan SMK-SMK binaannya di tiap-tiap daerah di seluruh wilayah di Indonesia.
Sementara untuk mendorong Link and Match dari kompetensi, Kemenperin juga memfasilitasi perumusan kurikulum di SMK-SMK dengan mempertemukan secara langsung antara pihak industri dengan SMK untuk bersama-sama merumuskan kurikulum bersama, tentunya dengan tetap mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
Pertanyaannya kemudian, pada saat pemerintah sudah menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut di atas, mengapa SMK tetap memberikan kontribusi angka penganggurann tertinggi? Untuk menjawab hal tersebut di atas, perlu dilihat dalam beberapa faktor yang sekaligus bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah khususnya dalam menjalankan program vokasi pendidikan dengan skema Link and Match antara industri dengan SMK.
Pertama, perubahan kesempatan kerja. Globalisasi industri yang berjalan saat ini sudah memasuki fase post industrialisasi. Di mana industrialisasi bukan semata-mata menuntut tenaga kerja terampil dan kompeten, tetapi menuntut tenaga kerja yang cerdas, kreatif dan inovatif. Dalam konteks yang demikian, standar gaji atau upah bukan lagi dihitung atas Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tetapi produktivitas dan inovasi yang dihasilkan. Sehingga standar upah dihitung dari berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan pekerjaan. Akibatnya banyak industri atau perusahaan yang merekrut tenaga kerja secara part time (paruh waktu). Di Indonesia, hal ini akan mendorong terjadinya ketidakseimbangan pasar tenaga kerja, di mana demand tenaga kerja jauh lebih besar daripada supllay-nya.
Kedua, revolusi industri 4.0 yang sedang digaungkan di Indonesia, akan mendorong digitalisasi dan mekanisasi industri. Salah satu konsekuensinya adalah adanya potensi kesempatan kerja yang hilang akibat digantikan oleh robot. Simak saja pendapat Martin Ford, dalam buku Rise of The Robots, yang menyebutkan bahwa peningkatan teknologi robotik dan kecerdasan buatan bisa menghapus berbagai pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh manusia. Ditambah dengan maraknya implementasi atas konsep internet of things (Iot), maka dipastikan akan mempercepat digitalisasi dan mekanisasi industri, karena akan mendorong semua manusia akan hidup dengan alat serba otomatis dan dinamis.
Ketiga, terkait dengan program vokasi dengan skema Link and Match, memang sudah berjalan dengan supervisi langsung dari Kemenperin. Namun sepertinya kurang berjalan optimal. Pasalnya belum ada sesuatu yang menjadi value edit yang langsung diterima oleh industri sebagai benefit dari implementasi kebijakan vokasi selain dari rekruitment tenaga kerja. Dimana recruitmen dengan pola vokasi ini, bisa saja diabaikan oleh industri, dengan tingkat upah yang sama tenaga kerja berpengalaman (expert) tersedia jauh lebih besar di pasar tenaga kerja. Sebab hal ini menjadi salah satu role efisiensi yang diterapkan dalam dunia industri.
Insentif perpajakan, baik PPH maupun PPN adalah salah satu skema untuk memberikan benefit atau imbal balik yang diberikan pemerintah kepada industri yang sudah menjalankan program vokasi yang difasilitasi oleh Kemenperin. Oleh sebab itu, Kemenperin harus segera mendesak Kemenkeu untuk membangun sinergi kebijakan vokasi melalui skema insentif perpajakan.
Keempat, tidak semua SMK-SMK yang berada disekitar industri memiliki kompetensi yang sama (Link and Match). Misalnya untuk industri elektronik, ternyata SMK-SMK yang berada disekitar industri adalah SMK otomotif. Akibatnya program magang siswa SMK atau yang disebut dengan Praktek Kerja Industri (Prakerin) penempatannya di industri berbeda dengan kompetensi yang diajarkan di sekolah, karena tidak adanya kompetensi yang sama dengan program studi atau jurusan di SMK. Alhasil, program ini berjalan sebatas seremoni untuk memenuhi ketentuan dan amanat peraturan perundangan semata.
Atas dasar keempat hal tersebut di atas, melakukan evaluasi atas implementasi Inpres Nomor 9 Tahun 2016 dan Permenperin No.3/2017, menjadi sangat penting, untuk melakukan mitigasi dan problem solving yang ditemui di lapangan. Selain itu, evaluasi harus bermuara pada perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam bidang tekhnologi, pasar tenaga kerja, sekolah/pendidikan, industri dan lingkungan sosial lainnya. Evaluasi ini juga harus melibatkan semua stakeholder, baik kementerian Pendidikan, Kementerian Perindustrian, Industri, SMK, termasuk Kementerian Keuangan.
Dosen STIE Tribuana Bekasi
BADAN Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa angka pegangguran di Indonesia adalah sebesar 7,001 juta orang. Dari jumlah tersebut, pengangguran dari pendidikan SMK sebesar 11,24%, lulusan SMA 7,95%, lulusan diploma I/II/III 6,02%, lulusan universitas 5,89%, lulusan SMP 4,80% dan lulusan SD 2,43%.
Besarnya angka lulusan SMK sebagai penyumbang terbesar pengangguran tentunya menjadi ironi. Pasalnya desain dan model pendidikan SMK adalah pendidikan formal yang diarahkan pada penguatan kompetensi teknis dan skill peserta didik sehingga lulusannya adalah SDM yang siap kerja dan mampu terserap secara langsung oleh pasar tenaga kerja. Hal ini juga sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dalam rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia (SDM) yang dikeluarkan pada 9 September 2016.
Dengan demikian, wajar jika banyak kalangan yang mempertanyakan dan mengkritik pengelolaan SMK-SMK di Indonesia, baik itu SMK negeri maupun swasta. Kritik tersebut, di antaranya adalah meliputi sistem pengajaran, kurikulum dan kompetensi yang diajarkan, pendekatan praktik kerja lapangan termasuk metodologi kerja praktik yang dianggap hanya sebagai seremoni untuk memenuhi persyaratan lulus sekolah semata.
Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK agar berdaya saing dan memiliki kompetensi sebenarnya sudah dilakukan melalui beberapa kebijakan. Di antaranya adalah dengan mengeluarkan (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dalam rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia (SDM). Implementasi kebijakan ini paling tidak sudah dilakukan pemerintah melalui penggabungan SMK-SMK khususnya SMK yang sepi peminat, serta mendorong peningkatan kompetensi dan kualitas pengajar (guru) melalui skema pemberlakukan guru produktif, baik melalui program magang di industri, menyekolahkan guru pada level keahlian berbasis kompetensi teknis dan skill, maupun magang atau supervisi pelaku industri untuk memberikan pengajaran di sekolah.
Sementara Kementerian Perindustrian, juga mengeluarkan regulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No 3/2017 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan Berbasis Kompetensi yang Link and Match dengan Industri.
Melalui kebijakan ini, diharapkan akan tersedia tenaga kerja terampil yang siap pakai oleh industri yang berasal dari lulusan SMK. Permenperin No 3/2017, menyebutkan bahwa peran SMK, antara lain melakukan penyusunan kurikulum yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau standar internasional. Upaya ini akan melibatkan pelaku dan asosiasi industri. Sedangkan, peran industri, antara lain adalah memberikan masukan untuk penyelarasan kurikulum di SMK, memfasilitasi praktik kerja bagi siswa SMK dan magang bagi guru sesuai dengan program keahlian, menyediakan instruktur sebagai pembimbing praktek kerja dan magang, serta mengeluarkan sertifikat bagi siswa SMK dan guru.
Bukan hanya itu, Permenperin No 3/2017 juga menghendaki agar industri-industri memiliki SMK-SMK binaan yang berada di sekitar industri. Sehingga proses penerapan dan implementasi Link and Match, baik kurikulum, pembinaan, supervisi, dan lain sebagainya dapat dilakukan secara efektif. Hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kemenperin dengan menfasilitasi penandatanganan MoU (Kerjasama) antara industri dengan SMK-SMK binaannya di tiap-tiap daerah di seluruh wilayah di Indonesia.
Sementara untuk mendorong Link and Match dari kompetensi, Kemenperin juga memfasilitasi perumusan kurikulum di SMK-SMK dengan mempertemukan secara langsung antara pihak industri dengan SMK untuk bersama-sama merumuskan kurikulum bersama, tentunya dengan tetap mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
Pertanyaannya kemudian, pada saat pemerintah sudah menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut di atas, mengapa SMK tetap memberikan kontribusi angka penganggurann tertinggi? Untuk menjawab hal tersebut di atas, perlu dilihat dalam beberapa faktor yang sekaligus bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah khususnya dalam menjalankan program vokasi pendidikan dengan skema Link and Match antara industri dengan SMK.
Pertama, perubahan kesempatan kerja. Globalisasi industri yang berjalan saat ini sudah memasuki fase post industrialisasi. Di mana industrialisasi bukan semata-mata menuntut tenaga kerja terampil dan kompeten, tetapi menuntut tenaga kerja yang cerdas, kreatif dan inovatif. Dalam konteks yang demikian, standar gaji atau upah bukan lagi dihitung atas Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tetapi produktivitas dan inovasi yang dihasilkan. Sehingga standar upah dihitung dari berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan pekerjaan. Akibatnya banyak industri atau perusahaan yang merekrut tenaga kerja secara part time (paruh waktu). Di Indonesia, hal ini akan mendorong terjadinya ketidakseimbangan pasar tenaga kerja, di mana demand tenaga kerja jauh lebih besar daripada supllay-nya.
Kedua, revolusi industri 4.0 yang sedang digaungkan di Indonesia, akan mendorong digitalisasi dan mekanisasi industri. Salah satu konsekuensinya adalah adanya potensi kesempatan kerja yang hilang akibat digantikan oleh robot. Simak saja pendapat Martin Ford, dalam buku Rise of The Robots, yang menyebutkan bahwa peningkatan teknologi robotik dan kecerdasan buatan bisa menghapus berbagai pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh manusia. Ditambah dengan maraknya implementasi atas konsep internet of things (Iot), maka dipastikan akan mempercepat digitalisasi dan mekanisasi industri, karena akan mendorong semua manusia akan hidup dengan alat serba otomatis dan dinamis.
Ketiga, terkait dengan program vokasi dengan skema Link and Match, memang sudah berjalan dengan supervisi langsung dari Kemenperin. Namun sepertinya kurang berjalan optimal. Pasalnya belum ada sesuatu yang menjadi value edit yang langsung diterima oleh industri sebagai benefit dari implementasi kebijakan vokasi selain dari rekruitment tenaga kerja. Dimana recruitmen dengan pola vokasi ini, bisa saja diabaikan oleh industri, dengan tingkat upah yang sama tenaga kerja berpengalaman (expert) tersedia jauh lebih besar di pasar tenaga kerja. Sebab hal ini menjadi salah satu role efisiensi yang diterapkan dalam dunia industri.
Insentif perpajakan, baik PPH maupun PPN adalah salah satu skema untuk memberikan benefit atau imbal balik yang diberikan pemerintah kepada industri yang sudah menjalankan program vokasi yang difasilitasi oleh Kemenperin. Oleh sebab itu, Kemenperin harus segera mendesak Kemenkeu untuk membangun sinergi kebijakan vokasi melalui skema insentif perpajakan.
Keempat, tidak semua SMK-SMK yang berada disekitar industri memiliki kompetensi yang sama (Link and Match). Misalnya untuk industri elektronik, ternyata SMK-SMK yang berada disekitar industri adalah SMK otomotif. Akibatnya program magang siswa SMK atau yang disebut dengan Praktek Kerja Industri (Prakerin) penempatannya di industri berbeda dengan kompetensi yang diajarkan di sekolah, karena tidak adanya kompetensi yang sama dengan program studi atau jurusan di SMK. Alhasil, program ini berjalan sebatas seremoni untuk memenuhi ketentuan dan amanat peraturan perundangan semata.
Atas dasar keempat hal tersebut di atas, melakukan evaluasi atas implementasi Inpres Nomor 9 Tahun 2016 dan Permenperin No.3/2017, menjadi sangat penting, untuk melakukan mitigasi dan problem solving yang ditemui di lapangan. Selain itu, evaluasi harus bermuara pada perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam bidang tekhnologi, pasar tenaga kerja, sekolah/pendidikan, industri dan lingkungan sosial lainnya. Evaluasi ini juga harus melibatkan semua stakeholder, baik kementerian Pendidikan, Kementerian Perindustrian, Industri, SMK, termasuk Kementerian Keuangan.
(wib)