Investasi Langsung Asing Meredup, Ada Apa?

Rabu, 14 November 2018 - 09:01 WIB
Investasi Langsung Asing Meredup, Ada Apa?
Investasi Langsung Asing Meredup, Ada Apa?
A A A
Remon Samora
Analis Bank Indonesia Provinsi Papua Barat

KINERJA penanaman modal asing (PMA) patut mendapat perhatian serius. Pasalnya, realisasi PMA kembali menorehkan rapor merah dua triwulan berturut-turut. Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) merilis realisasi PMA triwulan III-2018 mencapai Rp89,1 triliun atau turun -20,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam rentang waktu lima tahun terakhir, inilah kali kedua kinerja PMA meredup secara beruntun.

Dalam keterangan persnya, BKPM menjelaskan penyebab lesunya investasi di antaranya karena tekanan kurs rupiah, defisit neraca perdagangan, dan perang dagang AS-China. Kolaborasi ketiganya menyebabkan investor mengambil posisi wait and see sehingga menunda realisasi investasi yang sudah direncanakan.

Harus diakui faktor ketidakpastian ekonomi global memang berpotensi membawa imbas negatif terhadap investasi dan ekspor. Namun demikian, seyogianya hal tersebut tidak menjadi kambing hitam. Sebut saja perang dagang AS-China sebagai contoh. Alih-alih menjadi alat justifikasi, beberapa negara ASEAN justru sedang menikmati ledakan investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) dari fenomena ini.

Mengutip hasil riset Maybank Kim Eng, arus FDI yang masuk ke sektor manufaktur Vietnam melonjak 18% sepanjang tiga triwulan tahun 2018. Segendang sepenarian FDI Thailand tumbuh 53% pada periode Januari–Juli 2018 yang ditopang oleh sektor manufaktur yang meningkat drastis hampir lima kali lipat. Sementara itu, FDI manufaktur Filipina juga menanjak signifikan sebesar 498% pada periode yang sama.

Maybank menyebut perang dagang AS-China dapat menarik lebih banyak perusahaan melakukan relokasi pabrik ke ASEAN untuk menghindari tarif. Lima sektor yang diminati perusahaan asing ialah barang konsumsi, manufaktur, teknologi dan perangkat keras komunikasi, automotif, dan bahan kimia.

Setali tiga uang hasil riset Maybank seakan mengonfirmasi survei Bloomberg. Sekitar sepertiga dari 430 perusahaan AS di China telah atau sedang mempertimbangkan untuk memindahkan lokasi produksinya ke luar Negeri Tirai Bambu. Menariknya, Asia Tenggara terpilih sebagai tujuan utamanya.

Sejumlah alasan yang menjadi keunggulan negara-negara ASEAN di antaranya biaya produksi yang rendah, kinerja manufaktur yang baik, pertumbuhan ekonomi yang solid dengan lima negara terbesarnya memiliki pertumbuhan ekonomi sekitar 5,3% dan memiliki perbaikan peringkat EODB.

Berbekal dua argumen tersebut, seharusnya Indonesia punya peluang besar untuk turut meraup keuntungan seperti halnya Vietnam, Thailand, dan Filipina. Namun pertanyaan besarnya, ada apa dengan iklim investasi Indonesia?

Kemudahan Berusaha

Dari perselektif lebih luas, penyebab kinerja PMA yang belum bertaji dapat dijelaskan dari pencapaian peringkat kemudahan dalam berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) Indonesia. Dalam laporan Bank Dunia berjudul “Doing Business 2019: Training for Reform”, peringkat EODB Indonesia turun satu level ke posisi 73 dari 190 negara. Negara tetangga menduduki peringkat lebih baik, misal Vietnam (69), Thailand (27), dan Malaysia (15).

Sepanjang Juni 2017 hingga Mei 2018, Bank Dunia mencatat Indonesia telah merealisasikan tiga agenda reformasi kemudahan usaha. Ketiganya ialah kemudahan memulai usaha, pendaftaran properti, dan akses kredit. Jumlah tersebut masih lebih rendah dibandingkan China (7 agenda), Malaysia (6 agenda), dan Thailand (4 agenda).

Mencermati periode waktu penilaian, praktis dapat dipahami mengapa peringkat Indonesia anjlok. Salah satu program unggulan yang digadang-gadangi dapat mendongkrak masuknya investasi, yakni layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau Online Single Submission (OSS) baru diluncurkan pada Juli 2018.

Sebelum adanya OSS, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengklaim rata-rata investor asing yang batal menanamkan modalnya ke Indonesia mencapai 68%, sementara investor domestik sebanyak 71%. Proses perizinan yang rumit diduga sebagai penyebab utamanya. Karena itu, kehadiran OSS diharapkan mampu memperbaiki iklim investasi Indonesia.

Selain OSS, jurus andalan lain pemerintah ialah pemberian stimulus kepada investor berupa pengurangan pajak atau tax holiday. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2018 yang terbit April 2018, pemerintah menetapkan 17 sektor yang bisa memperoleh fasilitas tax holiday hingga 100%. Di samping itu, pemerintah saat ini sedang menggodok pemberian tax holiday bagi investasi dengan nilai di bawah Rp500 miliar atau mini tax holiday.

Berkaca pada kedua kebijakan tersebut, boleh dibilang upaya pemerintah untuk menarik masuk investasi asing sebenarnya masih on the track. Namun, hal penting yang perlu disadari ialah buah kebijakan ini tidak dapat dipetik dalam jangka pendek. Hasilnya, kemungkinan besar baru terlihat tahun depan.

Isu Ketenagakerjaan

Selain kemudahan berusaha, poin krusial lain yang tidak boleh dilupakan ialah isu ketenagakerjaan. Dalam kondisi ceteris paribus, investor pasti akan lebih memilih negara dengan biaya upah buruh paling murah sebagai tujuan investasinya. Berdasarkan data International Labor Organization, upah rata-rata buruh Indonesia sebesar USD174 per bulan.

Nilai ini lebih rendah ketimbang Vietnam (USD181), Filipina (USD256), dan Thailand (USD357). Di atas kertas, Indonesia seharusnya bisa menjadi primadona dibandingkan negara lain apabila hanya menggunakan ukuran biaya upah. Sayangnya, Indonesia masih belum dapat memaksimalkan keunggulan komparatif ini karena masih kalah bersaing dari sisi produktivitas dan daya saing.

Dalam laporan bertajuk “APO Productivity Databook 2018”, Asian Productivity Organization (APO) mencatat produktivitas pekerja Indonesia pada 2016 mencapai USD24.900. Sementara negara pesaing terdekat, misal Thailand, memiliki produktivitas pekerja sebesar USD28.300 dan Malaysia USD56.400.

Terkait aspek daya saing tenaga kerja, Indonesia menempati posisi ke-77 dalam The Global Talent Competitiveness Index 2018. Di sisi lain, Filipina dan Thailand berada pada peringkat ke-54 dan ke-70. Beberapa variabel yang menjadi kelemahan Indonesia ialah jumlah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tinggi, pengeluaran riset dan pengembangan, pelatihan oleh perusahaan, serta publikasi jurnal ilmiah.

Mencermati konfigurasi problematika di bidang penanaman modal, setidaknya terdapat tiga usulan program quick wins yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah ke depan. Pertama, memetakan industri yang akan melakukan relokasi pabrik dari China dan Amerika. Tidak menutup kemungkinan fenomena perang dagang AS-China bakal berlangsung hingga 2024. Artinya, rantai pasokan global akan mengalami perubahan dalam jangka menengah panjang. Pemerintah wajib menyiapkan amunisi insentif fiskal untuk menangkap peluang ini.



Kedua, mengidentifikasi sektor industri yang memungkinkan untuk dilakukan penghapusan batas kepemilikan saham asing, termasuk revisi Daftar Negatif Investasi. Menurut kalkulasi Bank Dunia, Indonesia setidaknya bisa meraup tambahan investasi asing dan domestik sebesar USD 6 miliar apabila batas kepemilikan asing dihilangkan.



Ketiga, menstimulasi swasta untuk mendirikan lembaga-lembaga pelatihan formal sebagai jembatan penghubung kebutuhan kompetensi industri. Lembaga tersebut bisa dibentuk secara khusus oleh korporasi untuk melatih SDM internal, maupun lembaga pelatihan murni yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Di sinilah peran perguruan tinggi sangat dibutuhkan sebagai inisiator awal dan role model bagi korporasi.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5541 seconds (0.1#10.140)