Data yang Sepotong
A
A
A
CUKUP mengagetkan jika melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) menyumbang angka paling banyak untuk pengangguran terbuka. BPS menyebut pada Agustus 2018 tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebanyak 7 juta orang atau 5,34% dari total 131,01 juta orang angkatan kerja.Dari 7 juta orang tersebut, 11,24% di antaranya merupakan lulusan SMK. Padahal, selama ini di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), SMK menjadi fokus pengembangan sumber daya manusia. Banyaknya SMK yang dibuka dan jenis jurusan yang beragam diharapkan bisa memenuhi kebutuhan industri. Tujuan akhirnya adalah ketika pengangguran turun maka tingkat ekonomi masyarakat meningkat.Namun jika melihat data di atas, memang cukup mengagetkan atau bahkan beberapa pihak mungkin berpendapat miring. Lulusan SMK yang selama ini digemborkan pemerintah justru menyumbang angka pengangguran terbuka terbanyak. Hanya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memandang data BPS dengan cara lain.Kasubdit Penyelarasan Kejuruan dan Kerja Sama Industri Direktorat Jenderal (Dirjen) Pembinaan SMK Kemendikbud Saryadi tidak menampik angka 11,24% pada Agustus 2018 tersebut. Namun di balik angka 11,24% yang disajikan BPS, sebenarnya angka partisipasi kerja lulusan SMK justru naik sejak 2015 hingga 2018. Dia menyebut lulusan SMK yang bekerja pada 2015 mencapai 10,8 juta, sementara 2018 sebanyak 13,7 juta.Saryadi juga memberikan data bahwa jika melihat TPT SMK tahun lalu pada bulan yang sama sebesar 11,41%, sementara tahun ini 11,24%. Artinya ada penurunan sehingga Kemendikbud menganggap trennya mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Nah, inilah pentingnya melihat data lebih komprehensif. Jika hanya melihat angka Agustus 2018 maka dibandingkan dengan lulusan lainnya (SMA ataupun perguruan tinggi), jumlahnya memang lebih besar. Cara memandang yang parsial seperti itu tentu kurang tepat. Begitu juga jika hanya membandingkan dari bulan yang sama dari tahun ke tahun.Dari tahun ke tahun juga perlu dilihat perbandingan dengan lulusan dari jenis pendidikan yang lain. Jangan-jangan penurunan di tingkat SMA dan perguruan tinggi jauh lebih tajam. Intinya jangan sekadar melihat data dari satu sisi. Perlu ada pembanding untuk mengatakan lebih tinggi atau rendah, lebih baik atau buruk, dan sebagainya.Hasil analisis dari cara membaca data yang tidak komprehensif pun akan memunculkan analisis atau kesimpulan yang tidak benar. Ketika analisis dan kesimpulan tidak benar, cara mengatasi persoalan jadi tidak benar.Cara memandang data yang lebih komprehensif ini tentu harus terus dibudayakan bangsa ini. Mengapa ini menjadi penting? Ketika banjir informasi di era saat ini, karena kemajuan pesat teknologi informasi, maka masyarakat atau semua pihak akan mudah mendapatkan informasi.Karena informasi saat ini mempunyai sifat terbuka dan cepat, cenderung informasi yang diberikan hanya sepotong-sepotong. Ini adalah cara instan dan tidak komprehensif. Dengan cara ini, yang justru muncul adalah gosip, fitnah, hoax atau fake news yang bisa menjadi hantu bagi pihak-pihak yang ada dalam informasi ini.Kecepatan dan keterbukaan informasi yang saat ini terjadi semestinya menjadikan kita semakin hati-hati dalam menerima, mencerna, atau bahkan menyimpulkan. Perlu ada tambahan-tambahan pendapat atau data yang lain agar informasi yang didapat mendekati objektif.Parahnya lagi, perkembangan pesat tentang teknologi informasi saat ini justru digunakan pihak-pihak tertentu untuk hal-hal yang tidak positif. Bahkan, ini dipertontonkan oleh para tokoh kita yang sering tampil di media ke masyarakat. Karena ada kepentingan-kepentingan lain maka banyak pihak yang hanya menggunakan sepotong data untuk menganalisis, berargumen, lalu menyimpulkan, atau bahkan membenarkan dan menyalahkan.Cara-cara seperti ini tentu bukan cara mendidik masyarakat yang tepat di tengah gencarnya arus informasi saat ini. Tentu kita semua yang merasa melek dengan teknologi informasi, tentu harus mulai mengampanyekan cara pandang dan berpikir komprehensif dalam melihat informasi baik data maupun pendapat. Cara ini akan membuat masyarakat Indonesia akan semakin bijaksana dan cerdas dalam mengonsumsi data dan pendapat.
Nah, inilah pentingnya melihat data lebih komprehensif. Jika hanya melihat angka Agustus 2018 maka dibandingkan dengan lulusan lainnya (SMA ataupun perguruan tinggi), jumlahnya memang lebih besar. Cara memandang yang parsial seperti itu tentu kurang tepat. Begitu juga jika hanya membandingkan dari bulan yang sama dari tahun ke tahun.Dari tahun ke tahun juga perlu dilihat perbandingan dengan lulusan dari jenis pendidikan yang lain. Jangan-jangan penurunan di tingkat SMA dan perguruan tinggi jauh lebih tajam. Intinya jangan sekadar melihat data dari satu sisi. Perlu ada pembanding untuk mengatakan lebih tinggi atau rendah, lebih baik atau buruk, dan sebagainya.Hasil analisis dari cara membaca data yang tidak komprehensif pun akan memunculkan analisis atau kesimpulan yang tidak benar. Ketika analisis dan kesimpulan tidak benar, cara mengatasi persoalan jadi tidak benar.Cara memandang data yang lebih komprehensif ini tentu harus terus dibudayakan bangsa ini. Mengapa ini menjadi penting? Ketika banjir informasi di era saat ini, karena kemajuan pesat teknologi informasi, maka masyarakat atau semua pihak akan mudah mendapatkan informasi.Karena informasi saat ini mempunyai sifat terbuka dan cepat, cenderung informasi yang diberikan hanya sepotong-sepotong. Ini adalah cara instan dan tidak komprehensif. Dengan cara ini, yang justru muncul adalah gosip, fitnah, hoax atau fake news yang bisa menjadi hantu bagi pihak-pihak yang ada dalam informasi ini.Kecepatan dan keterbukaan informasi yang saat ini terjadi semestinya menjadikan kita semakin hati-hati dalam menerima, mencerna, atau bahkan menyimpulkan. Perlu ada tambahan-tambahan pendapat atau data yang lain agar informasi yang didapat mendekati objektif.Parahnya lagi, perkembangan pesat tentang teknologi informasi saat ini justru digunakan pihak-pihak tertentu untuk hal-hal yang tidak positif. Bahkan, ini dipertontonkan oleh para tokoh kita yang sering tampil di media ke masyarakat. Karena ada kepentingan-kepentingan lain maka banyak pihak yang hanya menggunakan sepotong data untuk menganalisis, berargumen, lalu menyimpulkan, atau bahkan membenarkan dan menyalahkan.Cara-cara seperti ini tentu bukan cara mendidik masyarakat yang tepat di tengah gencarnya arus informasi saat ini. Tentu kita semua yang merasa melek dengan teknologi informasi, tentu harus mulai mengampanyekan cara pandang dan berpikir komprehensif dalam melihat informasi baik data maupun pendapat. Cara ini akan membuat masyarakat Indonesia akan semakin bijaksana dan cerdas dalam mengonsumsi data dan pendapat.
(maf)