Edukasi dan Blusukan Pajak
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
TAMPAKNYA satu per satu kebijakan mulai dirilis untuk mengejar tercapainya target APBN 2019. Kali ini gagasan yang mulai dipublikasi pemerintah adalah mengenai agenda perpajakan.
Mengingat pentingnya perpajakan dalam struktur pendapatan negara serta target pertumbuhan penerimaan yang cukup menantang pada 2019, tak ada pilihan lain di luar perlunya melakukan kreasi agar intensifikasi dan ekstensifikasi bisa berjalan optimal.
Tahun depan pemerintah mematok pertumbuhan penerimaan pajak hingga 15,36% dari outlook APBN 2018. Target tersebut bisa dianggap cukup berani karena selama 2015–2017 kemarin angka realisasi pertumbuhannya rata-rata hanya 5,43% per tahun.
Sementara tahun ini angka realisasi hingga akhir Oktober kemarin baru mencapai Rp1.015,66 triliun (71,32%) dari target penerimaan pajak sebesar Rp1.424 triliun (di luar bea cukai). Jumlah tersebut naik sebesar 17,41% jika dibandingkan dengan periode yang sama 2017 yang hanya mencapai Rp865,08 triliun. Apabila tidak memperhitungkan penerimaan dari uang tebusan tax amnesty pada Januari–Maret 2017, pertumbuhan sementara pada tahun ini meningkat menjadi 19,07%.
Selain target pertumbuhan penerimaan pajak, angka tax ratio tahun depan juga diharapkan bisa naik signifikan hingga nantinya menjadi 12,2%. Posisi tax ratio akhir tahun 2017 yang lalu baru mencapai 10,7% dan menjadi yang terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memperkirakan hingga awal Oktober kemarin tax ratio kita mencapai 11,6%, persis dengan target dari pemerintah hingga akhir tahun nanti yang juga sebesar 11,6%. Nah, dengan posisi realisasi penerimaan pajak yang masih di kisaran 71,32% dan apabila nantinya akan gagal memenuhi ekspektasi yang diharapkan, konsekuensinya akan berlanjut pada peningkatan utang (obligasi) yang baru.
Jurus baru dikeluarkan Menteri Keuangan dengan memasukkan pengetahuan dan kesadaran pajak dalam kurikulum pendidikan tingkat dasar, menengah, dan tinggi. Penulis amat mendukung dengan gagasan ini karena kita perlu sama-sama mafhum dengan posisi pajak dalam kemampuan pembangunan di Indonesia.
Pendapat senada didukung hasil survei OECD pada 2015 yang menyatakan bahwa edukasi pajak merupakan mekanisme yang cukup efektif untuk membangun kepercayaan masyarakat pada otoritas pajak dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pajak.
Jadi ada feedback dan interaksi yang positif dari masyarakat ketika mereka dilibatkan dalam mekanisme pengelolaan perpajakan, termasuk mengeliminasi hambatan-hambatan struktural dalam proses pengenaan dan pemungutan pajak.
Beberapa pengamat perpajakan juga mengusulkan agar kita bisa mengadopsi langkah-langkah yang pernah diterapkan negara-negara lain dalam hal edukasi perpajakan. Bangladesh, Rwanda, dan Guatemala pernah melakukan proses edukasi dengan menerapkan hari pajak nasional dan festival pajak.
Malaysia juga melakukan edukasi dengan membangun aplikasi games pajak yang didesain secara interaktif. Nigeria menayangkan sinetron pajak di televisi. El Salvador, Cile, dan Uruguay berkampanye di media massa dengan topik yang sama.
Adapun Kostarika, Brasil, Maroko, dan Meksiko mengambil jalan yang sedang kita gagas dengan memasukkan kurikulum pajak sejak SD hingga perguruan tinggi. Saat ini Brasil sukses menjadi negara dengan tax ratio tertinggi sebesar 34% berdasarkan data World Bank, jauh di atas Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Filipina, dan tentunya Indonesia.
Merujuk pada hal yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani pekan lalu, dari 10 orang yang bekerja di Indonesia, baru 1 yang terdaftar sebagai wajib pajak. Dari 10 wajib pajak, yang betul-betul bayar pajak hanya 1 orang. Adapun wajib pajak yang betul-betul menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) pajak hanya 5 orang.
Data Ditjen Pajak (DJP) tahun ini, jumlah wajib pajak yang terdaftar adalah 38,7 juta dengan 17,7 juta di antaranya wajib menyampaikan SPT. Dari jumlah tersebut, wajib pajak yang telah menyampaikan SPT-nya hingga akhir September 2018 adalah 12,15 juta (69,03%), meningkat tipis bila dibandingkan dengan periode yang sama 2017 yang sebanyak 12,05 juta.
Kendati terdapat kenaikan tipis, dengan angka kepatuhan yang masih terpaku pada tradisi beberapa tahun terakhir yang sulit mencapai rasio 70–80%, kita tentu berharap masih ada semangat untuk mengejar realisasi yang lebih besar. Potensi untuk melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi juga masih begitu luas dengan mengacu pada jumlah angkatan kerja Indonesia per Agustus 2018 yang sebanyak 131,01 juta orang.
Di antara angka tersebut, total penduduk yang bekerja mencapai 124,01 juta orang. Maka seharusnya jumlah wajib pajak atau pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP) minimal linier dengan jumlah penduduk yang bekerja.
Gagasan Menteri Keuangan yang disambut baik Menristek Dikti yang akan menerapkan kewajiban bagi mahasiswa untuk memiliki NPWP pada saat wisuda sudah sangat baik. Karena perkiraan Kemenristek Dikti setiap tahunnya ada sekitar 1,8 juta mahasiswa yang melaksanakan wisuda. Mereka ini yang normalnya segera menjadi fresh graduate di dunia kerja.
Agar Setimpal
Meskipun dapat dikatakan sebagai ide yang baik, masih ada beberapa catatan yang bisa membuat konsep ini sebatas gagasan normatif. Apalagi utak-atik kebijakan di sektor perpajakan sering kali hanya meninggalkan paradoks.
Kita perlu memahami bahwa pajak salah satunya adalah sebuah muara dari rentetan proses ekonomi. Pada intinya hasil penerimaan akan dapat meningkat ketika ada penghasilan yang diterima secara layak dan progresif serta didukung kesadaran dan kepatuhan masyarakat.
Nah, selama ini penulis menduga bahwa tingkat kepatuhan yang rendah adalah akibat dari adanya “miskomunikasi” yang menyebabkan pajak selalu dimaknai sebatas sebagai beban yang harus ditanggung masyarakat, belum pada tahap kesadaran sebagai kewajiban warga negara terhadap negaranya.
Angka-angka penghindaran dan kejujuran kewajiban pajak, baik di tingkat pusat maupun daerah, sangatlah besar. Pada titik ini, penulis sangat bersepakat bahwa edukasi dan blusukan mengenai kesadaran perpajakan sudah sangat tepat.
Akan tetapi proses tersebut tidak bisa berhenti pada upaya-upaya persuasif yang sifatnya sekadar gagasan normatif. Masyarakat perlu diberi bukti bahwa pajak tidak hanya menjadi beban, tetapi menjadi modal yang turut mereka nikmati hasilnya.
Meningkatnya angka target pajak dan tekad untuk memperluas tingkat kepatuhan pajak tentu membutuhkan usaha (tax efforts) yang juga berlipat-lipat. Oleh karena itu perlu ada upaya yang dibangun secara sistematis agar impian-impian tersebut dapat dilakukan secara optimal.
Pertama, pola-pola edukasi yang pernah dilakukan beberapa negara yang disebutkan sebelumnya sepertinya cukup menarik untuk diadopsi. Kita perlu memanfaatkan era kemajuan teknologi sebagai media-media kampanye yang efektif. Misalnya membuat film dan games tentang perpajakan yang kontennya menjurus pada kampanye peran dan fungsi pajak dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Minimal kita dapat memutus mata rantai tax avoidance pada generasi muda yang sangat responsif dengan kampanye melalui dunia digital. Edukasi ini juga perlu untuk meluruskan informasi misalnya kepada para mahasiswa bahwa upaya pemerintah yang saat ini dibahas bukanlah semata-mata karena pemerintah tengah “kalap” karena modal yang kian terbatas.
Lebih dari itu, kenaikan pajak yang diperoleh berkat proses intensifikasi dan ekstensifikasi perlu diluruskan sebagai niat untuk meningkatkan manfaat kepada masyarakat. Dengan demikian pajak menjadi instrumen gotong-royong dan keadilan yang riil dalam proses pembangunan negara. Selain itu pajak yang optimal juga dapat menghindarkan kita dari jeratan utang.
Kedua, meningkatnya kepatuhan yang terjadi pada tahun ini salah satunya juga didukung adanya inovasi dalam sistem administrasi perpajakan. Minat masyarakat semakin tinggi untuk menggunakan SPT elektronik dan pada saat yang sama penyampaian SPT manual mengalami penurunan.
Oleh karena itu pelayanan administrasi berbasis teknologi informasi sudah menjadi metode yang tepat dan mungkin masih membutuhkan peningkatan di beberapa sisi. Di luar itu, sistem administrasi juga perlu dibangun agar lebih aman sebagai konsekuensi diterapkannya automatic exchange of information (AEoI). Basis data juga perlu di-update untuk mengurangi potensi lost pajak.
Ketiga, peningkatan penerimaan pajak akan sulit direalisasi jika makroekonomi kita sedang lesu. Oleh karena itu pemerintah juga perlu berupaya agar gagasan ini bisa sinkron dengan capaian pada indikator makroekonomi, khususnya pada aspek pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan pekerjaan.
Selain berkutat pada efektivitas pengelolaan dan ketepatan sasaran penggunaan pajak sebagai instrumen pembiayaan, upaya preventif berupa penghindaran dari praktik korupsi juga perlu semakin diperketat.
Karena berbagai bentuk penyelewengan akan semakin memperluas gap modal sosial antara negara dan masyarakat yang sering kali juga berimbas pada tingkat kepatuhan pajak. Jadi garis besarnya, upaya peningkatan tax compliance yang paling efektif adalah dengan menyeimbangkan tarif beban pajak dengan kualitas layanan yang diberikan sehingga bermuara pada pembangunan trust antara masyarakat dan pemerintah.
Dan keempat, pemerintah juga perlu berupaya melegalkan lebih banyak aktivitas ekonomi dengan mengurangi aktivitas ekonomi informal agar lebih yang terjaring pajak. Saat ini struktur utama perekonomian kita masih didominasi usaha berskala mikro dan kecil (UMK) yang mayoritas di dalamnya terdaftar sebagai sektor informal.
Pada umumnya penyebab mengapa mereka masih terdaftar sebagai sektor informal adalah karena model pengelolaan yang masih bersifat tradisional. Makna tradisional mengacu pada bentuk pengelolaan usaha yang masih one man show (pemilik usaha adalah leader di segala bidang), tenaga kerja yang kurang terstandar, dan manajemen bisnis yang kurang memadai (dari sisi perencanaan keuangan dan lini bisnis).
Selain itu UMK juga mudah masuk (memulai usaha) dan mudah keluar (tersingkir) karena modal persaingan yang terbatas. Nah, proses untuk memformalkan mereka dapat dilakukan dengan proses pembinaan dan keberpihakan pemerintah.Misalnya ada bantuan akses permodalan, perihal teknis produksi, dan promosi pemasaran bagi usaha yang mau mengurus legalitas usaha. Selain itu tenaga-tenaga terampil yang dipersiapkan melalui pendidikan-pendidikan formal juga perlu didistribusikan kepada UMK agar proses produksi dan manajerialnya dapat dieskalasi.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
TAMPAKNYA satu per satu kebijakan mulai dirilis untuk mengejar tercapainya target APBN 2019. Kali ini gagasan yang mulai dipublikasi pemerintah adalah mengenai agenda perpajakan.
Mengingat pentingnya perpajakan dalam struktur pendapatan negara serta target pertumbuhan penerimaan yang cukup menantang pada 2019, tak ada pilihan lain di luar perlunya melakukan kreasi agar intensifikasi dan ekstensifikasi bisa berjalan optimal.
Tahun depan pemerintah mematok pertumbuhan penerimaan pajak hingga 15,36% dari outlook APBN 2018. Target tersebut bisa dianggap cukup berani karena selama 2015–2017 kemarin angka realisasi pertumbuhannya rata-rata hanya 5,43% per tahun.
Sementara tahun ini angka realisasi hingga akhir Oktober kemarin baru mencapai Rp1.015,66 triliun (71,32%) dari target penerimaan pajak sebesar Rp1.424 triliun (di luar bea cukai). Jumlah tersebut naik sebesar 17,41% jika dibandingkan dengan periode yang sama 2017 yang hanya mencapai Rp865,08 triliun. Apabila tidak memperhitungkan penerimaan dari uang tebusan tax amnesty pada Januari–Maret 2017, pertumbuhan sementara pada tahun ini meningkat menjadi 19,07%.
Selain target pertumbuhan penerimaan pajak, angka tax ratio tahun depan juga diharapkan bisa naik signifikan hingga nantinya menjadi 12,2%. Posisi tax ratio akhir tahun 2017 yang lalu baru mencapai 10,7% dan menjadi yang terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memperkirakan hingga awal Oktober kemarin tax ratio kita mencapai 11,6%, persis dengan target dari pemerintah hingga akhir tahun nanti yang juga sebesar 11,6%. Nah, dengan posisi realisasi penerimaan pajak yang masih di kisaran 71,32% dan apabila nantinya akan gagal memenuhi ekspektasi yang diharapkan, konsekuensinya akan berlanjut pada peningkatan utang (obligasi) yang baru.
Jurus baru dikeluarkan Menteri Keuangan dengan memasukkan pengetahuan dan kesadaran pajak dalam kurikulum pendidikan tingkat dasar, menengah, dan tinggi. Penulis amat mendukung dengan gagasan ini karena kita perlu sama-sama mafhum dengan posisi pajak dalam kemampuan pembangunan di Indonesia.
Pendapat senada didukung hasil survei OECD pada 2015 yang menyatakan bahwa edukasi pajak merupakan mekanisme yang cukup efektif untuk membangun kepercayaan masyarakat pada otoritas pajak dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pajak.
Jadi ada feedback dan interaksi yang positif dari masyarakat ketika mereka dilibatkan dalam mekanisme pengelolaan perpajakan, termasuk mengeliminasi hambatan-hambatan struktural dalam proses pengenaan dan pemungutan pajak.
Beberapa pengamat perpajakan juga mengusulkan agar kita bisa mengadopsi langkah-langkah yang pernah diterapkan negara-negara lain dalam hal edukasi perpajakan. Bangladesh, Rwanda, dan Guatemala pernah melakukan proses edukasi dengan menerapkan hari pajak nasional dan festival pajak.
Malaysia juga melakukan edukasi dengan membangun aplikasi games pajak yang didesain secara interaktif. Nigeria menayangkan sinetron pajak di televisi. El Salvador, Cile, dan Uruguay berkampanye di media massa dengan topik yang sama.
Adapun Kostarika, Brasil, Maroko, dan Meksiko mengambil jalan yang sedang kita gagas dengan memasukkan kurikulum pajak sejak SD hingga perguruan tinggi. Saat ini Brasil sukses menjadi negara dengan tax ratio tertinggi sebesar 34% berdasarkan data World Bank, jauh di atas Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Filipina, dan tentunya Indonesia.
Merujuk pada hal yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani pekan lalu, dari 10 orang yang bekerja di Indonesia, baru 1 yang terdaftar sebagai wajib pajak. Dari 10 wajib pajak, yang betul-betul bayar pajak hanya 1 orang. Adapun wajib pajak yang betul-betul menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) pajak hanya 5 orang.
Data Ditjen Pajak (DJP) tahun ini, jumlah wajib pajak yang terdaftar adalah 38,7 juta dengan 17,7 juta di antaranya wajib menyampaikan SPT. Dari jumlah tersebut, wajib pajak yang telah menyampaikan SPT-nya hingga akhir September 2018 adalah 12,15 juta (69,03%), meningkat tipis bila dibandingkan dengan periode yang sama 2017 yang sebanyak 12,05 juta.
Kendati terdapat kenaikan tipis, dengan angka kepatuhan yang masih terpaku pada tradisi beberapa tahun terakhir yang sulit mencapai rasio 70–80%, kita tentu berharap masih ada semangat untuk mengejar realisasi yang lebih besar. Potensi untuk melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi juga masih begitu luas dengan mengacu pada jumlah angkatan kerja Indonesia per Agustus 2018 yang sebanyak 131,01 juta orang.
Di antara angka tersebut, total penduduk yang bekerja mencapai 124,01 juta orang. Maka seharusnya jumlah wajib pajak atau pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP) minimal linier dengan jumlah penduduk yang bekerja.
Gagasan Menteri Keuangan yang disambut baik Menristek Dikti yang akan menerapkan kewajiban bagi mahasiswa untuk memiliki NPWP pada saat wisuda sudah sangat baik. Karena perkiraan Kemenristek Dikti setiap tahunnya ada sekitar 1,8 juta mahasiswa yang melaksanakan wisuda. Mereka ini yang normalnya segera menjadi fresh graduate di dunia kerja.
Agar Setimpal
Meskipun dapat dikatakan sebagai ide yang baik, masih ada beberapa catatan yang bisa membuat konsep ini sebatas gagasan normatif. Apalagi utak-atik kebijakan di sektor perpajakan sering kali hanya meninggalkan paradoks.
Kita perlu memahami bahwa pajak salah satunya adalah sebuah muara dari rentetan proses ekonomi. Pada intinya hasil penerimaan akan dapat meningkat ketika ada penghasilan yang diterima secara layak dan progresif serta didukung kesadaran dan kepatuhan masyarakat.
Nah, selama ini penulis menduga bahwa tingkat kepatuhan yang rendah adalah akibat dari adanya “miskomunikasi” yang menyebabkan pajak selalu dimaknai sebatas sebagai beban yang harus ditanggung masyarakat, belum pada tahap kesadaran sebagai kewajiban warga negara terhadap negaranya.
Angka-angka penghindaran dan kejujuran kewajiban pajak, baik di tingkat pusat maupun daerah, sangatlah besar. Pada titik ini, penulis sangat bersepakat bahwa edukasi dan blusukan mengenai kesadaran perpajakan sudah sangat tepat.
Akan tetapi proses tersebut tidak bisa berhenti pada upaya-upaya persuasif yang sifatnya sekadar gagasan normatif. Masyarakat perlu diberi bukti bahwa pajak tidak hanya menjadi beban, tetapi menjadi modal yang turut mereka nikmati hasilnya.
Meningkatnya angka target pajak dan tekad untuk memperluas tingkat kepatuhan pajak tentu membutuhkan usaha (tax efforts) yang juga berlipat-lipat. Oleh karena itu perlu ada upaya yang dibangun secara sistematis agar impian-impian tersebut dapat dilakukan secara optimal.
Pertama, pola-pola edukasi yang pernah dilakukan beberapa negara yang disebutkan sebelumnya sepertinya cukup menarik untuk diadopsi. Kita perlu memanfaatkan era kemajuan teknologi sebagai media-media kampanye yang efektif. Misalnya membuat film dan games tentang perpajakan yang kontennya menjurus pada kampanye peran dan fungsi pajak dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Minimal kita dapat memutus mata rantai tax avoidance pada generasi muda yang sangat responsif dengan kampanye melalui dunia digital. Edukasi ini juga perlu untuk meluruskan informasi misalnya kepada para mahasiswa bahwa upaya pemerintah yang saat ini dibahas bukanlah semata-mata karena pemerintah tengah “kalap” karena modal yang kian terbatas.
Lebih dari itu, kenaikan pajak yang diperoleh berkat proses intensifikasi dan ekstensifikasi perlu diluruskan sebagai niat untuk meningkatkan manfaat kepada masyarakat. Dengan demikian pajak menjadi instrumen gotong-royong dan keadilan yang riil dalam proses pembangunan negara. Selain itu pajak yang optimal juga dapat menghindarkan kita dari jeratan utang.
Kedua, meningkatnya kepatuhan yang terjadi pada tahun ini salah satunya juga didukung adanya inovasi dalam sistem administrasi perpajakan. Minat masyarakat semakin tinggi untuk menggunakan SPT elektronik dan pada saat yang sama penyampaian SPT manual mengalami penurunan.
Oleh karena itu pelayanan administrasi berbasis teknologi informasi sudah menjadi metode yang tepat dan mungkin masih membutuhkan peningkatan di beberapa sisi. Di luar itu, sistem administrasi juga perlu dibangun agar lebih aman sebagai konsekuensi diterapkannya automatic exchange of information (AEoI). Basis data juga perlu di-update untuk mengurangi potensi lost pajak.
Ketiga, peningkatan penerimaan pajak akan sulit direalisasi jika makroekonomi kita sedang lesu. Oleh karena itu pemerintah juga perlu berupaya agar gagasan ini bisa sinkron dengan capaian pada indikator makroekonomi, khususnya pada aspek pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan pekerjaan.
Selain berkutat pada efektivitas pengelolaan dan ketepatan sasaran penggunaan pajak sebagai instrumen pembiayaan, upaya preventif berupa penghindaran dari praktik korupsi juga perlu semakin diperketat.
Karena berbagai bentuk penyelewengan akan semakin memperluas gap modal sosial antara negara dan masyarakat yang sering kali juga berimbas pada tingkat kepatuhan pajak. Jadi garis besarnya, upaya peningkatan tax compliance yang paling efektif adalah dengan menyeimbangkan tarif beban pajak dengan kualitas layanan yang diberikan sehingga bermuara pada pembangunan trust antara masyarakat dan pemerintah.
Dan keempat, pemerintah juga perlu berupaya melegalkan lebih banyak aktivitas ekonomi dengan mengurangi aktivitas ekonomi informal agar lebih yang terjaring pajak. Saat ini struktur utama perekonomian kita masih didominasi usaha berskala mikro dan kecil (UMK) yang mayoritas di dalamnya terdaftar sebagai sektor informal.
Pada umumnya penyebab mengapa mereka masih terdaftar sebagai sektor informal adalah karena model pengelolaan yang masih bersifat tradisional. Makna tradisional mengacu pada bentuk pengelolaan usaha yang masih one man show (pemilik usaha adalah leader di segala bidang), tenaga kerja yang kurang terstandar, dan manajemen bisnis yang kurang memadai (dari sisi perencanaan keuangan dan lini bisnis).
Selain itu UMK juga mudah masuk (memulai usaha) dan mudah keluar (tersingkir) karena modal persaingan yang terbatas. Nah, proses untuk memformalkan mereka dapat dilakukan dengan proses pembinaan dan keberpihakan pemerintah.Misalnya ada bantuan akses permodalan, perihal teknis produksi, dan promosi pemasaran bagi usaha yang mau mengurus legalitas usaha. Selain itu tenaga-tenaga terampil yang dipersiapkan melalui pendidikan-pendidikan formal juga perlu didistribusikan kepada UMK agar proses produksi dan manajerialnya dapat dieskalasi.
(poe)