Pemilu Sela dan Harapan Semu
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
TANGGAL 6 November mungkin akan menjadi hari yang paling penting bagi para politisi dan kepala negara atau kepala pemerintahan di dunia. Masyarakat Amerika Serikat (AS) akan mengadakan pemilu sela malam ini.
Sebagian besar, jika saya boleh klaim, para pemimpin dan kepala negara di dunia berharap bahwa Partai Demokrat akan menguasai kursi Parlemen (House of Representatives) dan kursi Senat. Pemilu sela ini membuka harapan terbesar bagi dunia agar ada oposisi yang berarti untuk mengontrol kebijakan Presiden AS Donald Trump dan Partai Republikan di AS.
Presiden Barack Obama sendiri juga memahami pentingnya pemilu sela ini sehingga ia dan istrinya, Michel, sangat aktif mengadvokasi para pemilih terutama kaum milenial untuk datang dan memberikan suara mereka di bilik-bilik suara. Keterlibatan Presiden Obama tersebut merupakan hal yang berada di luar kebiasaan mantan presiden.
Tingginya antusiasme pemimpin Partai Demokrat dan warga sipil di AS untuk mendorong para pemilih dan besarnya perhatian para pemimpin dunia menunjukkan bahwa pemilu sela di AS memiliki implikasi untuk menentukan ke mana arah politik luar negeri dunia.
Di sisi lain, saya memandang bahwa antusiasme yang besar itu juga menunjukkan bahwa politik internasional atau hubungan antarnegara saat ini sedang “sakit”. Pemilu sela bukan sesuatu yang baru terjadi di AS, tetapi baru kali ini dunia sangat berkepentingan untuk mengetahui hasilnya.
Yang membedakan pemilu sela saat ini dengan pemilu sela yang sebelum-sebelumnya adalah karena saat ini dunia kehilangan kepercayaan satu dengan yang lain untuk membina hubungan. Tidak ada kepercayaan menyebabkan setiap negara mengambil langkah pragmatis dan transaksional untuk mengamankan kepentingannya masing-masing.
Kelemahan dari politik luar negara semacam ini adalah tidak ada hubungan baik yang stabil, apalagi permanen. Hubungan satu negara dapat saja dekat dan akrab saat ini, tetapi dapat tiba-tiba menjauh dan saling mengancam beberapa tahun kemudian.
Sebab itu, langkah dan kebijakan politik masing-masing negara akan ditentukan juga oleh langkah dan kebijakan yang diambil oleh negara lain. Pada saat ini, kebetulan, pemilu sela di AS akan menjadi referensi atau rujukan tentang apakah kebijakan politik luar negeri AS akan semakin ultranasionalis dan protektif atau semakin sedikit lebih moderat. Juga, apakah arah politik luar negeri AS akan bertahan terus, bahkan sampai dua periode Trump, atau berganti?
Secara tidak langsung ini artinya pemilu sela ini adalah indikator betapa semakin besar kuasa negara-negara adidaya seperti AS dan semakin lemahnya negara-negara yang tidak satu pandangan atau satu pendapat dengan negara-negara besar tersebut.
Saya pikir ini adalah sebuah “penyakit” yang seharusnya tidak terjadi. Penyakit ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang seharusnya menjadi antivirus untuk melawan penyakit ini sudah cukup lama kadaluwarsa daya penyembuhnya untuk melawan.
Dewan Keamanan PBB yang terdiri atas AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan China tidak menjalankan fungsi mereka untuk kepentingan internasional, tetapi lebih untuk mengamankan kepentingan pragmatis mereka masing-masing. Komposisi Dewan Keamanan yang telah berusia lebih dari 70 tahun ini terbukti sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.
Satu di antara indikator kegagalan yang mudah kita lihat adalah seberapa mudahnya negara-negara mengintervensi dan mengintimidasi dengan ancaman-ancaman. Yaman adalah contoh paling dekat dan konkret bagaimana para anggota Dewan Keamanan gagal bersikap untuk menghentikan bencana kemanusiaan yang terjadi di sana.
Perang di Yaman telah mengakibatkan lebih dari 10.000 orang meninggal dan yang paling menyakitkan adalah pengisolasian negara itu yang membuat 14 juta penduduk hidup dalam kelaparan. Lebih dari 1,8 juta anak hidup kurang gizi. Hampir setiap hari saya menerima gambar-gambar bagaimana bayi dan anak-anak sangat kurus hingga hanya meninggalkan tulang dan kulit di tubuhnya menjadi korban di Yaman.
Apakah krisis di Yaman, Rohingnya, Suriah, dan tempat-tempat lain dapat diselesaikan oleh pemilu sela di AS? Saya yakin tidak.
Apabila Partai Demokrat dapat menguasai penuh kontrol di Parlemen dan Senat, mungkin ini dapat menghambat kebijakan pragmatis dan ultranasionalis dari administrasi Trump saat ini, tetapi itu tidak dapat mengubah kenyataan bahwa penyakit politik luar negeri tentang dominasi negara-negara adidaya dalam mendikte arah politik luar negeri negara-negara lain akan sembuh.
Selama Dewan Keamanan PBB tetap impoten dan tidak menjalankan fungsinya sebagai agen perdamaian dunia maka hasil pemilu sela hanyalah memperkuat dominasi negara-negara besar terhadap negara-negara yang memiliki pandangan berbeda dari mereka.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
TANGGAL 6 November mungkin akan menjadi hari yang paling penting bagi para politisi dan kepala negara atau kepala pemerintahan di dunia. Masyarakat Amerika Serikat (AS) akan mengadakan pemilu sela malam ini.
Sebagian besar, jika saya boleh klaim, para pemimpin dan kepala negara di dunia berharap bahwa Partai Demokrat akan menguasai kursi Parlemen (House of Representatives) dan kursi Senat. Pemilu sela ini membuka harapan terbesar bagi dunia agar ada oposisi yang berarti untuk mengontrol kebijakan Presiden AS Donald Trump dan Partai Republikan di AS.
Presiden Barack Obama sendiri juga memahami pentingnya pemilu sela ini sehingga ia dan istrinya, Michel, sangat aktif mengadvokasi para pemilih terutama kaum milenial untuk datang dan memberikan suara mereka di bilik-bilik suara. Keterlibatan Presiden Obama tersebut merupakan hal yang berada di luar kebiasaan mantan presiden.
Tingginya antusiasme pemimpin Partai Demokrat dan warga sipil di AS untuk mendorong para pemilih dan besarnya perhatian para pemimpin dunia menunjukkan bahwa pemilu sela di AS memiliki implikasi untuk menentukan ke mana arah politik luar negeri dunia.
Di sisi lain, saya memandang bahwa antusiasme yang besar itu juga menunjukkan bahwa politik internasional atau hubungan antarnegara saat ini sedang “sakit”. Pemilu sela bukan sesuatu yang baru terjadi di AS, tetapi baru kali ini dunia sangat berkepentingan untuk mengetahui hasilnya.
Yang membedakan pemilu sela saat ini dengan pemilu sela yang sebelum-sebelumnya adalah karena saat ini dunia kehilangan kepercayaan satu dengan yang lain untuk membina hubungan. Tidak ada kepercayaan menyebabkan setiap negara mengambil langkah pragmatis dan transaksional untuk mengamankan kepentingannya masing-masing.
Kelemahan dari politik luar negara semacam ini adalah tidak ada hubungan baik yang stabil, apalagi permanen. Hubungan satu negara dapat saja dekat dan akrab saat ini, tetapi dapat tiba-tiba menjauh dan saling mengancam beberapa tahun kemudian.
Sebab itu, langkah dan kebijakan politik masing-masing negara akan ditentukan juga oleh langkah dan kebijakan yang diambil oleh negara lain. Pada saat ini, kebetulan, pemilu sela di AS akan menjadi referensi atau rujukan tentang apakah kebijakan politik luar negeri AS akan semakin ultranasionalis dan protektif atau semakin sedikit lebih moderat. Juga, apakah arah politik luar negeri AS akan bertahan terus, bahkan sampai dua periode Trump, atau berganti?
Secara tidak langsung ini artinya pemilu sela ini adalah indikator betapa semakin besar kuasa negara-negara adidaya seperti AS dan semakin lemahnya negara-negara yang tidak satu pandangan atau satu pendapat dengan negara-negara besar tersebut.
Saya pikir ini adalah sebuah “penyakit” yang seharusnya tidak terjadi. Penyakit ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang seharusnya menjadi antivirus untuk melawan penyakit ini sudah cukup lama kadaluwarsa daya penyembuhnya untuk melawan.
Dewan Keamanan PBB yang terdiri atas AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan China tidak menjalankan fungsi mereka untuk kepentingan internasional, tetapi lebih untuk mengamankan kepentingan pragmatis mereka masing-masing. Komposisi Dewan Keamanan yang telah berusia lebih dari 70 tahun ini terbukti sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.
Satu di antara indikator kegagalan yang mudah kita lihat adalah seberapa mudahnya negara-negara mengintervensi dan mengintimidasi dengan ancaman-ancaman. Yaman adalah contoh paling dekat dan konkret bagaimana para anggota Dewan Keamanan gagal bersikap untuk menghentikan bencana kemanusiaan yang terjadi di sana.
Perang di Yaman telah mengakibatkan lebih dari 10.000 orang meninggal dan yang paling menyakitkan adalah pengisolasian negara itu yang membuat 14 juta penduduk hidup dalam kelaparan. Lebih dari 1,8 juta anak hidup kurang gizi. Hampir setiap hari saya menerima gambar-gambar bagaimana bayi dan anak-anak sangat kurus hingga hanya meninggalkan tulang dan kulit di tubuhnya menjadi korban di Yaman.
Apakah krisis di Yaman, Rohingnya, Suriah, dan tempat-tempat lain dapat diselesaikan oleh pemilu sela di AS? Saya yakin tidak.
Apabila Partai Demokrat dapat menguasai penuh kontrol di Parlemen dan Senat, mungkin ini dapat menghambat kebijakan pragmatis dan ultranasionalis dari administrasi Trump saat ini, tetapi itu tidak dapat mengubah kenyataan bahwa penyakit politik luar negeri tentang dominasi negara-negara adidaya dalam mendikte arah politik luar negeri negara-negara lain akan sembuh.
Selama Dewan Keamanan PBB tetap impoten dan tidak menjalankan fungsinya sebagai agen perdamaian dunia maka hasil pemilu sela hanyalah memperkuat dominasi negara-negara besar terhadap negara-negara yang memiliki pandangan berbeda dari mereka.
(poe)