Pemilu 2019, Threshold, dan Problematika Sistem Presidensial
A
A
A
Bawono Kumoro
Peneliti Politik The Habibie Center/Co-Founder Indo Riset Konsultan
MAHKAMAH Konstitusi (MK) pada Senin (25/10) lalu, kembali menolak gugatan uji materi (judicial review) Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Atas dasar itu, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold ) sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional sebagaimana diatur dalam pasal tersebut tetap berlaku. Majelis hakim merasa tak memiliki alasan untuk mengubah pendirian mereka sebagaimana tercantum dalam putusan-putusan terdahulu.
Ada sejumlah kelompok pemohon mengajukan uji materi untuk Pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu ke MK. Meskipun datang dengan latar belakang berbeda-beda, harapan mereka seragam bahwa Pemilihan Presiden 2019 tidak cuma diisi oleh satu dua calon saja, tapi bisa beragam sehingga mewakili berbagai kepentingan kelompok di masyarakat.
Pemilu Serentak
Pada 17 April 2019 akan menjadi tanggal bersejarah bagi Indonesia, terutama dalam konteks perhelatan pesta demokrasi lima tahunan. Untuk kali pertama Indonesia akan menggelar pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR RI/DPRD/DPD RI dan presiden dalam waktu bersamaan.
Putusan MK terhadap uji materi UU Nomor 42/2008 pada 23 Januari 2014 menjadi dasar bagi pelaksanaan pemilu serentak pada 2019. Putusan itu tertuang dalam putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. MK menilai pelaksanaan pemilihan presiden setelah pemilu legislatif seperti selama ini dilakukan bertentangan dengan konstitusi.
Secara umum pola relasi antara eksekutif dan legislatif di sebuah negara demokrasi diwarnai oleh dua kecenderungan utama. Pertama, pola relasi bersifat dominasi satu lembaga atas lembaga lain. Apakah itu dominasi lembaga eksekutif atas lembaga legislatif maupun dominasi lembaga legislatif atas lembaga eksekutif. Kedua, pola relasi didasarkan pada keseimbangan bandul kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Sejauh mana kecenderungan di antara kedua pola relasi tersebut dalam realitas sistem presidensial tidak cuma ditentukan oleh bangunan desain institusi, melainkan juga ditentukan berbagai variabel lain bersifat kondisional dari negara demokrasi bersangkutan. Pola relasi kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif menjadi faktor determinan menentukan apakah sebuah pemerintahan hasil pemilu akan berlangsung efektif atau tidak efektif.
Sistem presidensial secara teoritis memungkinkan terwujudnya pemerintahan efektif karena lembaga kepresidenan memiliki legitimasi dan mandat sebagai konsekuensi dipilih langsung oleh rakyat serta presiden memiliki masa jabatan bersifat tetap. Selain itu, prinsip sistem presidensial yang memisahkan kekuasaan eksekutif dan legislatif memberi peluang bagi presiden untuk melaksanakan kebijakan pemerintahan tanpa harus terganggu oleh dinamika lembaga legislatif. Asumsinya adalah semakin minim distorsi dan interupsi dalam proses pembentukan serta pelaksanaan kebijakan akan membuat pemerintahan lebih efektif sehingga pencapaian tujuan bernegara dan bernegara menjadi lebih konkret.
Para elite politik kita meyakini bahwa sistem presidensial akan menghasilkan pemerintahan efektif apabila presiden didukung oleh mayoritas kekuatan partai politik di parlemen. Sebaliknya, apabila presiden hanya didukung kekuatan minoritas partai politik di parlemen, maka cenderung membuka peluang menghadirkan "gangguan-gangguan" bagi presiden dalam menjalankan roda pemerintahan.
Akan tetapi, dalam praktik politik di dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dukungan koalisi besar partai politik di parlemen tidak menjamin efektivitas pemerintahan dan juga tentu bangunan sistem presidensial itu sendiri. Hal itu sekaligus menunjukkan ada variabel penting lain juga turut menentukan, yaitu ketiadaan soliditas dan tingkat kedisiplinan partai politik sebagai akibat desain pemilu yang belum ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dan penguatan sistem presidensial.
Jika memang disepakati bahwa bangunan sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem presidensial sebagaimana diamanatkan hasil amandemen konstitusi, maka harus diakui format pemilu berlangsung selama ini tidak dirancang bagi pemenuhan kebutuhan efektivitas sistem pemerintahan presidensial. Alhasil, meskipun pemilu di Indonesia telah berlangsung demokratis, tetapi hasil pemilu tidak pernah menjanjikan keberadaan sebuah pemerintahan presidensial efektif.
Problem politik kontemporer dialami oleh Indonesia tersebut bukan saja terkait dengan kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai, tetapi juga terkait dengan ketidaksungguhan dari para elite politik pembuat UU dalam melembagakan secara baik melalui sebuah format pemilu serentak antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Keserentakan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden merupakan konsekuensi logis dari pilihan kita atas sistem presidensial. Pelaksanaan pemilu legislatif mendahului pemilihan presiden dalam sebuah negara menganut sistem presidensial, jelas merupakan sebuah kejanggalan karena proses pencalonan presiden secara tidak langsung didikte oleh hasil pemilu legislatif.
Lebih dari itu, pelaksanaan pemilu legislatif mendahului pelaksanaan pemilihan presiden/wakil presiden akan menciptakan ketergantungan partai-partai politik terhadap hasil pemilu legislatif dalam mempersiapkan pencalonan presiden dan wakil presiden. Belum lagi ketergantungan itu ditambah dengan penerapan mekanisme ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold ). Tidak semua partai politik bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, melainkan cuma partai politik dengan perolehan suara 25% suara sah nasional atau 20% kursi DPR RI saja.
Disadari atau tidak, penerapan presidential threshold tidak saja memenjarakan partai-partai politik, tetapi juga merefleksikan praktik presidensial bernuansa parlementer. Padahal sistem presidensial memosisikan lembaga eksekutif dan legislatif sebagai dua institusi politik pemerintahan terpisah dengan basis legitimasi politik berbeda serta tidak saling tergantung satu sama lain. Karena itu, salah besar bila pencalonan presiden didikte oleh formasi politik yang terbentuk dari hasil pemilu legislatif.
Format pemilu tidak serentak seperti itu merupakan anomali di tengah usaha untuk memperkuat bangunan sistem presidensial kita sebagaimana amanat amendemen konstitusi. Ketidakserentakkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden berakibat pada implementasi sistem presidensial itu sendiri dalam praktik politik pemerintahan sehari-hari. Tarik-menarik kepentingan dan politik transaksional dalam pembuatan perundang-undangan antara eksekutif dan legislatif sering kali terjadi.
Apalagi jika presiden dan wakil presiden terpilih tidak berasal dari partai politik atau koalisi partai politik dominan di legislatif. Dengan demikian, tampak jelas bahwa pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara terpisah selama ini tidak dirancang untuk memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan presidensial.
Tidak Relevan Lagi
Harapan menciptakan sejumlah perbaikan mendasar dalam praktik sistem presidensial kita selama ini agaknya belum bisa segera terwujud melalui pemilu serentak tersebut lantaran presidential threshold masih diberlakukan. Sebagaimana diketahui bersama, presidential threshold masih dipertahankan di UU Nomor 7/2017 sebagai hasil dari sebuah proses politik di sidang paripurna DPR RI pada Juli tahun lalu. Penolakan MK terhadap judicial review sebagaimana penulis sampaikan di awal tulisan ini kian memupuskan harapan tersebut.
Lebih ironis lagi, presidential threshold kali ini didasarkan pada hasil Pemilu 2014. Padahal hasil Pemilu 2014 telah digunakan untuk pencalonan presiden di Pilpres 2014. Alhasil, partai politik dengan perolehan suara 25% suara sah nasional atau 20% kursi DPR RI di Pemilu 2014 saja bisa menjadi pemain utama dalam proses pencalonan presiden/wakil presiden.
Selain itu, penerapan ambang batas pencalonan presiden tersebut juga menjadi salah satu biang keladi bagi kerumitan politik dialami Joko Widodo dan Prabowo Subianto selaku calon presiden dalam menentukan figur calon wakil presiden. Keharusan menjaga soliditas partai-partai politik koalisi agar presidential threshold tetap terpenuhi telah mengakibatkan kedua calon presiden tersebut terpenjara dalam proses negosiasi-negosiasi politik cenderung transaksional.
Jika demikian, masih patutkah kita berharap pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 bisa berkontribusi bagi terciptanya perbaikan-perbaikan mendasar dalam sistem presidensial Indonesia di masa mendatang?
Peneliti Politik The Habibie Center/Co-Founder Indo Riset Konsultan
MAHKAMAH Konstitusi (MK) pada Senin (25/10) lalu, kembali menolak gugatan uji materi (judicial review) Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Atas dasar itu, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold ) sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional sebagaimana diatur dalam pasal tersebut tetap berlaku. Majelis hakim merasa tak memiliki alasan untuk mengubah pendirian mereka sebagaimana tercantum dalam putusan-putusan terdahulu.
Ada sejumlah kelompok pemohon mengajukan uji materi untuk Pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu ke MK. Meskipun datang dengan latar belakang berbeda-beda, harapan mereka seragam bahwa Pemilihan Presiden 2019 tidak cuma diisi oleh satu dua calon saja, tapi bisa beragam sehingga mewakili berbagai kepentingan kelompok di masyarakat.
Pemilu Serentak
Pada 17 April 2019 akan menjadi tanggal bersejarah bagi Indonesia, terutama dalam konteks perhelatan pesta demokrasi lima tahunan. Untuk kali pertama Indonesia akan menggelar pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR RI/DPRD/DPD RI dan presiden dalam waktu bersamaan.
Putusan MK terhadap uji materi UU Nomor 42/2008 pada 23 Januari 2014 menjadi dasar bagi pelaksanaan pemilu serentak pada 2019. Putusan itu tertuang dalam putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. MK menilai pelaksanaan pemilihan presiden setelah pemilu legislatif seperti selama ini dilakukan bertentangan dengan konstitusi.
Secara umum pola relasi antara eksekutif dan legislatif di sebuah negara demokrasi diwarnai oleh dua kecenderungan utama. Pertama, pola relasi bersifat dominasi satu lembaga atas lembaga lain. Apakah itu dominasi lembaga eksekutif atas lembaga legislatif maupun dominasi lembaga legislatif atas lembaga eksekutif. Kedua, pola relasi didasarkan pada keseimbangan bandul kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Sejauh mana kecenderungan di antara kedua pola relasi tersebut dalam realitas sistem presidensial tidak cuma ditentukan oleh bangunan desain institusi, melainkan juga ditentukan berbagai variabel lain bersifat kondisional dari negara demokrasi bersangkutan. Pola relasi kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif menjadi faktor determinan menentukan apakah sebuah pemerintahan hasil pemilu akan berlangsung efektif atau tidak efektif.
Sistem presidensial secara teoritis memungkinkan terwujudnya pemerintahan efektif karena lembaga kepresidenan memiliki legitimasi dan mandat sebagai konsekuensi dipilih langsung oleh rakyat serta presiden memiliki masa jabatan bersifat tetap. Selain itu, prinsip sistem presidensial yang memisahkan kekuasaan eksekutif dan legislatif memberi peluang bagi presiden untuk melaksanakan kebijakan pemerintahan tanpa harus terganggu oleh dinamika lembaga legislatif. Asumsinya adalah semakin minim distorsi dan interupsi dalam proses pembentukan serta pelaksanaan kebijakan akan membuat pemerintahan lebih efektif sehingga pencapaian tujuan bernegara dan bernegara menjadi lebih konkret.
Para elite politik kita meyakini bahwa sistem presidensial akan menghasilkan pemerintahan efektif apabila presiden didukung oleh mayoritas kekuatan partai politik di parlemen. Sebaliknya, apabila presiden hanya didukung kekuatan minoritas partai politik di parlemen, maka cenderung membuka peluang menghadirkan "gangguan-gangguan" bagi presiden dalam menjalankan roda pemerintahan.
Akan tetapi, dalam praktik politik di dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dukungan koalisi besar partai politik di parlemen tidak menjamin efektivitas pemerintahan dan juga tentu bangunan sistem presidensial itu sendiri. Hal itu sekaligus menunjukkan ada variabel penting lain juga turut menentukan, yaitu ketiadaan soliditas dan tingkat kedisiplinan partai politik sebagai akibat desain pemilu yang belum ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dan penguatan sistem presidensial.
Jika memang disepakati bahwa bangunan sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem presidensial sebagaimana diamanatkan hasil amandemen konstitusi, maka harus diakui format pemilu berlangsung selama ini tidak dirancang bagi pemenuhan kebutuhan efektivitas sistem pemerintahan presidensial. Alhasil, meskipun pemilu di Indonesia telah berlangsung demokratis, tetapi hasil pemilu tidak pernah menjanjikan keberadaan sebuah pemerintahan presidensial efektif.
Problem politik kontemporer dialami oleh Indonesia tersebut bukan saja terkait dengan kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai, tetapi juga terkait dengan ketidaksungguhan dari para elite politik pembuat UU dalam melembagakan secara baik melalui sebuah format pemilu serentak antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Keserentakan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden merupakan konsekuensi logis dari pilihan kita atas sistem presidensial. Pelaksanaan pemilu legislatif mendahului pemilihan presiden dalam sebuah negara menganut sistem presidensial, jelas merupakan sebuah kejanggalan karena proses pencalonan presiden secara tidak langsung didikte oleh hasil pemilu legislatif.
Lebih dari itu, pelaksanaan pemilu legislatif mendahului pelaksanaan pemilihan presiden/wakil presiden akan menciptakan ketergantungan partai-partai politik terhadap hasil pemilu legislatif dalam mempersiapkan pencalonan presiden dan wakil presiden. Belum lagi ketergantungan itu ditambah dengan penerapan mekanisme ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold ). Tidak semua partai politik bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, melainkan cuma partai politik dengan perolehan suara 25% suara sah nasional atau 20% kursi DPR RI saja.
Disadari atau tidak, penerapan presidential threshold tidak saja memenjarakan partai-partai politik, tetapi juga merefleksikan praktik presidensial bernuansa parlementer. Padahal sistem presidensial memosisikan lembaga eksekutif dan legislatif sebagai dua institusi politik pemerintahan terpisah dengan basis legitimasi politik berbeda serta tidak saling tergantung satu sama lain. Karena itu, salah besar bila pencalonan presiden didikte oleh formasi politik yang terbentuk dari hasil pemilu legislatif.
Format pemilu tidak serentak seperti itu merupakan anomali di tengah usaha untuk memperkuat bangunan sistem presidensial kita sebagaimana amanat amendemen konstitusi. Ketidakserentakkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden berakibat pada implementasi sistem presidensial itu sendiri dalam praktik politik pemerintahan sehari-hari. Tarik-menarik kepentingan dan politik transaksional dalam pembuatan perundang-undangan antara eksekutif dan legislatif sering kali terjadi.
Apalagi jika presiden dan wakil presiden terpilih tidak berasal dari partai politik atau koalisi partai politik dominan di legislatif. Dengan demikian, tampak jelas bahwa pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara terpisah selama ini tidak dirancang untuk memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan presidensial.
Tidak Relevan Lagi
Harapan menciptakan sejumlah perbaikan mendasar dalam praktik sistem presidensial kita selama ini agaknya belum bisa segera terwujud melalui pemilu serentak tersebut lantaran presidential threshold masih diberlakukan. Sebagaimana diketahui bersama, presidential threshold masih dipertahankan di UU Nomor 7/2017 sebagai hasil dari sebuah proses politik di sidang paripurna DPR RI pada Juli tahun lalu. Penolakan MK terhadap judicial review sebagaimana penulis sampaikan di awal tulisan ini kian memupuskan harapan tersebut.
Lebih ironis lagi, presidential threshold kali ini didasarkan pada hasil Pemilu 2014. Padahal hasil Pemilu 2014 telah digunakan untuk pencalonan presiden di Pilpres 2014. Alhasil, partai politik dengan perolehan suara 25% suara sah nasional atau 20% kursi DPR RI di Pemilu 2014 saja bisa menjadi pemain utama dalam proses pencalonan presiden/wakil presiden.
Selain itu, penerapan ambang batas pencalonan presiden tersebut juga menjadi salah satu biang keladi bagi kerumitan politik dialami Joko Widodo dan Prabowo Subianto selaku calon presiden dalam menentukan figur calon wakil presiden. Keharusan menjaga soliditas partai-partai politik koalisi agar presidential threshold tetap terpenuhi telah mengakibatkan kedua calon presiden tersebut terpenjara dalam proses negosiasi-negosiasi politik cenderung transaksional.
Jika demikian, masih patutkah kita berharap pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 bisa berkontribusi bagi terciptanya perbaikan-perbaikan mendasar dalam sistem presidensial Indonesia di masa mendatang?
(wib)