Data Produksi Beras Jauh dari Akurat
A
A
A
INDONESIA terancam kekosongan beras awal tahun depan. Benarkah? Peringatan itu datang dari Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras (Perpadi). Hal itu dipicu dari pola tanam dan panen dengan jeda waktu enam bulan.Adapun stok beras seperti diperkirakan pihak Perpadi hanya 3 juta ton hingga 4 juta ton berdasarkan hitungan surplus dan stok di gudang Bulog. Angka tersebut sangat jauh dari memadai untuk mengisi kekosongan pada awal tahun sepanjang Januari, Februari hingga Maret.Idealnya dibutuhkan 10 juta ton beras cadangan guna mengantisipasi kekosongan beras pada awal 2019. Dari mana angka 10 juta ton itu? Pihak Perpadi menghitung 9 juta ton untuk tiga bulan dan sejuta ton untuk kebutuhan yang tidak terduga.Adapun surplus beras berdasarkan perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 2,8 juta ton hingga akhir tahun. Prediksi data surplus tersebut adalah hasil perhitungan secara kumulatif. Data BPS menunjukkan konsumsi beras sepanjang tahun ini stabil pada kisaran 2,27 juta ton hingga 2,51 juta ton, sementara data produksi beras berfluktuatif setiap bulan, terlihat sejak Maret 2018 produksi beras di atas kebutuhan konsumsi sebesar 3,21 juta ton bahkan mencapai 5,42 juta ton pada Maret lalu.Namun, untuk bulan ini, BPS memprediksi produksi beras akan anjlok ke 1,52 ton, dan November turun jadi 1,2 juta ton, dan Desember naik tipis menjadi 1,22 juta ton. Surplus tersebut hanya bisa menopang konsumsi beras sekitar satu bulan.Bisakah menjadi pegangan akan sajian data tersebut di atas? Sebab selama ini data produksi beras, diakui secara terbuka oleh pemerintah telah salah perhitungan. Berdasarkan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), laporan data produksi beras dari BPS sudah terjadi kesalahan perhitungan sejak 1997. Orang awam pun bisa memberikan penilaian atas kesalahan data produksi beras, misalnya, pemerintah merilis produksi beras surplus lalu mengapa keran impor beras dibuka lebar-lebar?Puncaknya, polemik dalam tubuh pemerintah seputar data produksi beras sendiri tak terelakkan. Terjadi polemik segitiga yang melibatkan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita, serta Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso secara terbuka yang menjadi konsumsi publik di negeri ini.Diawali keputusan Mendag mengimpor beras pada Februari 2018 sebanyak 2 juta ton secara berkala dengan alasan pasokan beras seret. Namun, Mentan membantah dengan menyatakan bahwa selama Februari hingga April adalah masa panen sehingga impor beras tak perlu.Lalu, bagaimana babak lanjutan polemik soal data produksi beras yang tidak akurat itu? Diharapkan segera berakhir menyusul rapat koordinasi penyempurnaan metode perhitungan produksi beras nasional yang dipimpin langsung Wakil Presiden Jusuf Kalla awal pekan ini. Bocoran rapat koordinasi tersebut membahas upaya penyempurnaan metode perhitungan produksi beras secara komprehensif untuk seluruh tahapan.Tahapan pertama, perhitungan luas lahan sawah oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN), dibantu oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (Lapan). Tahapan kedua, perhitungan luas panen oleh BPS bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Tahapan ketiga, perhitungan gabah kering menjadi beras oleh BPS.Terlepas dari bahasan rapat koordinasi itu, ternyata di balik ketidakakuratan data produksi beras selama ini pihak BPS mengaku telah memiliki metode perhitungan produksi beras yang baru. Metode perhitungan yang dimaksud adalah Kerangka Sampel Area (KSA) dengan memanfaatkan teknologi citra satelit.Pihak BPS meyakini metode perhitungan KSA jauh lebih akurat dari metode perhitungan sebelumnya. Selain itu, melalui metode perhitungan KSA, BPS juga bisa menghitung potensi produksi beras untuk tiga bulan ke depan, karena data luas panen padi terus diperbarui setiap bulan.Jadi, terjawab sudah pangkal polemik data produksi beras karena menggunakan data yang tidak akurat dan telah diakui secara resmi oleh pemerintah. Karena menggunakan data keliru maka output kebijakan perberasan pun berantakan selama ini.
(maf)